“Karya yang baik, bukanlah karya yang sempurna. Karya yang baik adalah karya yang selesai”. Mungkin anda telah berdengar nasehat berharga ini berulang kali. Aku pun demikian adanya, pesan ini sudah berulangkali menemuiku dengan berbagai cara, baik dari buku bacaan, maupun diucapkan oleh seorang kawan dalam berbagai kesempatan.
Saking seringnya aku mendengarnya, membuatku merasa bahwa pesan ini tak lagi bermakna apa-apa. Petuah ini tak lagi memiliki daya magis, tak lagi mempunyai kesan yang begitu dalam buat diriku. Entah bagi anda, tapi bagiku, pesan ini telah kehilangan daya dorong dan tak mampu lagi memantik semangatku untuk membuat sebuah karya yang selesai.
Namun tidak dengan sore itu, sore ketika pesan ini kudengar kembali. Begitu kata terakhir pesan itu menelusup jauh ke dalam jendela hatiku, aku menjadi tergugu dan tak mampu berkata-kata, terdiam seribu bahasa, hanya mampu memasang senyum untuk menurupi rasa aneh yang mencekat kesadaranku.
Tiba-tiba keringat dingin menyusup pelan di sela pori kulitku, dadaku bergetar akibat jantung yang berdegup lebih kencang, bulu romaku ikut-ikutan berdiri. Aku merasa kalimat itu baru kali ini aku dengar, dia begitu segar, bertenaga, memompa semangat, dan terasa menyihir!
Kalimat itu diucapkan oleh seseorang yang aku yakini dengan ketulusan niatnya, seseorang yang aku kagumi kerendahan hatinya, seseorang yang aku cemburui kedermawanan jiwanya. Kalimat itu, diucapkan oleh Prof. Dr. H. Aminuddin Salle, SH., MH. dan ditujukan langsung kepadaku. Ya, langsung kepadaku!
Beliau mengucapkan kalimat tersebut, saat aku dan beberapa kawan muda dari Takalar Muda, Cerdas dan Peduli, bersilaturrahim dengan beliau dan keluarga, 9 Agustus 2011 kemarin. Acara yang dikemas dalam bentuk buka puasa bersama itu berlangsung di rumah beliau di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Blok C Nomor 2 Tamalanrea, Makassar.
Hadir pada kesempatan tersebut, H. Imran Rajab Mursali dengan kalimat-kalimat cadasnya yang tanpa basa-basi, Zumirrah Daeng Naba dengan kalimat-kalimatnya yang lembut namun bernas, Muhammad Asrul Ma’gau dengan petuah-petuahnya yang dihasilkan dari permenungan yang dalam dan Daeng Baji’ dengan celetukannya yang meriah.
Dengan telaten, ayahanda –demikian kami menyapa Prof. Aminuddin Salle, SH., MH., melayani kegelisahan kami, yang terungkap dari beragam tema pembicaraan sehabis berbuka dan sholat maghrib berja’maah. Beliau menyulam semesta harapan dari percah pemikiran yang kami tawarkan dan kemukakan dengan semangat menggebu terkait masa depan Takalar yang menjadi impian kolektif kami.
Dengan penuh kasih sayang, beliau memupuk semangat dan daya kritis kami, beliau menyemai spirit perubahan dengan penuh ketenangan, mengimbangi semangat kami yang meletup-letup. Ya, kami menemukan oase kesadaran baru pada diri beliau yang begitu rendah hati rela menyisihkan waktunya untuk mendengarkan celotehan kami ‘anak-anak’nya.
Pada kesempatan tersebut, aku memilih untuk lebih banyak diam dan meresapi kalimat-kalimat beliau.Terus terang saja, aku merasa sungguh kikuk, ini adalah perjumpaan pertamaku dengan ayahanda secara langsung. Sebelumnya kami hanya bertukar sapa lewat media jejaring sosial.
Belum lagi lontaran pujian beliau atas catatan-catatanku di facebook maupun di blog, membuatku harus menekuk kepala lebih dalam. Saat aku merasa hidungku mengembang karena sanjungan ayahanda, aku juga menyadari bahwa ini adalah amanah, dan kepercayaan yang tidak seharusnya membuat saya berbangga diri dan bertinggi hati.
Saat itu, aku dikuasai kesadaran untuk kembali menekuni tumpukan file-file tulisan di notebook untuk kemudian dipoles menjadi karya yang selesai. Beberapa folder yang berisi tulisan dengan beragam bentuk menjadi target utama pemikiranku. Mereka harus terlahir menjadi karya yang usai, baik itu kumpulan cerpen, kumpulan puisi, kumpulan artikel, ataukah novel.
Terima kasih ayahanda, engkau telah mengingatkan bahwa baik dan tidaknya sebuah karya lebih ditentukan apakah karya itu dikerjakan hingga usai atau tidak. Engkau telah menunjukkan bahwa kebiasaanku menulis bukanlah sesuatu yang tak berarti sama sekali, bahkan bagimu, menulis adalah sesuatu yang begitu berharga. Engkau mengingatkan kami untuk senantiasa menulis, menulis dan menulis!
Dan seperti nasehatmu, “Karya yang baik, bukanlah karya yang sempurna melainkan karya yang selesai”, engkau telah membuktikan itu dengan terbitnya karya-karyamu. Bahkan dengan dilandasi semangat untuk berbagi kearifan, kami yang hadir sore itu, engkau hadiahi kami masing-masing dengan sebuah buku. Pada halaman pertama buku itu tertera nama dan tandatanganmu!
Tags:
Catatan Hati