Pendidikan Kekerasan

[15.03.2010] Pendidikan adalah sebuah kata yang selama ini difahami dengan begitu sakral. Sebuah kata yang memiliki daya pentaskih bagi kebenaran dirinya. Pendidikan merupakan jimat yang menentukan apakah seseorang itu akan bermasa depan cerah atau tidak, akan jadi orang baik atau jadi orang jahat, bahkan sampai pada persoalan apakah lamaran seorang pemuda terhadap seorang gadis akan diterima atau tidak, ditentukan oleh apakah dia berpendidikan atau tidak.

Dengan pendidikan diharapkan lahir manusia-manusia yang akan berguna bagi hidup dan kehidupan serta manusia dan kemanusiaan di muka bumi ini. Pendidikan menjadi ajang untuk memberi bekal kepada generasi muda kita agar memiliki persiapan dalam menempuh hidupnya kedepan secara lebih baik. Dan yang lebih penting dari itu semua, pendidikan diharapkan mampu memberi jatidiri seorang peserta didik.

Generasi muda yang menempuh pendidikan diharapkan memiliki kesadaran eksistensial untuk kehidupannya, karena dengan kesadaran semacam inilah maka kita bisa berharap kehidupan manusia dimasa yang akan datang lebih baik dari sekarang. Kesalahan atau kekeliruan konsep tentang esensi dan eksistensi kemanusiaaan akan berdampak pada cara peserta didik menjalani hidupnya sebagai proses bereksistensi.

Dengan gelaran-gelaran suci yang diberikan kepada pendidikan, ternyata bukanlah jaminan bahwa pendidikan yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan eksistensial dan kompleksitas rasa kepastian diri serta identitas manusia. Bahkan tanyapun akan bermunculan ketika dengan begitu tragis digambarkan di depan mata kita bagaimana para peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa) melakukan tindakan yang “kurang pantas” untuk ukuran orang terdidik.

Berita tentang tawuran, perkelahian antar pelajar dan perang antar kelompok mahasiswa adalah realitas yang sangat menggidikkan dari wajah pendidikan hari ini. Berbagai macam terapi telah dilakukan untuk itu, melakukan berbagai macam aktivitas sebagai upaya pengalihan masalah, bahkan sampai tekanan akademik terhadap pelaku, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan upaya penyelesaian tersebut terkesan sangat tidak manusiawi, karena menempatkan pelaku sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab.

Padahal kalau diperhatikan lebih jauh, akan ditemukan bahwa ini masalah bersama, dan penyelesaiannya bukanlah tindakan instant semacam skors atau bahkan melakukan pen-dropt out-an terhadap pelaku. Mengapa masalah ini, tidak coba di elaborasi untuk menemukan akarnya, mengapa semua pihak hanya bisa saling menyalahkan dan saling menuding.

Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh akan ditemukan bahwa titik krusial dari bangunan masalah ini adalah pada pendekatan model pendidikan yang ada pada hari ini, pendidikan lebih menekankan pada terbangunnya Need For Achievement pada peserta didik dan inilah yang mendorong peserta didik untuk saling jegal, saling sikut demi sebuah pengakuan akan eksistensi dan jati diri. sebentuk mahluk yang berciri survivor.

Dengan menanamkan kepada peserta didik bahwa eksistensi, jatidiri dan identitas seorang manusia lebih ditentukan lewat apakah dia lebih unggul dari orang lain atau tidak, maka sebenarnya secara tidak langsung telah membangun kesadaran bahwa hidup ini adalah persaingan dan harus dimenangkan, karena hanya yang menanglah yang pantas diakui sebagai manusia yang memiliki identitas, jatidiri dan eksistensi.

Nah dalam melakukan persaingan untuk menemukan identitas, jati diri dan eksistensinya, maka manusia tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan, karena dengan itulah mereka merasa bahwa mereka benar-benar ada. Bahkan secara gamblang Hannah Arendt (dalam The Human Condition) mengatakan bahwa “Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan... Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas”.

Pendidikan hari ini telah menempatkan rasa kepastian diri dan identitas pada posisi sebagaimana digambarkan Arendt tersebut. Sehingga tidak bisa kemudian kesalahan dengan terjadinya tawuran antar pelajar dan perkelahian antar kelompok mahasiswa, dengan serta merta dilemparkan kepada para pelaku tanpa melihat libido sosial yang mendorong terjadinya peristiwa tersebut.

Pendidikan dengan paradigma liberal yang mengedepankan terbangunnya Need For Achievement dalam diri peserta didik, bermain dalam kerangka kerja survival the fittest. Peserta didik didorong secara psikologis untuk mencintai hal-hal yang beraroma kematian, sebuah kondisi nekrofhili (meminjam bahasa E. Fromm). Hal ini karena kesadaran dan jati diri manusia menggantung antara ambang batas kehidupan dan kematian, dan memang sebagaimana disinyalir oleh Heidegger (dalam Sein und Zeit), “Kematian adalah kemungkinan yang paling sesungguhnya dari manusia”.

Dengan bangunan kesadaran eksistensial seperti itu, maka orang-orang pengidap nekrofhili akan memilih untuk melakukan kekerasan, bahkan kalau perlu, akan berujung pada proses membunuh atau terbunuh. Jadi keperiadaan (survive) seseorang sebagai manusia ditentukan pada keberhasilannya mengalahkan orang lain bahkan membunuhnya, juga ditentukan apakah orang itu memiliki truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) yang lebih unggul dibanding orang lain.

Dengan begitu sarkastis, Elias Canetti (dalam Masse und Macht) menggambarkan kondisi ini, “Momen survival adalah momen kekuasaan... Bentuk paling rendah dari survival adalah membunuh... Momen konfrontasi dengan dia yang dibunuh memenuhi seorang survivor dengan semacam kekuatan yang khas yang tidak dapat disamakan dengan kekuatan-kekuatan lainnya”. Sungguh sebuah situasi yang begitu mengerikan dan menakutkan.

Pendidikan yang seperti ini akan melahirkan Man of Abuse, sebuah bangunan kemanusiaan yang menempatkan –Thomas Hobbes dalam Leviathan— setiap orang sebagai pelaku potensial sekaligus korban potensial dari sebuah kekerasan. Betul-betul kondisi Homo Homini Lupus.

Kondisi ini tidak seharusnya berlarut-larut seperti ini, perlu ada upaya penyelamatan terhadap keberlangsungan kemanusiaan. Transformasi pehamanan terhadap rasa kepastian diri dan identitas manusia seharusnya digeser dari posisi sebelumnya yang menuntut agar terjadinya peniadaan terhadap “the other” kearah bangunan identitas dan kepastian diri pada sebuah hubungan harmonis antara seorang manusia dengan manusia lain, sebuah bangunan kemanusiaan –meminjam istilah Benny Susetyo-- yang bersifat ko-eksistensi bahkan pro-eksistensi.

Bangunan kemanusiaan ko-eksistensi maksudnya bahwa jatidiri dan identitas ditemukan dalam relasi harmonis antara seorang individu dengan individu lain dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan, sedangkan pro-eksistensi dimaksudkan bahwa jatidiri dan identitas kemanusiaan ditemukan dalam peran sosial seorang manusia, sejauhmana dia mampu memberikan jatidiri dan identitas kemanusiaan pada orang lain.

Untuk mewujudkan bangunan kemanusiaan yang berifat ko-eksistensi dan pro-eksistensi itu, maka cara pandang kedirian harus mengalami pergeseran –sebagaimana diusulkan Cyprianus Johan Palu Dale-- dari “keberpusatan pada diri sendiri (self centeredness)” mengarah kepada “keberpusatan pada yang Nyata (reality centredness)”. Dengan demikian diri tidak menjadi standar utama dalam menentukan nilai kebenaran sesuatu, melainkan sejauhmana sesuatu itu berdampak positif pada semua orang.

Pendidikan seharusnya menanamkan kesadaran bahwa jati diri dan identitas tidak terdapat pada saat seseorang berhasil mengalahkan orang lain, melainkan pada saat seseorang itu mengakui keberadaan jati diri dan identitas orang lain. Sungguh indah bahasa Martin Luther King Jr. melukiskan kondisi seperti ini, “seorang manusia baru hidup sungguh-sungguh kalau dia bisa menjulang keatas batas-batas yang sempit kepentingannya sendiri dan mengabdikan diri kepada kepentingan umum seluruh umat manusia”. Sebuah keperiadaan pro-eksistensi.

Namun yang paling penting dan sangat mendesak untuk dilakukan saat ini adalah “refleksi”, sebuah upaya menemukan titik pusat diri dengan bertanya pada nurani kemanusiaan kolektif, apakah aku hanya ada, saat aku berhasil mengakhiri keberadaan fihak lain, ataukah aku akan lebih berada bila aku meng-aku-i keberadaan orang lain.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama