Mendengar Suara Hati, Menuruti Kata Tuhan

Pagi-pagi, sambil berolahraga ringan, aku mendengarkan SMART FM untuk menambah gairah. Rupanya, pas saat itu ada renungan dari resi manajemen, Gede Prama, seorang pembicara publik yang memang saya gandrungi sejak lebih dari sepuluh tahun silam.

Renungan yang disampaikan oleh Gede Prama memiliki ciri khas, selalu diawali dengan cerita pendek yang penuh hikmah dan bisa mengantar pendengarnya untuk lebih menghayati renungan manajemen yang akan dia paparkan.

Seperti pagi ini, sebelum menjelaskan bagaimana menjalankan manajemen yang berbasis hati nurani, Gede Prama berkisah tentang Tuhan yang mencari tempat istirah. Pada kesempatan ini, aku akan mencoba menceritakan kembali kisah yang dituturkan oleh Gede Prama dengan bahasaku sendiri, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Syahdan suatu waktu, Tuhan merasa jenuh dan berkehendak untuk istirahat di tempat yang sunyi dan sepi, serta jauh dari ingar kehidupan. Untuk menemukan tempat yang tepat, Tuhan memanggil malaikat terdekatnya untuk mendapatkan masukan.
“Bagaimana ini, Aku ingin tetirah, apakah kalian punya usul mengenai tempat yang tepat?” Tuhan melontarkan tanya.
“Pilihlah puncak gunung, Tuhan. Di sana engkau akan menemukan udara yang segar, dan suasana yang senyap.” Usul Malaikat pertama.
“Ah, itu dulu,” keluh Tuhan, “Sekarang, sudah terlalu banyak orang yang mendaki gunung, puncak gunung tak lagi tenang, bahkan terkesan jorok.” LanjutNya.
“Bagaimana kalau ke dasar lautan, Tuhan? Bukankah di sana begitu temaram? Tentu menarik untuk ditempati tetirah.” Saran Malaikat kedua.
“Itu juga dulu, Malaikatku. Kini, laut sudah terlalu padat dengan para penyelam, yang mencoba menggapai dasar lautan. Bahkan ada yang menggelar upacara bendera.” Kesah Tuhan pula.

Suasana menjadi senyap, Tuhan dan para malaikatnya seperti berpikir keras menemukan tempat yang tepat. Sampai kemudian, sayup-sayup terdengar suara berbisik dari Malaikat ketiga.
“Saya mengusulkan agar Tuhan beristirahat saja di hati manusia”.
Semua terdiam mendengar bisikan Malaikat ketiga.
“Hati manusia? Kenapa engkau berpikir bahwa itu tempat yang tepat?” Telisik Tuhan.
“Sebab setahu hamba, sekarang ini, sudah sangat jarang manusia yang menyambangi harinya sendiri, mereka terlalu sibuk mendengarkan fitnah dan kebohongan, serta menikmati infotainment. Tentulah hati-hati mereka menjadi hampa, Tuhan.” Jelas Malaikat ketiga, masih dengan suara berbisik.
“Wah betul juga, penjelasanmu masuk akal. Baiklah, Aku memutuskan bermukim di hati manusia.” Konon, sejak saat itu, Tuhan menempati hati manusia.

Cerita ini mengajak kita berefleksi, bahwa terkadang, bahkan terlalu sering kita mengabaikan suara hati, melalaikan bisikan-bisikan kalbu. Kita terlalu sibuk mendengarkan bisik-bisik tetangga, bahkan mungkin menikmati hangatnya selimut tetangga. Padahal, suara hati, bisikan kalbu, dan celetuk dari nurani tak lain adalah suara, bisikan, dan bahkan celetuk Tuhan untuk mengingatkan, mengarahkan, dan menuntun kita untuk menghadapi kehidupan.

Suara itu oleh Stephen R. Covey dijelaskannya sebagai makna yang unik–kebermaknaan yang tersingkap ketika kita menghadapi tantangan-tantangan kita yang terbesar, dan yang membuat kita sama besarnya dengan tantangan-tantangan tersebut.

Masihkah kita akan mengabaikan suara tersebut? Masihkah kita menjadi tuli dengan bisikan yang berasal dari hati kita sendiri? Masihkah kita tidak peduli dengan panggilan yang menggema dari nurani  kita semua? Mari kita belajar untuk mendengar suara hati, mari kita membiasakan diri untuk dituntun oleh kata nurani, mari kita membiarkan hidup kita dituntun oleh Tuhan, Tuhan yang bermukim di hati kita semua.

Agar suara itu jernih dan bening, mari kita senantiasa membersihkan hati dengan –seperti saran Gede Prama, berbuat baik, berbuat baik, dan berbuat baik. Berbuat baik,meskipun terlihat kecil, akan menjadi sangat berarti apabila perbuatan itu dilandasi dengan cinta, ketulusan yang berasal dari nurani. Siapkah kita? Semua terpulang pada kerelaan kita untuk mendengar panggilan itu, suara itu, suara yang menggema dari hati.


Pada halaman tiga, bukunya yang berjudul Frim Chaos to Coherence (Boston: Butterworth-Heinemann, 1999), Doc Childre dan Bruce Cryer menulis tentang sebuah plakat di sebuah toko di North Carolina: Otak bilang, “Aku adalah organ tubuh yang paling cerdas.” Hati menyahut, “Siapa yang bilang begitu padamu?”. Apakah anda bisa menjawab pertanya hati kepada otak tersebut? Tanyakan kepada hatimu, dan belajarlah mendengar suara dari sana, sebab di sana, Tuhan sedang bermukim, dan akan menjawab semua tanyamu. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama