Simulakra; Dunia Tanpa Asal Usul

Manusia, secara eksistensial, selain memiliki kesadaran akan keberadaannya di tengah-tengah dunia, mereka juga menyadari keberadaannya bersama dengan dunia. Ini berarti bahwa manusia bukan merupakan makhluk yang hanya tinggal menjalani hidup ini tanpa kebebasan untuk memilih, melainkan, manusia menjadi makhluk yang sadar bahwa arah dan warna serta esensi keberadaannya bersama dunia ditentukan dengan pilihan-pilihan hidup yang dijalaninya. Karena hal inilah, maka manusia dikenal sebagai makhluk budaya, karena segala tindakan dan aksi manusia dalam hidupnya merupakan sesuatu yang dilakukan atas dasar pilihan dan bukan sesuatu yang “given”.


Namun dalam kenyataannya, keberadaan manusia di dunia ini sebagai makhluk budaya, seringkali mengalami keterasingan eksistensial, hal ini karena kebebasan untuk membentuk dan menformat seperti apa hidup dan kehidupan yang diinginkan oleh seorang manusia tidak lagi menjadi pilihan bebasnya, melainkan di bentuk berdasarkan tekanan dari kekuatan-kekuatan “wacana” tertentu yang menguasai tidak secara represif, sehingga terkesan sebagai sesuau yang begitu alami dan lumrah.

Kondisi ini digambarkan oleh Jean Baudrillard, sebagai situasi hyper-reality. Hiperrealitas, menurutnya adalah bangunan model-model realitas yang tidak memiliki asal-usul. Kondisi hiperrealitas merupakan hasil kerja dari sebuah model produksi kebudayaan yang disebut Simulasi. Sementara itu simulasi itu sendiri merupakan sebuah upaya transformasi gambaran tentang dunia melalui bangunan-bangunan imajinasi. Proses simulasi menggiring manusia untuk merasa bahwa mereka memasuki sebuah ruang realitas yang dirasa nyata dan lebih baik padahal sesungguhnya ruang realitas itu hanyalah citra dan khayalan semu semata.

Bangunan wacana/ruang realitas yang ditawarkan melalui simulasi, akan menjadi referensi bagi masyarakat manusia dalam membangun realitasnya, sehingga pola hubungan antara ruang realitas semu yang menjadi referensi (the model) menjadi begitu cair dan lebur dengan realitas sesungguhnya (the real).

Secara sederhana, model simulasi ini dapat kita fahami secara lebih jelas dan terang melalui konsep representasi budaya. Konsep ini coba di teoritisasi oleh Stuart Hall, beliau menganggap bahwa representasi merupakan salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Sebagaimana ditulis oleh Nuraini Juliastuti, representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian, ia adalah proses sosial dari “representing”, Ia juga produk dari proses sosial "representing”, representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda, representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret.

Konsep representasi itu sendiri dapat dipetakan menjadi dua macam berdasarkan nilai kejujuran, reliabilitas dan ketepatan hubungan antara tanda dan citra dengan realitas yang diwakilinya, yaitu true representation (representasi) dan false representation atau simulation (simulasi). Dalam pemetaan ini dengan jelas terlihat bahwa simulasi merupakan representasi palsu.

Kalau dalam perspektif Jorge Luis Borges, representasi dianalogikan dengan peta yang merupakan representasi teritori, dimana proses representasinya menunjukkan bahwa teritori mendahului peta, maka untuk menjelaskan simulasi, Baudrillard juga menggunakan analogi peta, tetapi dalam proses representasi yang terbalik atau menempatkan peta mendahului teritori dalam artian bahwa peta terlebih dahulu ada sebelum teritori.

Sementara itu, istilah simulakra merupakan istilah untuk menunjukkan sebuah kondisi simulasi yang sudah demikian akut. Artinya bahwa sebuah tanda, ikon, simbol dan citra yang ditampakkan bukan saja tidak memiliki referensi dalam realitas, malah tanda, ikon, simbol dan citra yang dilahirkan dan dan dianggap sebagai representasi dari tanda, ikon, simbol dan tanda yang juga merupakan hasil dari simulasi. Peta mereferensikan dirinya pada peta itu sendiri, sebuah posisi self referential.

Nah, kalau kemudian penciptaan budaya manusia diserahkan kepada proses simulasi, bahkan sampai pada tahap atau etape simulakra, maka manusia akan bermain dalam sebuah dunia parody, dunia tanpa asal usul, dunia yang tidak lagi mementingkan orisinalitas dan keaslian. Dalam dunia ini manusia dibuat untuk meragukan reaitas yang “nyata”. Tanda, citra, ikon dan simbol yang diciptakan menjadi lebih nyata dari kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan apa yang di proklamirkan oleh Roland Barthes, the death of author.

Dengan gamblang, Yasraf Amir Piliang, melukiskan bekerjanya simulakra ini dalam sebuah proses sosial yang di sebutnya sebagai proses diseminasi sosial (social dissemination). Proses diseminasi sosial merupakan proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial, tanda, citra, informasi dan tanda-tanda komoditas yang berkembangbiak secara seketika (instanta neousness), mengikuti model pertumbuhan kode genetika (genetic code).

Dalam menanggapi kondisi simulakra ini, sebagian orang mengalami histeria. Histeria dan ketakutan yang muncul, terbangun karena kekhawatiran akan hilangnya hal-hal yang “nyata” dan terbalut oleh lapisan-lapisan citra yang tidak berujung pangkal, juga perasaan begitu rumitnya merumuskan jati diri dalam dunia yang seperti itu dan bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi bahwa roses simulasi ini dapat menjadi senjata utama dari proses hegemoni.

Namun disisi lain, sebagian orang menikmatinya dengan sadar dan dengan kegembiraan yang meluap-luap, hal ini karena mereka percaya bahwa dunia simulakra adalah dunia parody, dan ketakutan akan situasi hegemoni tidak perlu ada, hal ini karena pada dasarnya setiap manusia yang bermain dalam dunia simulakra adalah manusia yang memiliki kesadaran dan bebas dalam melakukan pilihan tanda, citra, ikon dan simbol, serta bebas melakukan interpretasi atas tanda, citra, ikon dan simbol yang dipilihnya.

Dunia simulakra menjadi sebuah mediasi, sebagaimana R. Kristiawan bahwa mediasi adalah dunia dimana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik.

Tampaknya kearifan akan menjadi senjata utama dalam mengatasi semua ini, dimana kita dituntut untuk lebih mampu mengambil manfaat dari situasi apapun yang kita hadapi dibanding hanya mengeluh dan mengadu namun tidak mampu melakukan apa-apa. Selamat datang di dunia simulakra, sebuah dunia tanpa asal usul, namun juga merupakan dunia mediasi, dimana asal dan usul dipasarkan secara bebas dan merdeka serta lebih jernih dibanding hegemoni.

1. Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Juli 2002.
2. Juliastuti, Nuraini. Representasi, www.kunci.or.id
3. Kristiawan, R. Mediasi : Fakta Pasca Hegemoni, www.kunci.or.id
4. Piliang, Yasraf Amir. Kompas, 9 November 2001

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama