Sains Si Penjajah

[17.03.2010] Sains, secara generik dapat diartikan sebagai upaya manusia untuk menjelaskan suatu fenomena secara realistis dan obyektif. Cerita seputar sains selalu dan senantiasa dihiasi dengan kisah “heroik” tentang penemuan yang dilakukan oleh para saintis terhadap suatu fenomena alam yang dijelaskan kedalam bentuk rumus-rumus matematika sebagai upaya simbolisasi terhadap fenomena yang diamati.

Masyarakat saintis meyakini sains sebagai satu-satunya penentu kebenaran dan kesahihan penjelasan atau interpretasi terhadap suatu fenomena, karena sains memiliki bangunan dan kerangka sitem penjelasan yang begitu meyakinkan tentang nilai realitas dan obyektifitas yang melekat di dirinya.

Sebagaimana dikatakan oleh Robert Merton dan Joseph Ben-David (Scientific Growth: Essays on the Social Organization and Ethos of Science, 1991) bahwa kebenaran sains sangat sah untuk diklaim sebagai kebenaran yang realistis, karena kita berada pada dunia yang diisi oleh obyek-obyek riil dan kebenaran yang dibangun oleh sains memiliki korelasi langsung dengan realitas dunia ini.

Disamping itu, Merton dan Ben-David juga meyakini bahwa obyektivitas sains sangat dapat dipertangungjawabkan, hal ini karena fakta-fakta obyektif mengenai realitas dunia itu hadir dan bebas dari interpretasi manusia (independent reality), sehingga apapun hasil rumusan yang ditelorkan oleh para saintis tentang suatu fenomena pastilah sangat obyektif.

Dengan kerangka pemahaman seperti yang dibangunnya, Merton dan Ben-David mengasumsikan proses sains sebagai sebuah proses akumulatif dan tumbuh secara terus menerus dalam mencari kebenaran secara linear, dan karena bergerak secara linear, maka pengetahuan yang dihasilkan oleh sains lepas dari konteks sosio-ekonomi yang melingkupinya.

Tapi, ternyata keyakinan Merton dan David yang kemudian diamini oleh hampir seluruh saintis (baik saintis alam maupun saintis sosial), mendapatkan bantahan yang begitu keras dari Edwar W. Said. Dengan Foucaultian Analysis, Said (Orientalisme, 1978) menemukan bahwa ada jalinan-jalinan yang rumit dan kompleks antara politik dan bangunan sains, langsung atau tidak langsung, sains adalah bentuk wacana kolonialisme.

Kenapa dikatakan demikian, karena dengan klaim realis dan obyektif yang dimilikinya, sains yang konstruksinya dibangun oleh para teoritisi zaman Aufklarung, telah mendorong munculnya kesadaran untuk melakukan pemaksaan model keilmiahan bangunan sains yang berkembang (keharusan nilai rasional dan empiris). Padahal sesungguhnya sebuah bangunan sains, sebagai sebentuk interpretasi terhadap suatu fenomena ternyata tidak pernah lepas dari –sebagaimana disampaikan oleh Lenoir- dua faktor yang melingkupinya, yakni faktor kognitif dan faktor sosial sebagai konsekuensi dari keberadaanya sebagai manusia berfikir dan berinteraksi.

Lebih lanjut Lenoir, (Instituting Science: The Cultural Production of Scientific Disciplines, 1997) menjelaskan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh sains selalu terkait erat dengan situasi di mana saintis itu berada, serta bersifat lokal dan parsial. Melalui faktor kognitif, saintis melakukan pengamatan terhadap suatu obyek secara interpretatif. Sementara dalam faktor sosial, saintis selalu terkoneksi dengan kerangka sosial ekonomi di mana dia berada.

Dengan posisi yang seperti ini, maka bangunan sains sebagai interpretasi terhadap suatu fenomena menjadi tidak lebih dari sekedar sebagai salah satu versi realitas yang di legitimasi oleh kelompok sosial dimana saintis yang melakukan interpretasi itu berada.

Hal ini sesungguhnya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hans Georg Gadamer bahwa orang tidak dapat menghindar dari penafsiran yang didasarkan pada keterkondisian historis (historical situatedness). Bahkan dia (Gadamer) meyakini bahwa memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (tradisi) dan juga oleh sekeliling dan agenda (prasangka) sang saintis pada saat sekarang, saat dia melakukan penafsiran atas fenomena yang ingin dijelaskan. Ini membuktikan bahwa sebuah konstruksi sains tidak bisa lepas dari bangunan budaya yang melingkupinya.

Nah, karena sains yang berkembang dewasa ini lahir dari rahim pencerahan rasionalisme Cartesian dan empirisme John Locke di Eropa, maka sains sampai sekarang tidak bisa lepas dari kerangka kerja ini. Dengan memanfaatkan pemetaan melalui oposisi biner terhadap realitas, maka lahirlah kategori binarian “Ilmiah-non ilmiah”, “rasional-mistis”, “beradab-biadab”, “humanis-anti humanis” dan seterusnya.

Melalui paradigma inilah (oposisi biner), penjajahan sains (pengetahuan) didedahkan keseluruh dunia melalui proyek kolonialisme dan berlanjut sampai neo-kolonialisme saat ini. Hal ini karena dalam bangunan sains memang sudah terpatri didalamnya ruh “penjajahan”, sebentuk penolakan terhadap bangunan sains yang tidak realis dan obyektif (rasional dan empiris).

Makanya sangat sah ketika melihat kondisi ini, maka Gayatri Spivak mendendangkan bangkitnya “counter knowledge” terhadap paradigma sains realis obyektif yang berkembang sekarang ini sebagaimana yang diyakini dalam perspektif Merton dan Ben-Davis serta para saintis kontemporer lainnya. Dengan kenyataan ini, apakah kita akan tetap mengagung-agungkan sains, semua kembali pada tradisi dan prasangka yang mendasari perspektif kita dalam melakukan interpretasi atas tulisan singkat ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama