[06.02.2014]
Hari ini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ulang tahun, kubuat tulisan ini sebagai
pengingat bahwa HMI pernah (dan masih) menjadi ruang bagiku untuk menempa diri.
Bahkan aku sudah alumni dan sekarang menjadi pengurus Korps Alumni Himpunan
Mahasiswa Islam (KAHMI).
Sebelum lebih jauh aku bercerita, perlu aku
perjelas bahwa HMI yang menjadi ruangku bergelut selama ini adalah HMI yang
lahir dari rahim Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI ketika terjadi gesekan
internal karena perbedaan sikap atas azas organisasi pada tahun 1985.
Meskipun gesekan itu sudah lama berlalu, namun
terbelahnya struktur organisasi kemahasiswaan Islam terbesar di Indonesia ini,
masih berlanjut sampai saat aku menjadi mahasiswa pada tahun 1997 dan masuk HMI
tahun 1998. Bahkan dualitas itu masih berlangsung sampai hari ini.
Implikasi dari pilihan ini, membuat aku menjadi
kader HMI kadang dicap lebih kental warna islamnya dbanding warna indonesianya.
Kenapa demikian? Karena HMI (MPO) lebih memilih bertahan dengan azas islam
daripada menerima pancasila sebagaimana keinginan pemerintah waktu itu.
Perkaderan HMI yang mencoba menerapkan tradisi
islam yang lebih puritan, secara teknis membuat pergaulanku lebih mirip kader
tarbiyah yang besar di halaqah-halaqah salafiyah. Namun anehnya, pemikiranku
cenderung menjadi lebih liberal. Ini perpaduan yang rasanya aneh.
Aku akan risih berada di majelis yang dalam standar
tradisional berbau ikhtilat, di mana laki-laki dan perempuan berbaur tanpa
sekat yang tegas dan jelas. Namun di saat yang sama, aku begitu bergairah
memamah pemikiran Abu Zayd yang memosisikan alquran tak ubahnya sebagai karya
sastra, atau pemikiran Derrida yang mengguncang fondasi iman.
Beberapa kawan di HMI melabeli situasi ini dengan
slogan, “berpikir liberal, bertindak
fundamental”. Berpikir melampaui batas-batas pemikiran moderat, namun siap
tunduk, patuh dan taat pada perintah agama yang memiliki nash yang benderang.
Sampai hari ini, isi slogan tersebut, sedikit
banyak masih memengaruhi gaya hidupku, meskipun itu bukan di lingkungan HMI.
Beberapa kawan bergaul di luar HMI menganggap bahwa cara hidupku masih tercemar
oleh sikap yang kolot, kuno, dan ketinggalan zaman.
Melihat gayaku yang sedemikian, lagi-lagi beberapa
kawan berkomentar, bahwa seandainya aku tidak ‘terjebak’ belukar HMI, maka
dengan potensi yang aku miliki, aku bisa menjadi lebih baik dari diri dan
keadaanku hari ini, aktualisasi potensiku bisa lebih optimal.
Aku tersenyum saja mendengar hal tersebut, sebab
menurutku, tak ada yang salah dengan pilihan ini. Bahkan aku merasa sangat
bersyukur ‘terjebak’ di HMI, sebab bila tidak, aku tak tahu berapa banyak
potensi negatifku yang akan aktual, dan menjadi ladang dosa bagiku.
Sebut contoh misalnya, ketatnya pengawasan HMI
terhadap pola pergaulan yang diterapkan terhadap kader, membuatku menjadi joblo sejati dan terhindar
dari pacaran yang pada hari ini terbukti menjadi sarana pelaksanaan zina paling
mudah, murah, dan kadang di’legal’kan di masyarakat kontemporer.
Satu contoh ini saja, sudah menjadi indikasi,
betapa pergaulan di HMI memang terkesan kolot. Belum lagi pengawasan terhadap
pelaksanaan amalan sehari-hari: sholat berjamaah, puasa sunnah senin-kamis,
sholat lail, tadarrus, dan lain sebagainya. Semua itu senantiasa dikontrol
dalam jamaah HMI.
Tentu saja aktivitas amalan harian itu tidak
berjalan sendiri, pengayaan atas berbagai ide dan pemikiran, mulai yang berbau
filosofis, sampai yang berbau teknis, rutin dilakukan untuk memberi makan pada
otak kader.
Sekretariat yang menjadi sentrum kegiatan HMI,
senantiasa menjadi telaga bagi kader yang jenuh, penat dan letih dengan
kehidupan yang kian banal. Ketika keimanan ini kendur, semangat belajar
melemah, dan jiwa menjadi hambar, berkunjung ke sekretariat adalah solusinya.
Untuk melatih kepekaan sosial, kegiatan advokasi
dalam bentuk pendampingan dan unjuk rasa menjadi rutinitas yang mengasyikkan.
Belum lagi pelaksanaan bakti sosial ke daerah terpencil dengan waktu
pelaksanaan yang lumayan lama, membuat ikatan emosional dengan masyarakat
menjadi erat.
Oh ya, hampir terlupa. Hal lain yang masih membekas
dalam rongga ingatanku adalah, ketika amanah kepengurusan mampi di pundak. Maka
itu berarti bersiaplah untuk lebih mengurangi makan, tidur, dan berbagai
kesenangan lain yang masih bisa dinikmati sebelumnya.
Derai air mata sedih akan beratnya beban menjadi
‘imam’ di berbagai level struktur HMI merupakan momen tak terlupa pada setiap
forum kekuasaan HMI (Kongres, Konferensi Cabang, dan Rapat Anggota Komisariat).
Semua itu karena kesadaran bahwa jabatan adalah amanah.
Maka tak heran, tak akan ada silang sengketa,
intrik politik, serta strategi pemenangan untuk merebut jabatan di HMI. Bahkan
mereka yang digadang-gadang menjadi ‘imam’ karena melihat kualitas
kepribadiannya secara spiritual dan intelektual, cenderung menghidar dan menjauh.
Pada 5 februari 2014 ini, kembali aku mengenang
jejak langkah yang pernah aku pijakkan di HMI. Kenangan yang paling membekas
selama aku ber-HMI adalah hal-hal seperti itu, bukan yang lain. Bagaimana
dengan anda? Apakah HMI yang kita bayangkan adalah warna yang sama?
Tapi meskipun intensitas interaksiku dengan HMI
sudah jauh berkurang, aku tetap berusaha merawat kenangan itu, berusaha
menginplementasikan nilai-nilai yang aku peroleh darinya. Semua itu menjadi
lebih mudah karena hari-hariku senantiasa didampingi oleh seorang alumni HMI
juga.
Ya, istriku juga seorang alumni HMI, dan sempat
aktif di lembaga khusus HMI yang menghimpun kader-kader putri di HMI, Korps HMI
Wati (Kohati). Dengannya aku mengayuh biduk di samudera kehidupan yang lebih
luas. Sedikit banyak, aroma HMI terasa di rumah tangga kami.
Tags:
Refleksi
bahagia HMI
BalasHapus