Dari Kucing Schrodinger Ke Kebingungan, hahahah....

Pernah mendengar “kucing Schrodinger”? Seekor kucing yang ditempatkan dalam sebuah kotak baja bersama sebuah alat pencacah Geiger dan  zat radioaktif dalam jumlah yang kecil ---potongan yang begitu kecil, namun dengan 50% kemungkinan bahwa salah satu atomnya akan membusuk dalam waktu satu jam.

Begitu salah satu atom membusuk dan melepaskan radiasi, alat pencacah Geiger akan mendeteksinya, lalu memicu mekanisme pegas yang menyebabkan sebuah palu menghantam tabung kecil yang mengandung asam hidrosianik, akhirnya gas hidrosianik itu akan menyebar dalam kotak baja dan mengakibatkan kucing akan mati.

Percobaan yang pertama kali dirancang oleh fisikawan Austria, Erwin Schrodinger –yang kemudian dikenal sebagai pelopor mekanika kuantum-- pada tahun 1935 ini menunjukkan bahwa kondisi atom zat radioaktif yang berbagi tempat pada sebuah kotak baja berada dalam ‘superposisi’ dari dua keadaan yang mungkin: membusuk dan tidak membusuk, begitupun dengan kucing: hidup dan mati.

Kondisi superposisi yang dialami oleh atom dan kucing tersebut akan terus menjadi misteri yang belum terpecahkan, selama sebuah pengamatan tidak dilakukan. Jadi, kesimpulan tentang apa yang terjadi pada kucing Schrodinger, tergantung pada keterlibatan seorang pengamat atau peneliti.

Mengenai keterlibatan pengamat atau peneliti dalam eksperimen kucing Schrodinger, menimbulkan soal tersendiri. Dan memang, dilema kucing Schrodinger ini sengaja diciptakan untuk menunjukkan secara gamblang betapa absurdnya pemahaman ortodoks mengenai dunia kuatum, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut Newtonian secara kukuh.

Kondisi ‘superposisi’ kucing Schrodinger yang merupakan fenomena kuantum akan sulit diukur secara pasti sebagaimana yang selama ini didaku oleh fisikawan Newtonian, bahwa setiap benda (struktur) selalu terdiri dari bagian-bagian atau partikel dasar yang masing-masing bersifat independen dan terisolasi dalam ruang dan waktu yang bersifat absolut yang saling berhubungan melalui aksi dan reaksi.

Seperti ditegaskan oleh salah seorang penyokong teori kuantum, Werner Heisenberg (1927). Haisenberg mengatakan bahwa posisi dan momentum partikel-partikel sub-atomik tidak dapat diukur secara tepat pada waktu yang sama. Ini karena interaksi dan gerak yang terjadi antara atom-atom dan partikel sub-atomik pada dasarnya tidak menentu.

Meskipun teori kuantum juga menyisakan banyak tanya, tapi kehadirannya menyadarkan kita bahwa semesta bukanlah hal yang dapat dibagi-bagi menjadi atom-atom yang independen dan utuh dalam dirinya, dan semesta bukanlah sekedar sekumpulan atom-atom independen, melainkan sebuah jejaring interkoneksitas yang bersifat organis, hidup dan utuh, tak bisa dipecah dan dibelah menjadi entitas tunggal dan absolut.

Pergeseran cara pandang secara ontologis ini berimplikasi pada pergeseran secara epistemologis dan aksiologis, bahkan sampai pada pilihan metode penelitian yang dilakukan. Keterlibatan seorang pengamat atau peneliti terhadap dilema kucing Schrodinger tidak tepat bila dihampiri dengan pendekatan penelitian kuantitatif yang selama ini diagung-agungkan kaum positivisme.

Secara epistemologis, mekanika kantum memperlihatkan bahwa realitas bukanlah sebuah mesin raksasa yang bekerja secara mekanistik dan bisa diurai komponen-komponennya untuk mengamati interaksi yang terjadi antar komponennya, realitas bukanlah sebuah struktur kaku, dianya adalah jejaring tanpa simpul yang bisa terurai.

Ini berarti bahwa mengetahui interaksi antar komponen dari realitas, tidak sertamerta membuat kita bisa mengetahui mekanisme yang bekerja dalam kondisi dan situasi apapun. Tapi karena realitas merupakan sebuah proses dimana setiap entitas berinteraksi secara organis dan dinamis, maka kita hanya bisa melihat kemungkinan-kemungkinan yang terus bergerak dan tidak bisa direduksi menjadi simpulan determinan.

Secara aksiologis, kita bisa belajar dari teori kuantum bahwa pertimbangan subyektif, makna simbolik, serta refleksi etis dan estetik pantas mendapat tempat karena setiap entitas teramati selalu hadir bersama kemungkinan atau probabilitas, tergantung dari posisi mana dan dengan cara apa kita mengamatinya, atau yang disebut dimensi fraktal.

Dimensi fraktal membuat obyek amatan selalu dalam suasana dan situasi berbeda, unik, dan khas --sebagaimana dalam eksperimen kucing Schrodinger, sehingga obyektivitas menjadi hal yang mustahil. Yang ada hanyalah rentetan suasana obyek amatan dalam konteks yang selalu bergerak dan berubah secara dinamis. Maka nilai pengetahuan tidaklah bersifat obyektif, melainkan selalu mengedepankan kontekstualitas.

Secara teknis, pergeseran paradigmatik pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis mendorong lahirnya gugatan terhadap metode penelitian kuantitatif yang berangkat dari paradigma sains Newtonian –atau lebih dikenal sebagai penganut sains positivisme, yang telah dikritik oleh para pengusung fisika kuantum ---mereka yang mendorong arus postpositivisme.

Namun sayang sekali, suasana feodalistik di beberapa kampus dalam dunia pendidikan tinggi kita masih mencekoki kesadaran sebagian besar penjaga gerbang kebenaran saintifik yang bersifat positivis. Hal ini berimplikasi pada tidak tersedianya ruang yang lapang bagi tumbuh dan berkembangnya paradigma baru keilmuan. Pendekatan kuantitatif menjadi rezim kebenaran yang tak membolehkan munculnya interupsi, yang pada gilirannya memasung kreativitas dan membungkam mereka yang bersuara berbeda.

nb: ini bukan tulisan ilmiah, melainkan sekedar curhat, hehehehe..... 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama