Menangis; Berkoerban dengan Airmata



Gema takbir membahana, suara serak yang melantunkannya, menyiratkan kegembiraan yang begitu mengharu biru. Cerahnja pagi disambut dengan rombongan orang ibarat kafilah dagang berbondong-bondong menuju ke tempat pelaksanaan sholat Idul Adha’ dan tempat penyembelihan hewan kurban. Langkah diiringi dengan berbagai macam harapan.

Harapan akan mendapatkan sekilo-dua kilo pembagian hewan kurban, impian untuk ketemu dengan orang terkasih, khayalan untuk mendapat pehatian lebih karena nama disebut sebagai penyumbang hewan kurban, sampai keinginan untuk sekedar mrnunjukkan bahwa baju yang dipakainya lebih elite dari baju orang lain.

Takbir, tahlil dan tahmid diaplikasikan dengan teriakan garang di tengah malam sambil melakukan arak-arakan yang memekakkan telinga orang dengan deru kendaraan yang ditumpangi, juga membuat orang harus menutup hidung untuk menjaga paru-parunya dari semburan asap knalpot kendaraan.

Bahkan lebih parah lagi, pengguna jalan yang lain dipaksa minggir dan memberi jalan karena mereka adalah rombongan yang mengatasnamakan Tuhan. Merekalah arak-arakan kebenaran, mereka para pendukung kebenaran, mereka para pentaskih kesucian.

Sakralnya silaturahmi, berkahnya jabatan tangan, diterjemahkan dengan mengulurkan tangan kepada para fakir miskin di bawah sorotan blitz kamera para wartawan, ungkapan kesedihan melihat kemiskinan material yang membelit orang lain, dilakukan di depan corong radio yang merilai secara langsung. Air mata diteteskan walaupun penuh kepura-puraan, sebagai simbol dari rasa turut merasakan kesulitan ekonomi yang dirasakan orang lain.

Padahal ada jang lebih patut dilakukan selain sekedar membagi hewan kurban, meneriakkan takbir, tahlil dan tahmid dari atas mimbar atau meneteskan air mata kepura-puraan di bawah sorotan kamera. Sebuah tindakan yang mungkin tidak begitu berarti bagi sebagian kita, bahkan terasa lucu. Tindakan itu adalah menangis, meneteskan air mata.

Tapi ini bukan menangisi kemiskinan material yang membelit keseharian, bukan menangisi pangkat, harta dan jabatan yang tidak pernah hinggap dipundak kita. Kita sepatutnya menangis demi sebuah kemiskinan iman dan kesadaran akan hakekat kehidupan dan kemanusiaan.

Kita sepantasnya menangisi derajat taqwa yang selama ini hanya menjadi impian --itu kalau sempat--. Inilah tindakan pengorbanan yang sebenar-benarnya berkorban, inilah kurban hakiki. Yang dibutuhkan bukan cuma kurban sapi atau kambing yang disembelih demi nama besar.

Jang dibutuhkan adalah cucuran air mata yang mengalir mengiringi doa-doa keselamatan yang dilantunkan untuk para musthad’afien dari hati yang tulus dan ikhlas, sehingga setiap butirnya mewakili cucuran keberkatan rahmat ilahi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama