Masjid Daeng Matteru


[07.04.2019] Namanya Daeng Matteru. Warga kampung yang belum pernah menginjakkan kaki di masjid walau sekali, semenjak aku menjadi imam di sini, di kampung ini.

Penasaranku padanya bermula saat Puang Cambang --donatur tunggal yang telah menyulap masjid di kampung tersebut menjadi begitu megah dan menunjukku menjadi imam, mendekatiku seusai tarawih.
     “Sudah lima belas ramadan, Ustaz.” Serunya saat masjid sudah sepi.
     “Iya Puang. Alhamdulillah, jamaah masih bertahan.”
     “Iya, menggembirakan. Cuma…” Puang Cambang menghela nafas panjang.
     “Ada hal yang masih mengganjal di hati, Ustaz.” Lanjutnya.
     “Apa gerangan, Puang?”
     “Soal anak – anak yang sering gaduh, dan soal Daeng Matteru.”

Mendengar soal anak – anak, itu sudah biasa, tapi Daeng Matteru? Ada apa dengan lelaki paruh baya itu?
     “Daeng Matteru belum pernah datang salat, Ustaz.” Puang Cambang menerka keherananku.
     “Begini saja. Kalau Ustaz berhasil membujuknya untuk salat di masjid ini, saya akan bersedekah padanya di tiap bulan. Bagaimana?”
     “Puang Cambang, serius?”
     “Insya Allah, Ustaz siap membujuknya?”
     “Akan saya coba, Puang. Insya Allah.”
     “Tolong, soal sedekah itu jangan disampaikan dulu ya, saya takut niatnya nanti tidak tulus.” Puang Cambang pun berlalu.
*     *     *

Sore, aku menyambangi kediaman Daeng Matteru di ujung kampung. Kulihat Daeng Matteru bercengkerama dengan belasan bocah di sela bedeng yang ditanaminya bermacam sayur. Ia tinggal sendiri, istrinya telah meninggal berbilang tahun, mereka tak punya anak.

Aku kian mendekat. Rupanya, anak – anak yang dia temani adalah mereka yang suka bergurau di masjid. Kebetulan yang menguntungkan. Setelah menjawab salamku, Daeng Matteru menjabat tanganku.
     “Wah, ada Ustaz. Ayo anak – anak, salim ke Ustaz.”
     “Kalian pulang dulu ya, saya ada urusan dengan Ustaz, nanti besok kita main lagi.” Lanjutnya. Dia menyilakan masuk, aku memilih berbincang di teras.

Kami duduk bersisian di bangku. Daeng Matteru lebih dahulu memulai percakapan.
     “Terima kasih Ustaz telah berkunjung. Sungguh bahagia mukim saya didatangi seorang ustaz, di bulan ramadan pula, rasanya seperti mendapatkan lailatul qadr.” Daeng Matteru mendahuluiku.
     “Ah, Daeng bisa saja. Maaf, kedatanganku telah mengganggu.”
     “Mana berani saya merasa terganggu, Ustaz.”
     “Jadi begini, aku melihat hubungan Daeng dengan anak – anak tadi lumayan dekat…”
     “Benar Ustaz, kami memang dekat. Ada masalah, Ustaz?” Mata Daeng Matteru agak mendelik.
     “Bukan begitu, Daeng. Anak – anak itu, saban malam mereka ribut di masjid.”
     Hehehe… Bukankah anak – anak memang masanya bermain, Ustaz? Bukankah bermain di masjid juga bukan perbuatan terlarang dalam agama?”
     “Betul. Tapi menjadi masalah ketika mereka bermain di saat kami sedang salat isya dan tarawih, mereka berlarian di sela saf, terutama di barisan belakang.” Terangku, Daeng Matteru manggut – manggut.
     “Jadi apa yang bisa saya bantu, Ustaz?”
     “Bisalah sesekali Daeng hadir di masjid dan menjaga agar mereka tidak ribut di saat salat.”
     Kalau itu, mudah saja Ustaz. Insyaallah saya akan datang.” Daeng Matteru meyakinkanku.
*     *     *

Malam hening, bacaan tahiyatku merambat memanjat lengang. Salat kupungkas dengan salam yang kuimbuhi zikir dan doa bersama jamaah. Begitu kata amin menggega di ujung al Fatihah, seseorang menepuk bahuku dari belakang, Puang Cambang.
     “Sepertinya kamu berhasil, Ustaz. tidak ada lagi anak – anak yang gaduh.”
     “Iya, Puang….” Ujarku sambil melirik ke seluruh jamaah yang mulai membubarkan diri, termasuk Puang Cambang. Tak ada Daeng Matteru di sana.

Saat kaki kananku menjangkau teras masjid, seseorang tiba – tiba berdiri takzim di hadapanku.
     “Saya sudah laksanakan tugasku, Ustaz.” Muka Daeng Matteru semringah.
     “Alhamdulillah, anak – anak memang sudah tidak ribut, Daeng. Tapi, tadi di bagian mana?” Tanyaku sambil mengajaknya duduk di teras masjid, di atas sajadah yang kuhamparkan.
     “Maksudnya, Ustaz?”
     “Maksudku, waktu salat tadi, Daeng Matteru berdiri di saf sebelah mana?”
     “Oh, saya cuma berdiri di dekat pintu, Ustaz. Tugas saya cuma mengawasi anak – anak agar tak gaduh, kan? Hehehehe….” Jawabnya cengengesan.
      “Tidak ikut salat?”
     “Tidak, Ustaz. Insyaallah nanti saya salat di rumah saja.”
     “Kenapa?” Tanyaku sambil menepuk pundaknya.
     “Salat di rumah tidak apa – apa kan, Ustaz.”
     “Tidak apa – apa, tapi salat di masjid juga tidak apa – apa.”
     “Saya yang apa – apa, Ustaz. Saya merasa belum pantas menginjakkan kaki di masjid.”
     “Maksud Daeng?”
     “Saya belum suci, Ustaz.”
     “Daeng tidak tahu berwudu?
     “Tahu”
     “Lalu?”
     “Saya teringat kata Allah, wa tsiyaabaka fathahhir, wa al-rujzah fahjur.” Cara Daeng Matteru melantunkan ayat ketiga dan keempat surah al Muddatsir dengan sangat indah, membuatku seperti tersengat kalajengking.
     “Bukankah tubuh ini adalah pakaian bagi jiwa? Jangankan jiwaku, tubuh inipun rasanya masih penuh dosa dan kemusyrikan.” Daeng Matteru melanjutkan, sekilas kulihat tubuhnya bergetar. Aku pikir, dia memiliki pemahaman keagamaan yang mendalam.
     “Kemusyrikan itu di pikiran dan keyakinan, Daeng. Bukan di tubuh.” Aku mencoba meyakinkannya.
     “Saya kadang masih berlebihan menyantap makanan di saat berbuka, itu sebentuk kemusyrikan bagi tubuh, kan Ustaz?”
     “Maka masuklah ke masjid, Daeng. Allah akan memberikan petunjuk-Nya.”
     “Sungguh takut saya kepada Allah yang telah menyebut kemusyrikan sebagai najis, dan Dia pun melarang si najis untuk mendekati masjid. Tentu Ustaz lebih paham maksud kalimat Allah dalam at Taubah ayat 29 itu. Apalagi masjid ini begitu bersih, mana pantas bangsat seperti saya ini memasukinya?” Mendengar jawabnya, aku makin tertantang untuk mengajaknya salat di masjid.
      “Lalu apakah dengan salat di rumah, Daeng merasa itu bukan di masjid?”
     “Tentu demikian, Ustaz. Bukankah jelas beda rumah dengan masjid?” Mendengar jawabnya, aku melihat peluang.
     “Apakah Daeng tahu bila masjid itu bermakna tempat sujud? Berarti saat Daeng Matteru bersujud di rumah, maka rumah itu telah menjadi masjid.”
     “Wah, tidak bisa begitu, Ustaz.”
     “Mengapa tidak bisa?” Daeng Matteru terdiam, mungkin mencoba mencerna tanyaku.
     “Dalam Alquran, masjid juga tidaklah bermakna bangunan. Tentu Daeng Matteru pernah mendengar ayat Alquran tentang Masjid Alharam dan Masjid Alaqsa. Saat ayat itu turun, Masjid Alharam mengacu ke pelataran Kabah dan Masjid Alaqsa hanyalah sebongkah batu besar di Palestina.” Kulihat Daeng Matteru tercenung.
     “Bahkan para alim meyakini bahwa badan kita ini, yang Daeng Matteru sebut bergelimang dosa dan kemusyrikan, sesungguhnya adalah bait Allah, tempat ruh Allah bersemayam. Maka untuk membersihkan dosa dan kesyirikan yang melekat, masukkan masjid ke dalam diri kita, jadikan tubuh ini layak disebut bait Allah.” Kembali aku menohoknya.
     “Tapi tak mungkin masjid itu masuk ke dalam diri kita, bila kita tak pernah memasukinya.” Suasana lalu hening, dari kejauhan kudengar anjing melolong panjang.
*     *     *

Malam ke dua puluh tujuh ramadan, usai mengimami jamaah, ekor mataku menangkap bayangan Daeng Matteru bersujud di pojok masjid, panjang dan dalam.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama