[09.08.2011] Suatu sore, saya pulang dari kantor agak telat dari biasanya. Jalan raya sudah dipenuhi kendaraan yang menyemut, saling berlomba untuk lebih dahulu sampai di rumah. Mungkin mereka berharap bisa segera menikmati segelas air putih sejuk dari lemari pendingin, atau sekedar melihat senyum tulus istri, atau tawa riang putra-putri yang menyambut di depan pintu. Penat telah melecut pengguna jalan untuk berupaya saling mendahului.
Namun pun begitu, akibat sesaknya jalan dan padatnya kendaraan, lalu lintas sore itu berjalan demikian lambat, padat merayap. Tak ada celah sedikitpun, asap knapot memenuhi pandangan. Saya ada di sela-sela kerumunan kendaraan yang merampat pelan namun pasti itu. Waktu bergerak meninggalkan kami yang tetap teronggok ibarat noktah di tengah lautan kendaraan yang memenuhi jalan raya.
Suasana menjadi kian sesak ketika saya sampai di sebuah persimpangan empat yang berlampu jalan. Jalan dua arah ini hanya dibatasi oleh marka jalan yang warna putihnya sudah mulai memudar. Sebagai bentu antisipasi danya pengendara yang melindas marka jalan, pihak kepolisian memasang bentangan tali di atas marka jalan tersebut sejarak 50 meter dari zebra cross.
Antrian di persimpangan itu lumayan panjang, sungguh ujian kesabaran yang tak terpemanai beratnya. Banyaknya kendaraan yang saling berlomba membuat beberapa pengendara menjadi nekad untuk menerobos lampu merah yang menyala dengan garang. Kondisi ini membuat suasana kian kacau, lalu lintas kendaraan jadi ruwet, polisi lalu lintas seperti tak berdaya menghadapi beringasnya pengguna jalan.
Yang membuat saya terhenyak, ketika tiba-tiba dihadapan saya, seorang bapak berusia sekitar 50-an tahun yang membonceng dua orang anaknya mencoba menerobbos bentangan tali yang membentang di atas marak jalan. Anak pertama adalah seorang gadis berusia belasan, mengenakan baju kaos yang di punggungnya terpampang nama sebuah SMP. Di depannya terselip adik lelakinya yang sepertinya masih siswa SD.
Ketika bapaknya berusaha menginjak tali, lalu melindasnya dengan ban depan sepeda motornya, kedua anak itu bersorak dengan gembira dan memberi dukungan penuh atas tindak bengal bapaknya. Mungkin mereka merasa heroik dengan aksi menyimpang tersebut. Sang bapak pun terlihat lebih bersemangat melakukan aksinya itu. Saya menatap kejadian itu dengan mata sendu, tertunduk malu.
Ban depan motornya sukses melintasi bentangan tali dan juga marka jalan. Selanjutnya bapak itu berjuang melewatkan ban belakang. Sayang, bentangan tali tersangkut di bagian bawah motor, mungkin terkait dengan rangka mesin. Dengan penuh semangat, anak gadisnya meloncat turun baru membantu bapaknya untuk melepaskan sangkutan tali tersebut. Dan berhasil...!
Begitu tali itu terlepas dan berhasil dilindas oleh ban belakang motor bapaknya, si anak gadis meloncat naik ke sadel belakang motor di boncengan bapaknya dengan muka sumringah dan senyum penuh kemenangan. Dengan bangga, bapaknya menepuk-nepuk paha anaknya sebelum kemudian memicu sepeda motornya dengan merampas wilayah jalan pegendara dari arah sebaliknya.
Mungkin merasa telah begitu berprestasi atau bangga dengan tindakan bapaknya yang bergiat melepaskan diri dari kemacetan, anak perempuan itu berdiri di boncengan lalu bersorak girang dan gembira, “horee...!!!” sambil melempar senyum penuh kemenangan kepada pengendara lain yang masih terjebak di tengah kepadatan kendaraan di balik bentangan tali. Adiknya juga ikut bersorak sambil menepuk-nepuk pundak bapaknya kegirangan, bak mengalungkan bunga pada seorang pahlawan.
Dan tahukah anda? Bukannya menunjukkan ketidaksepakatan, pengendara lain malah menunjukkan kesepakatan yang mendalam atas tindakan bapak tadi, dan seperti mengatakan, “tindakan bapakmu adalah tindakan yang tepat”. Tak perlu menunggu komando, motor-motor yang sedari tadi antri menunggu giliran, berlomba untuk mengikuti jejak sang bapak dengan kedua anaknya tadi. Tanpa peduli polisi lalu lintas yang mencoba mencegah, para pengendara berlomba melakukan pelanggaran.
Yang memiriskan hati, saya merasa bahwa tanpa sadar si bapak tadi telah mengajar anaknya untuk melakukan pelanggaran, sesuatu yang negatif, sesuatu yang negatif. Dan parahnya lagi, tindakan itu mengalami pembalikan makna, seakan-akan itu merupakan sebuah tindakan yang benar, yang heroik, dan penuh nilai kebenaran. Sungguh tega, dua orang anak yang masih belia mendapatkan pelajaran yang kontra produktif dari bapaknya sendiri.
Belum lagi tindakan pembenaran dari pengendara dan pengguna jalan yang lain. Mereka telah berpartisipasi aktif dalam membentuk kesadaran dan pola tingkah berkendara kedua anak itu di kemudian hari. Bisa kita bayangkan, akan menjadi generasi macam apa kedua anak tadi? Bagaimana kualitas tradisi berlalu lintas kita nantinya?
Sungguh takut saya membayangkan jikalau proses ini terjadi hampir setiap hari dan dialami bukan oleh dua orang anak, tapi satu generasi anak! Bagaimana pula kalau proses ini tidak hanya terjadi di jalan raya, tapi juga di semua sisi kehidupan? Maka ini merupakan senjakala bagai masa depan. Kita semua, keluarga, komunitas, dan masyarakat telah ikut berpartisipasi aktif dalam proses ini.
Meskipun proses pendidikan yang dilakukan oleh para guru dan tenaga pendidik lain di sekolah-sekolah sudah bagus dan memadai, kalau ternyata kita semua, keluarga, komunitas dan masyarakat menunjukkan dan mengajarkan nilai yang berbeda, maka bisa diprediksi, tradisi seperti apa yang akan di praktekkan oleh generasi ini ke depan. Sesuatu yang patut menjadi renungan bersama.
Ananda Daeng Matutu. Ini penyakit, kenyataan sosial & penyimpangan budaya yang "wajib" dilawan Nak. Kalau dalm beberapa tulisan saya dalam http://pena.aminuddinsalle.com hanya mencohkan perilaku anak muda, contoh Ananda lebih tragis: pelakunya orang tua. Ini berarti gejala sudah lama, sudah kronis sehingga memerlukan terapi yang lebih serius & butuh waktu lama. Tapi kita "wajib" memperbaikinya Nak dengan memulai dari diri kita, keluarga kecil kita, dan melalui tulisan-tulisan seperti ini, Nak. Mari kita bersama melakukan "pemberontakan" atas keadaan itu, walau dengan hanya
BalasHapusmenulis. Wassalam.
itu yang membuat saya miris ayahanda, pelakunya orang tua dan disaksikan oleh dua orang anaknya yang masih belia...
BalasHapussaya sangat khawatir, dalam kognisi anaknya terbangun kesadaran keliru bahwa yang dilakukan bapaknya itu benar.
saat saya melihat kejadian tersebut, anak itu bbegitu gembira, bahkan bangga dengan pelanggaran yang dilakukan oleh bapaknya...