Good Governance dan Peran Pengawasan

[02.02.2010] Ketika masih menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat di era kepemimpinan Bill Clinton, Al Gore pernah mengungkapkan bahwa, “Jika kita ingin pemerintah bertanggung jawab untuk setiap pembayar pajak, kita membutuhkan setiap tenaga kerja untuk bertanggung jawab atas hasil-hasil aktual”. Bagi Al Gore, bentuk pertanggung jawaban sebuah pemerintahan adalah dengan berbuat untuk kesejahteraan rakyatnya.

Apa yang dikatakan oleh Al Gore di atas adalah sebuah penegasan tentang tujuan utama didirikanya organisasi publik seperti pemerintahan. Tujuan utama organisasi publik adalah membangun keseimbangan pertanggung jawaban finansial (anggaran) melalui pelayanan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stake holders) sesuai dengan visi dan misi organisasi pemerintah.

Organisasi publik berfungsi untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik. Adapun pelayanan publik adalah setiap produk pelayanan publik yang dihasilkan oleh aparat/pejabat pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelanggan pelayanan publik secara tepat waktu, mudah, akurat, aman, bertanggung jawab, ramah, dan nyaman.

Lalu siapa yang menjalankan organisasi publik atau pemerintahan? Mereka adalah aparatur pemerintah sebagai orang yang dipercaya dan diberi mandat oleh Negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauhmana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, pembicaraan tentang pelayanan publik telah mendapatkan perhatian serius dengan dikeluarkannya Keputusan MENPAN No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dalam Keputusan Menteri PAN tersebut juga dijelaskan bahwa pelayanan publik yang berhasil dengan baik adalah pelayanan publik yang dijalankan berdasarkan prinsip kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kemudahan akses, kedisiplinan, keramahan, dan lain sebagainya.

Bila sebuah pemerintahan tidak dapat memberikan pelayanan publik yang baik, maka sesungguhnya pemerintahan tersebut telah mati. Birokrasi telah membeku, kaku, dan mati! Sementara itu, efisiensi pelayanan publik dan pemerintahan yang bersahabat serta ramah dan peduli pada masyarakat akan terus hidup dan berkembang! Apa yang masyarakat inginkan adalah less government and more governance!

Governance berbeda dengan government, kalau government difahami sebagai sebuah istilah yang mengacu pada struktur dan fungsi institusi publik, maka governance adalah istilah yang lebih bermakna jalan bagi government untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuannya. Masyarakat lebih menuntut agar sebuah institusi publik dijalankan dengan tata kelola yang baik. Masyarakat membutuhkan konsep public sector governance.

Public sector governance menurut Lukviarman (2003) adalah sebuah mekanisme yang didasarkan pada konsep pengarahan (directing) dan pengendalian (controlling) di dalam suatu pemerintahan, diikuti dengan sistem akuntabilitas dari pihak yang memegang kendali kepada publik yang memberikan wewenang, dengan tujuan untuk optimallisasi pendayagunaan sumber daya yang dimiliki.

Bila government tidak dijalankan dengan tata kelola yang baik (good governance), maka pemerintahan tersebut kemungkinan besar dijalankan dengan poor governance sebagai model governance yang tidak memenuhi syarat good governance. Atau dijalankan dengan mal-governance sebagai sebentuk tata kelola penyelewengan dari konsep good governance. Baik poor maupun mal-governance, keduanya memiliki konsekuensi yang sama, yaitu meruntuhkan kepercayaan publik, efek domino dari runtuhnya kepercayaan pubik adalah pudar dan hilangnya integritas publik.

Good Governance
Istilah governance (untuk sektor publik) pertama kali digunakan oleh Cleveland (1972), penggunaan kata governance ini dipilih untuk menggantikan frasa public administration. Governance sendiri berasal dari kata governor dan memiliki kaitan erat dengan bahasa Perancis kuno gouvernance yang berarti “mengendalikan” dan “suatu keadaan yang sedang dikendalikan” (the state of being governed). Kata ini juga dekat dengan kata kubernain yang sama-sama bermakna “steering a ship”.

Good governance adalah sebentuk pelayanan publik yang prima, sehingga bisa menjalankan kehidupan yang tertib, aman, tentram, dan sejahtera. Ini dapat diartikan sebagai “suatu situasi dan kondisi yang ‘baik’ dan berjalan sesuai dengan arah yang diharapkan (good order) dan berada dalam kondisi terkendali (in control)”. Implementasi good governance menurut Lukviarman (2008) berlandaskan pada prinsip responsibility, acountability, fairness, dan transparency.

Prinsip responsibility menuntut dilaksanakannya penegakan supremasi hukum dan peraturan perundang-undangan dalam menjaga kepentingan publik, ini berarti bahwa government dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya harus selalu memenuhi aturan hukum dan perundangan. Disamping itu, birokrasi harus mengurangi pandangan negatif (negative externality) dari publik dan menjadi panutan sebagai institusi yang baik.

Artikulasi prinsip acountability mengejawantah dalam bentuk pendeteksian dan minimalisasi berbagai konflik kepentingan di dalam masyarakat yang berpotensi merugikan kepentingan publik. Ini diwujudkan dengan tersedianya aturan yang tegas menyangkut fungsi, hak, tugas, dan tanggung jawab dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lebih jauh, diperlukan adanya aturan tegas yang mengatur tentang fungsi, hak, tugas, dan tanggung jawab dari berbagai institusi pemerintaan sebagai agent of development.

Fairness berarti bahwa hendaknya sumber daya negara di kelola secara benar (truthfully) dan hari-hati (prudentially) untuk berbagai kepentingan publik. Di samping itu, semua kelompok stake holders dalam sektor publik selayaknya diperlakukan fairly dan seluruh hubungan kontraktual harus dilaksanakan secara efektif. Ini terkait dengan penegakan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam melaksanakan aktivtas menyangkut kepentingan publik, yang pada gilirannya akan menjaga tindakan pemerintah agar terhindar dari kegiatan yang merugikan kepentingan publik, seperti KKN dan lain sebagainya.

Tranparency berarti adanya penyediaan informasi bagi aktivitas publik yang memenuhi prinsip accurately, timely, clearly, consistently dan comparable. Ini bisa diwujudkan dalam bentuk publikasi laporan keuangan dan informasi material lainnya yang signifikan secara penuh (no surprise policy). Serta tersedianya akses memadai terhadap informasi penting pemerintahan dan keterbukaan penuh terhadap potensi konflik kepentingan yang seharusnya diketahui publik.

Implementasi dari good governance di sektor publik bukanlah pekerjaan mudah. Ikhtiar ini membutuhkan kerjasama yang baik antar elemen negara –eksekutif, legislatif, dan yudikatif--, adanya visi, misi, dan strategi pemerintahan yang mendukung ikhtiar ini. Di samping itu, juga dibutuhkan kejelasan alur tugas dan tanggung jawab dalam organisasi pemerintahan, dan yang tak kalah pentingnya adalah memonitor secara seksama implementasi dari good governance. Pada titik inilah peran pengawasan menjadi demikian strategis.

Idealisme Pengawasan
“Saya memilih kehilangan teman, ketimbang pemerintah kehilangan wibawa terhadap rakyat”, demikian pernyataan Andi Muallim, kala masih menjabat sebagai Kepala Bawasda Provinsi Sulsel. Pernyataan ini menunjukkan sebuah geliat dan keseriusan sebuah lembaga pengawasan dalam menjalankan fungsinya untuk membantu agar proses penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih baik dan sesuai dengan harapan publik.

Bagi Andi Muallim, tujuan akhir semangat pengawasan adalah terawasinya semua aspek penyelenggaraan pemerintahan yang memungkinkan terwujudnya good governance pada semua lini manajemen pemerintahan. Hal senada diungkapkan Seman Widjojo (2007), menurutnya tugas pengawasan penting agar terwujud tata kelola yang baik (good governance). Hal ini terkait dengan penegakan hukum, sehingga kredibilitas pemerintah meningkat, meningkatnya kualitas pelayanan publik agar terwujud kepastian berusaha, semuanya merupakan prasyarat masuknya investasi luar negeri yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja, mensejahterakan rakyat sekaligus berdampak pada pengurangan kemiskinan.

Untuk memaksimalkan fungsi pengawasan, perlu perluasan pemahaman akan pengawasan dari sekedar memeriksa laporan hasil pengawasan menjadi pro-aktif memperbaiki dan meluruskan kesalahan kepada kondisi ideal, karena pada hakikatnya Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) –termasuk Bawasda-- merupakan bagian integral dari sistem manajemen pemerintah.

Namun karena posisinya sebagai bagian integral pemerintahan, maka pengawasan yang dilakukan oleh APIP rentan bagi terjadinya kompromi. Oleh karena itu Andi Muallim mengatakan bahwa, “Semangat pengawasan kita yang seharusnya tidak mempersoalkan siapa memeriksa apa dan apa memeriksa siapa, tetapi kepentingan kita adalah apakah suatu pelaksanaan tugas telah diawasi dan diperiksa”.

Pelaksanaan pengawasan yang sehat –menurut Seman Widjojo-- setidaknya berlandaskan pada dua prinsip dasar, prinsip kasih sayang dan prinsip mengedepankan “out comes” daripada “out put”. Penerapan prinsip kasih sayang akan mendorong terjadinya perubahan mendasar dari dalam diri setiap aparatur Negara dalam menjalankan tugas sehari-hari sehingga timbul keinginan dan tekad yang kuat dari dalam dirinya untuk mengabdikan diri kepada masyarakat dengan penuh ketulusan, tanggung jawab, dan kejernihan hati nurani.

Sedangkan prinsip mengedepankan “out comes” daripada “out put”” berimplikasi bahwa dampak dan manfaat dari pengawasan akan dirasakan secara langsung baik oleh unit organisasi yang bersangkutan maupun masyarakat. Pengawasan bukan hanya sekedar laporan angka-angka yang memuat berbagai penyimpangan dan kesalahan, melainkan harus mencerminkan keinginan kuat untuk mengubah kesalahan menjadi perbaikan positif sehingga tidak akan terjadi kesalahan yang sama di masa depan.

Bila fungsi pengawasan dimaksimalkan dalam mewujudkan good governance, maka akan tercipta pemerintahan yang mengelola sumber daya secara truhfully dan responsibly, hal ini karena kinerja operasional unit pemerintahan dan Negara akan sustainable improvement. Disamping itu, image pemerintah juga akan lebih meningkat, begitupun trust dan confidence para investor asing yang ikut berperan dalam menumbuhkan perekonomian negara juga bertambah.

Ujung dari semua ini adalah meningkatkan kemampuan kompetitif nation dan kesejahteraan publik. Apakah Badan pengawasan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan akan mampu memikul tugas mulia ini? Nampaknya semua tergantung pada kesiapan dan keberanian aparat Bawasda untuk kehilangan teman demi tegaknya wibawa pemerintah di hadapan rakyat!!!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama