[18.03.2014] Pagi ini, aku sarapan
sendiri. Istri sudah berangkat ke kantor ketika aku beranjak ke dapur untuk
memenuhi lambung dan usus serta seluruh organ tubuh yang terkait dengan
pencernaan. Kujalani makan dalam diam, kunikmati setiap suap dengan khusyu’.
Kutandaskan
sepiring nasi dan lauk di ruang dapur, aku tak sempat beranjak ke depan teve,
sebagaimana kebiasaanku sebelum-sebelumnya. Piring nasi kuisi penuh untuk yang
kedua kalinya, sepertinya aku kelaparan, hehehehe...
Baru
memasuki suapan kedua, si Mehdi, anakku yang kedua, ikut masuk ke dapur dan
duduk sampingku. Awalnya aku pikir dia akan ikut makan, seperti kebiasaannya
selama ini. Ternyata perkiraanku meleset, dia datang bukan untuk minta disuapi,
dia datang untuk bertanya.
“Tetta,
kalau ada monster di depanta’, kita’ apai?” Tanya si Mehdi penuh selidik.
Kaget
juga saya mendengar pertanyaan anehnya, kunyahanku terhenti, dan pikirku
bergerak lalu menyimpulkan bahwa ini pasti pengaruh mimpinya semalam.
“Kita’
apai monsternya, Tetta?” Kembali dia bertanya.
“Yaaaa,
Tetta makan itu monster.” Jawabku sekenanya, sambil mengunyah makananku dengan gaya
mengunyah yang aku dramatisir seakan-akan sedang memamah monster yang dia
maksud.
“Tidak
bisa, Tetta.” Protes si Mehdi.
“Kenapa
tidak bisa?” Tanyaku keheranan.
“Monster
kan besar, tidak muat di mulutta’....” Jelasnya.
“Jadi
bagaimana dong?” Tanyaku memancing.
“Monster
itu kan besar, tidak bisa dimakan.” Terang si Mehdi.
“Kita’
iyya, kalau ada monster di depanta’ kita apai, nak?” Kembali aku memancingnya.
“Saya
makanki monsternya, Tetta.” Jawabnya singkat membuatku bingung.
“Kita’
bilang tadi, monsternya tidak bisa dimakan, kok kita’ makan monsternya?”
“Kita’
memang tida bisa makan monsternya, kalau saya bisa.”
“Kenapa
bisa begitu?” Selidikku.
“Kalau
saya berubah jadi robot raksasa, saya bisa makan monsternya, hehehehe...”
“Bagimana
caranya kita’ jadi robot raksasa?”
“Saya
terbang masuk ke dalam robot, kalau robotnya sudah ada.” Jelas si Mehdi.
“Memangnya,
bisaki’ terbang?”
“Iyya,
bisa.”
“Coba
bede’ terbangki’ sekarang.”
“Tidak
bisa sekarang.”
“Kok
tidak bisa?”
“Karena
belumpi muncul robot raksasanya.”
“Kenapa
tidak muncul robotnya?”
“Karena
belumpi datang monsternya.”
Aku
tersenyum mendengar jawaban-jawaban si Mehdi. Aku coba merekonstruksi kembali jawaban-jawaban
tersebut, sehingga aku kembali menanyainya.
“Kalau
datangki monster, bisaki’ makanki karena berubahki’ jadi robot raksasa, Nak?”
“Iyye’,
Tetta.”
‘Ow....”
gumamku.
Aku
melanjutkan makan, si Mehdi berdiri, sebelum beranjak tak lupa dia berpesan.
“Tetta,
kalau ada monster, janganki’ makanki, panggilka’ biar saya yang makanki kalau
berubahma’ jadi robot raksasa.”
“Iyye’,
Nak. Tetta panggilki’ kalau munculki monster.”
Setelah
itu, dia berlalu sambil bergaya seperti orang terbang dengan mengajukan salah
satu tangannya ke depan mengikuti condong badannya.
“Wussssss........”
Mehdi
berlalu, aku kembali mengunyah.
Tags:
Mehdi