Selamatkan Anakmu Dari Kekerasan Simbolik

[23.10.2014] Anda mungkin pernah menonton video tentang MOP Papua yang diproduksi di ujung terjauh Indonesia, Kota Merauke, Papua. Salah satu seri video dengan motto “Epen kah? Cupen toh!” ini menceritakan tentang pelajaran bahasa Indonesia di dalam kelas.

Dalam sekuel tersebut digambarkan seorang guru perempuan menuliskan kata ‘bibi’ di papan tulis dan meminta para siswa untuk menyusun sebuah kalimat dengan menggunakan kata ‘bibi’. Murid-murid dengan berbagai latar belakang suku mulai menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebutkan kalimat yang mereka susu.

Namun begitu tiba giliran si Dody, suasana lucu yang tercipta sejak awal video menyajikan kejutan yang cerdik. Dengan muka kebingungan, si Dody celingak-celinguk tak mampu menemukan kalimat yang pas dan didalamnya terdapat kata ‘bibi’ sebagaimana instruksi ibu guru.

Video itu bahkan memperlihatkan bagaimana si Dody harus bertanya kepada si Paijo yang duduk di sampingnya, “Bibi itu apa?”. Namun setelah didesak, dengan terpaksa si Dody berteriak lantang, “Ikan poro bibi”. Sontak jawaban Dody membuat seisi kelas terpingkal-pingkal.

Inilah sebuah fragmen yang dalam pemikiran sosiolog Prancis Pierre Bourdieu disebutnya kekerasan simbolik dalam dunia pendidikan. Sebuah konsep yang menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” kebiasaan, gaya hidup, budaya, dan bahkan ideologinya, kepada kelompok kelas bawah yang mereka subordinasi.

Rerangkai budaya tersebut yang oleh Bourdieu dilabelinya dengan istilah habitus menjadi alat dominasi yang begitu lembut dan melenakan bagi kelompok yang terdominasi.

Dalam video ini diperlihatkan bagaimana bahasa sebagai instrumen kebudayaan yang dijajakan dalam proses pendidikan membuat seorang peserta didik dipaksa untuk menerima habitus tertentu, dan harus terasing dari realitasnya sendiri. Dody dituntut untuk membuat kalimat dengan kata yang bukan berasal dari habitus alaminya.

Aku teringat dengan video si Dody ini ketika melihat pekerjaan rumah yang dibawa pulang oleh anakku yang pertama, Qonitah Wafiyah Tenri Bilang, kemarin. Cinta –demikian kami menyapa Qonitah, mendapatkan tugas untuk menuliskan kalimat “Papi suka minum kopi”, sebanyak 13 kali di buku tulisnya.

Memang secara selintas, kalimat ini tidak mengandung masalah sama sekali, ini adalah kalimat biasa yang tak punya tendensi, sekedar untuk melatih kemampuan menulis seorang peserta didik. Tapi justru disitulah letak pemicu kecurigaanku, bahwa ini sebentuk kekerasan.

Iseng aku bertanya kepadanya, “Cinta, apa itu papi, Nak?”
Dengan santai dia menjawab, “Tidak tahu, Tetta.”
Jawabannya membuatku masygul, seorang anak yang lugu, dicekoki dengan habitus kelas tertentu yang tidak dia pahami.

Kenapa harus ‘papi’? Pilihan kata sapaan untuk orang tua lelaki itu mengusikku. Sapaan yang sangat kentara mewakili lapis sosial tertentu, dan secara tegas berbeda dengan ‘tetta’ atau ‘etta’, sapaan yang digunakannya kepadaku, sebuah sapaan yang umum digunakan pada masyarakat Bugis-Makassar.

Atau kenapa bukan ‘ayah’ sapaan bahasa Indonesia untuk orang tua lelaki yang lebih egaliter, sebagaimana aku menyapa bapakku, dan dia juga ikut-ikutan menyapa kakeknya dengan sapaan itu. Sekali lagi, kenapa harus ‘papi’? Dan  Bourdieu-lah yang memberi jawaban atas gelisahku: itu habitus yang dipaksakan!

Bourdieu dengan remeh memandang sekolah tak lebih dari sekedar sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah menjadi wadah bagi proses reproduksi budaya (cultural reproduction) yang begitu koersif, upaya melanggengkan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi, dan diterimanya kondisi itu sebagai sebuah habitus alami.

Habitus kelas dominan mengukuhkan dominasinya melalui hidden curriculum –sebuah istilah ciamik dari Ivan Illich. Sehingga siswa dari beragam strata dan lapisan masyarakat akan menerima ketimpangan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan sebagai sesuatu yang sudah seharusnya begitu.

Dalam kasus si Cinta, stratifikasi sosial dilanggengkan dengan mengukuhkan posisi dominan kelas sosial pengguna sapaan papi dibanding kelas sosial pengguna sapaan tetta, ayah, atau mungkin ambe’ dan ambo’. Maka waspadalah para orang tua, jangan biarkan anakmu menjadi korban tindak kekerasan simbolik. Disinilah peran kita dituntut untuk melakukan counter-hegemoni dengan cara yang koersif pula.

Sambil membantu Cinta membetulkan model huruf yang dia tuliskan, aku mencoba menjelaskan padanya bahwa papi tak ada bedanya dengan semua sapaan lain pada orang tua lelaki. Papi tidak lebih baik dari etta, tetta, ayah, ambo’ atau ambe’ untuk menyapa bapakmu ini.


Semoga dia ingat menggunakannya nanti sebagaimana kebiasannya selama ini, Cinta akan menyapaku tetta bila berkumpul dengan keluarga dari Takalar, etta bila di tengah keluarga dari Bone, dan dia memanggilku abi bila di tengah-tengah alumni HMI. Bahkan terkadang, dalam sehari, Cinta bisa menyapaku dengan beragam panggilan, kecuali papi yang ternyata baru dia ketahui berarti orang tua laki-laki, juga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama