(bukan) Sekolahnya Manusia

[14.09.2015] Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan di atas rata-rata selama ini aku mengendarainya. Kupilih jalur ‘jalan tikus’ agar tak kasip. Beberapa ‘tentara jongkok’ yang melintang di jalan kulalui tanpa mengerem. Aku terburu-buru pagi ini.

Jam di handphone sudah menunjukkan waktu 07.09 ketika aku berangkat. Aku berburu waktu untuk tiba di sekolahnya Cinta –salah satu SD yang lumayan tenar di kota Makassar, minimal tepat pukul 07.30. Sebab bila tidak, maka aku harus menerimanya di depan gerbang sampai jam pelajaran pertama berakhir.

Sudah menjadi ketetapan di sekolah itu, tepat pukul 07.30, gerbang sekolah dikunci oleh Pak Ramli –bujang sekolah yang flamboyan itu, tanpa ampun. Siapapun yang terlambat, wajib menunggu sampai jam pelajaran pertama berakhir, baru gerbang dibuka kembali.

Itu belum seberapa, terkadang, meskipun lolos dari gerbang sekolah, seorang siswa masih bisa menderita penantian selama satu jam pelajaran di depan pintu kelas. Sebab begitu jam pelajaran dimulai, pintu kelas pun ditutup dengan rapat, tanpa cela.

Demi mendisiplinkan peserta didik, sekolah itu menerapkan kebijakan ketat dalam urusan jam masuk. Entahlah, apa yang ada dipikiran kepala sekolah dan guru-guru di sekolah itu, tapi sepertinya, mereka berkesimpulan bahwa keberhasilan di masa depan, indentik dengan terlambat dan tidaknya seseorang masuk pekarangan sekolah, atau ruang kelas.

Eksistensi seorang murid diukur dari seberapa cepat dia –yang diantar oleh orang tuanya, bisa melipat waktu dan menyingkat jarak tempuh antara rumah dan sekolah. Bukan pada kapasitas murid sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai mesin yang sedang diukur dan dinilai kecepatannya.

Gegara perkara terlambat itulah, maka Cinta –dan juga orang tuannya, menjadi kehilangan kesempatan menikmati pagi. Begitu sholat subuh usai ditunaikan, semua aktivitas akan fokus pada jam, demi datang tepat waktu di depan gerbang sekolah tenar itu.

Soal pintu gerbang dan ruang kelas terkunci, itu belum seberapa. Rupanya, keterlambatan juga menjadi ukuran di kursi mana murid akan duduk di dalam kelas. Cinta, yang selalu datang ‘tepat waktu’, tak pernah bergeser dari kursi di baris paling belakang –dari lima baris kursi yang tersedia.

Ini juga soal tersendiri. Kursi di kelas itu dibuat berbanjar dari depan ke belakang, seumpama shaf untuk sholat berjamaah. Resikonya, mereka yang belakangan datang, akan duduk di kursi belakang. Bukankah ini sebuah pembodohan sistematis? Sebab posisi di kursi belakang akan menghambat interaksi murid dengan papan tulis dan meja guru yang menjadi sentrum kelas.

Kondisi ini juga meneguhkan stereotipe bahwa yang sering datang terlambat itu, nilainya rendah, daya tangkapnya kurang, dan nilai ulangannya jeblok. Padahal, mereka adalah korban dari manajemen sekolah dan ruang kelas yang memang diskriminatif!

Cinta –yang selalu duduk di belakang, hampir selalu terlambat bila membuat salinan tugas dari papan tulis, sebab jarak pandang dari kursi belakang ke papan tulis menghambat daya tangkapnya atas apa yang mesti disalin, terkadang kalimat pertama, tersambung dengan ujung kalimat kedua.

Melihat kondisi ini, ibunya sempat protes ke wali kelas, “Selayaknya kelas dibentuk model ‘U’ atau tapak kuda.” Bukannya menyambut baik, si wali kelas malah ngeles dan mengatakan, “Model ini cuma untuk ujian saja”. Kebetulan hari itu memang lagi ujian triwulan.

Padahal model kursi berbanjar sudah dia gunakan sejak hari pertama masuk kelas, dan sampai hari ini tetap juga begitu. Ruang kelas bukannya menjadi media pembauran dan meruntuhkan sekat serta kelas sosial murid, malah menempatkan peserta didik pada struktur dan lapis sosial yang timpang.

Bahkan di dinding kelas bagian belakang, sudah terpampang sebuah gambar piramida besar dengan kotak-kotak kosong seukuran 3 x 4 cm di beberapa titik sejumlah murid dalam kelas. Rupanya, kotak itu akan diisi dengan fhoto murid berdasarkan prestasi akademiknya di akhir semester.

Lagi-lagi aroma persaingan lebih ditonjolkan daripada kemampuan kerjasama dan integrasi sosial antar murid. Piramida di dinding akan merangsang peserta didik untuk saling jegal dan saling sikut demi sebuah pengakuan akan eksistensi dan jati diri.

Piramida ini sebenarnya akan merangsang naluri purba peserta didik. Dalam melakukan persaingan untuk menemukan identitas, jati diri dan eksistensinya, maka peserta tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan, karena dengan itulah mereka merasa bahwa mereka benar-benar ada.

Bahkan secara gamblang Hannah Arendt (The Human Condition) mengatakan bahwa “Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan... Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas”.

Bentuk paling nyata dari kondisi ini di sekolahnya Cinta adalah ketika ada tugas dari sekolah. Yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tersebut adalah para orang tua murid. Ini juga berkelindang dengan tugas yang diberikan, terkadang memang tidak sesuai dengan kapasitas anak kelas 1 SD.

Apakah rasional dan mendidik ketika anak kelas 1 SD diminta mewarnai gambar buah, dan itu harus dikumpul dalam kondisi sudah ter-press laminating? Atau mereka diminta membuat poster besar tentang agama-agama yang ada di Indonesia, dengan bahan-bahan yang harus dicari di internet? Maka tugas-tugas itu otomatis diselesaikan oleh para orang tua murid.

Nah, yang lebih tidak rasional lagi, hasil pekerjaan murid –yang sesungguhnya diselesaikan oleh para orang tua masing-masing, diberi nilai dengan standar penilaian paling estetik a la orang dewasa. Dan yang paling bagus akan mendapat pujian. Bukankah ini mengajarkan keculasan dan ketidakjujuran?

Sementara tugas yang dikerjakan oleh siswa dengan bimbingan orang tua, sehingga hasilnya kurang ‘cantik’, malah kurang dihargai. Maka ini akan membunuh kreativitas dan semangat berusaha dari murid. Bukankah ini nekrofhilia dalam istilah Erich Fromm? Membunuh potensi kemanusiaan peserta didik?

Maka murid yang dibiasakan oleh orang tuanya untuk mengerjakan tugasnya sendiri dengan bantuan sebentuk bimbingan saja –seperti Cinta, nilainya menjadi biasa-biasa saja dibanding dengan teman-teman sekelasnya.

Tapi cilakanya, melihat kondisi ini, wali kelasnya berucap, “Kenapa anaknya tidak diikutkan les? Nilainya lebih rendah dibanding teman-temannya yang ikut les.” Sebuah les yang diberikan oleh si wali kelas selama tiga kali sepekan seusai jam pelajaran berakhir.

Padahal pilihan untuk tidak mengikutkan Cinta pada les, merupakan sebuah pilihan sadar untuk tetap menghargai hak anak seumurannya agar tidak menghabiskan waktu berkutat dengan pelajaran. Cinta punya hak untuk menikmati masa kecilnya dengan bermain dan bersosialisasi.

Kondisi ini membuatku berpikir untuk memindahkan Cinta di sekolah lain. Tapi setelah ditimbang dan ditakar, sepertinya itu bukan solusi. Dia juga baru 3 bulan di sekolahnya yang sekarang, dan tak ada jaminan di sekolah lain akan lebih baik.

Maka yang kami lakukan adalah, selalu mengingatkannya bahwa nilai dari tugas-tugas yang dia kerjakan sendiri lebih berharga daripada nilai tinggi beberapa temannya, namun hasil kerja orang tuanya. Juga terus mengingatkannya bahwa bermain dengan teman, saling membantu dan berbagi dengan siswa lain, itu lebih penting.

Untungnya, sampai saat ini, Cinta juga tetap percaya diri dengan hasil kerjanya sendiri. Bahkan, beberapa kali dia ke sekolah dengan pekerjaan rumah yang baru separuh selesai. Dia juga tak pernah iri dengan tugas temannya yang tertulis indah dan rapi, sebab dituliskan oleh orang tuanya.

5 Komentar

  1. Cinta adalah cermin wajah anak-anak sekolah sekarang, yang digerakkan oleh aturan-aturan yang baku tanpa ruh kemanusiaan sama sekali.

    BalasHapus
  2. Kadang dia masih mau main dengan adiknya kalau pagi, sudah di giring ke kamar mandi, hehehehe....

    Untung juga dia tak seperti teman-temannya yang memang sudah terpola dengan sistem sekolah. Ini juga dikondisikan oleh orang tua siswa yang luar biasa aneh menurutku.

    Kalau jemput anaknya saya kadang heran, mereka nunggu di pintu kelas. begitu anaknya keluar, belum apa-apa sudah menggeledah tas anak sambil bertanya, "Ada PR untuk hari ini?".

    Kasi' sai itu anak kesempatan untuk bernafas kodong.
    Cinta tidak ikut les, kadang dijemput terlambat. ya dia bermain saja di halaman sekolah, untung juga dia punya sifat provokatif yang sudah terbina dari kecil, jadi dia kumpulkan itu teman-temannya untuk main sambil menunggu jemputan.

    Bahkan kalau ikut ke kantor mamanya sepulang dijemput, dia datangi semua ruangan, di cari anak-anak yang ikut sama mamanya ke kantor dan di ajak main, hehehehe,,,

    BalasHapus
  3. Anonim2:11 PM

    Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan di atas rata-rata selama ini aku mengendarainya. Kupilih jalur ‘jalan tikus’ agar tak kasip. Beberapa ‘tentara jongkok’ yang melintang di jalan kulalui tanpa mengerem. Aku terburu-buru pagi ini.

    Jam di handphone sudah menunjukkan waktu 07.09 ketika aku berangkat. Aku berburu waktu untuk tiba di sekolahnya Cinta –salah satu SD yang lumayan tenar di kota Makassar,

    BalasHapus
  4. maka segerakan Cinta disekolahkan di Insan Cendekia Madani milik seorang tokoh asal Makassar itu, he....

    BalasHapus
  5. Gurunya Cinta dan semua guru, mestinya banyak membaca. Minimal membaca buku: Gurunya manusia, Sekolahnya Manusia dan Orang tuanya manusia.

    Pendidikan itu proses. tantangan guru dan orang tua peserta didik adalah tuntutan kurikulum yang kadang tidak membumi.

    Kurikulum 2013 menjadi salah satu solusi. Tetapi kesiapan berproses bagi semua elemen, khususnya bagi para guru yang sering menjadi kendala utama. Pengaruh mi instan ternyata berpengaruh banyak terhadap perilaku instan dilingkungan pendidikan kita.

    Pujian dari efek citra sekolah menjadi penjara identitas diri yang memiliki beragam kecerdasan, namun belum terakomodir dilingkungan pendidikan formal.Penghargaan seringkali dicampakkan hanya karena angka-angka, pukul-pukul-an jam, rumus statis kwantitatis.

    Dibalik kekuragan kurikulum 2013, tak terkecuali implemntasinya di SD, saya menghargai semangat penialaiannya: Sikap dengan skala modus, Pengetahuan dengan skala Rerata dan keterampilan dengan skala Median.

    Duhai para guru..
    Dalam dirimu ada amanah profesionalitas
    Bacalah dan bacalah dengan nama Tuhan-Mu yang Menciptakan
    Setelah itu bacalah Permendikbud no. 103 tahun 2014 perubahan atas Permendikbud No. 81A Tentang implementasi Kurikulum 2013. Kemudian bacalah Permendikbud no 104 tahun 2014 tentang Penilaian.

    Paragitte Sipakainga' Sipassiriki Lino Akhera'.
    Teyaki sibawang-bawangngi naki sipakasiri
    sibija sipammanakang..

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama