Kealiman Formal Yang Mengecewakan

Senin pagi, sepeda motorku kupacu dengan kecepatan 50 kilometer per jam. Kunikmati cerahnya pagi yang beranjak bergerak bersama penghuni bumi yang mulai menggeliat. Suasana jalan raya lumayan ramai, hari ini sekolah sudah mulai masuk setelah libur selama seminggu di awal ramadhan.

Namun, ketenanganku terganggu oleh ulah seorang pengendara sepeda motor lain di depanku. Dia membawa motornya seperti orang mabuk, terkadang oleng ke kanan, lalu tiba-tiba bergerak ke kiri. Saya yang tepat berada di belakangnya harus ekstra hati-hati dibuatnya, pegang kopling menjadi lebih kencang dan kaki serta tangan sudah stand by di handle rem bila tiba-tiba ada insiden.

Karena penasaran, saya coba menyalipnya, astaghfirullah al adzim... rupanya dia tidak mabuk, tetapi lagi main handphone. Dengan asyik, tangan kirinya sibuk mengetik pesan, entah SMS atau BBM, saya tak tahu pasti. Saya perhatikan mukannya, raut polos yang berhias sebaris janggut tipis di dagu lancipnya. Karena merasa terganggu, saya memilih menyalipnya, meskipun harus menambah kecepatan kendaraanku. Lebih baik kencang sedikit daripada berada dibelakangnya, pikirku.

Tak berapa lama, di depan saya lampu lalulintas menatap tajam dengan sorot mata memerah, sayapun mau tak mau berhenti. Tak lama, pengendara motor yang asyik main handphone tersebut muncul dari belakang, berhenti tepat di hadapanku. Yang membuat saya miris, ternyata tangan kirinya masih saja main handphone.

Yang parah lagi, dia menghentikan motornya tepat di tengah zebra cross yang setahu saya, jalur itu diperuntukkan untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang dengan aman. Tapi apa lacu? Zebra cross tersebut telah dirampas oleh pengendara. Yang tanpa merasa bersalah, masih juga asyik bermain dengan handphonenya.

Dengan seksama, kupelototi dia. Penasaran makin mengganjal di hatiku, betapa rusaknya tradisi berkendara kita saat ini. Saya perhatikan pakaiannya, dia memakai baju koko yang kelihatan karena ujungnya menyembul dari balik jaket berwarna abu-abu yang dikenakannya. Pada punggung jaketnya tersulam dengan gagah logo sebuah Ormas Islam, di bawah logo tersulam indah nama ormas tersebut dalam dua bahasa, Latin dan Arab.

Rupanya, dia seorang aktivis dakwah, minimal simpatisan sebuah Ormas Islam sebagaimana terlihat dari baju koko dan jaket yang dikenakannya. Saya juga menyempatkan diri melirik celananya, cingkrang. Astaghfirullah, saya terperangah menemukan fakta ini. Lengkap sudah ciri-cirinya: berjanggut, celana cingkrang, baju koko dan jaket berlogo ormas Islam. Sebuah ciri kealiman formal dimilikinya hampir sempurna.

Eh, tapi sebentar dulu, tindakannya tadi belum sempurna rupanya. Begitu penghitung waktu mundur masih menunjukkan angka 3, yang berarti bahwa lampu berwarna hijau sebagai tanda bahwa penggunna jalan dipersilhkan lewat akan menyala 3 detik kedepan, dia sudah memacu sepeda motornya, dan tentu saja, handphone masih ada di tangan kirinya. Bukankah itu tindakan yang berbahaya bagi dirinya dan pengendara lain?

Begitu lampu lalu lintas menyapa dengan sinar hijaunya, saya memacu sepeda motorku sambil menggeleng seperti tak percaya bahwa dengan ciri-ciri fisik seperti yang saya sebutkan di atas, ternyata berperilaku lalullintas yang jauh dari aturan. Atau mungkin dia menganggap bahwa aturan lalu lintas itu tidak wajib ditaati karena tidak ada ayat dan haditsnya? Ternyata, kealiman formal tidak menjamin kealiman sosial. Sebuah model beragama yang aneh tapi nyata.

Kisah nyata yang saya alami pagi tadi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama