Belajar Dari Cicak

[11.06.2011] Dengan muka kusut masai, La Capila menyambangi rumah gurunya, I Mapesona yang sederhana di kaki Gunung Bawakaraeng. Ketika muridnya tiba, I Mapesona sedang duduk di teras rumah panggungnya yang dikelilingi oleh beragam pepohonan hutan sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas kopi kental yang masih keduanya mengepul.

“Bagaimana kabarmu duhai muridku yang aku sayangi? Kenapa dirimu yang masih muda itu, kelihatan demikian gundah? Apa yang merisaukan keceriaan masa mudamu muridku?” Tegur I Mapesona.
“Kabar saya baik duhai guru, semoga engkau pun begitu”, jawab La Capila sepantasnya.
“Lalu kenapa muka muridku yang gagah ini menjadi seperti kain lusuh yang tak pernah dibilas?” Tanggap I Mapesona sambil berdiri, menghampiri La Capila, lalu mengelus rambut muridnya dengan lembut.

La Capila terdiam mendengarkan pertanyaan gurunya yang bijak itu. Pagi itu, kicau burung yang begitu riang tak begitu dinikmati olehnya. Kepalanya terpekur menikmati ucapan lebut di kepalanya. Tapi tak lama, akhirnya dia bicara juga, tak tahan memendam kalimat yang seakan ingin meloncat dari tenggorokannya.

“Maafkan muridmu yang bodoh ini guru, setelah meninggalkan tempat ini tiga tahun silam, muridmu ini merasa betapa rumitnya hidup ini”, keluh La Capila.
“Gerangan masalah hidup apa yang sedang engkau hadapi muridku?” Tanya I Mapesona sambil berjalan ke bangku kayunya lalu menyeruput pelan kopinya.

“Saya merasa sudah bekerja keras duhai guru, tapi nyatanya, saya belum juga merasa hidup ini menjadi lapang, malah terasa makin sesak.” Kesah La Capila.
Mendengar keluh muridnya, I Mapesona hanya tersenyum dan mengangguk-angguk kecil.
“Terkadang saya berfikir, hidup ini berlaku kurang adil. Kok ada sebagian yang diberikan rezeki berlimpah, dan ada yang serba kekurangan”, kembali La Capila mengadu.

Bukannya menjawab keluh muridnya, I Mapesona malah balik bertanya.
“Masihlah kau ingat lagu ‘Cicak Di Dinding’ yang ditulis oleh AT Mahmud duhai muridku?”
“Tentu saja saya masih mengingatnya duhai guruku, bukankah engkau sering menyanyikannya dengan sangat merdu dahulu ketika saya masih kecil?” Tanggap La Capila.
“Maukah engkau menyanyikan lalu itu bersamaku sekarang?” Tanya I Mapesona.

Dengan muka bingung, La Capila menatap gurunya ragu, tapi tetap juga dia menyanggupi permintaan gurunya.
“Baiklah guru, mari kita bernyanyi bersama.”

Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Dayap seekor nyamuk
Hap, lalu ditangkap

“Coba perhatikan baik-baik lagu tersebut muridku, pelajaran apa yang bisa kau ambil darinya?” Tanya I Mapesona setelah mengulang lagu itu sebanyak tiga kali.
“Maafkan muridmu yang dungu ini duhai guru, saya hanya memahami lagu itu sekedar sebagai lagu pengantar tidur,” jawab La Capila dengan bingung.

“Cicak itu adalah binatang yang merayap, ternyata dia ditakdirkan untuk memakan nyamuk, binatang yang terbang. Pernahkah engkau pikirkan kerumitan ini?” Tanya I Mapesona, La Capila hanya terdiam.
“Betapa seekor binatang merayap, memangsa binatang yang terbang. Tapi apakah cicak pernah mengeluh!?” Suara I Mapesona terdengar tegas.

“Coba bandingkan dengan sebagian besar manusia, baru menghadapi sedikit saja masalah dalam hidupnya, dia sudah merasa sebagai orang yang paling tidak beruntung. Beragam keluhan yang terlontar dari mulutnya, bahkan tak jarang mereka memaki Tuhan.” Mendengar kata-kata gurunya, La Capila kian terpekur.

“Belajarlah meneladani cicak muridku. Mahluk itu telah mengajarkan arti sikap ridho, dia tak pernah memaksa untuk merampas rezeki mahluk lain. Tapi coba engkau lihat sebahagian manusia, mereka tak pernah merasa puas, jangankan binatang dan tumbuhan, aspal dan beton pun dia makan”. I Mapesona mengakhiri wejangannya. La Capila menjadi malu pada diri sendiri, dia tunduk dan tergugu, tak mampu menatap wajah gurunya kembali menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama