[10.09.2015] Perkembangan
media informasi sudah demikian pesat, hal ini ditopang oleh perkembangan ilmu
pengetahuan yang diikuti dengan pengembangan teknologi informasi. Semakin mudah
kian murahnya akses internet juga berpengaruh bagi berkembangnya media,
terutama media daring yang muncul seperti cendawan di musim hujan.
Selain
itu, semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi
serta kian selektifnya konsumen dalam menyaring informasi membuat pelaku bisnis
media berlomba untuk menjadi yang tercepat dalam menyajikan informasi secara
akurat. Perkembangan media menjadi kian dinamis.
Dua Sisi Watak Media
Di
satu sisi, kemudahan mendirikan media menjadi hal yang menggembirakan bagi
gerakan dakwah dan proses penyajian informasi yang sehat bagi masyarakat. Namun
di sisi yang lain, ini juga bisa menjadi bumerang dengan makin massifnya
sosialisasi dan distribusi informasi yang bersifat desas-desus, fitnah dan
kebohongan.
Memahami
watak berbahaya dari media yang sedemikian, maka Lenin, bernah berucap, “Waspadalah
terhadap kekuatan pers!”. Dalam sejarahnya, media memang tidak pernah netral, dirinya
selalu menjadi aparatus ideologis dan bermetamorfosis menjadi ruang publik yang
sarat kepentingan.
Istilah
ruang publik (public sphere) menurut sosiolog
dan filsuf Jermn, Jurgen Habermas mengacu pada “ruang antara” negara dan pasar
di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum dan opini publik
dibentuk dengan cara persuasi, konflik, dan di dalamnya terjadi perebutan makna
(contested meaning) untuk memenangkan
opini publik.
Selain
menjadi aparat pembentukan opini publik secara persuasif, pada titik kritis,
media bahkan menjadi senjata utama dalam perang pemikiran. Dalam konteks ini,
penting kiranya menyorot netralitas media bila dihubungkan dengan perkembangan
media menjadi industri besar. Maka tak salah ketika J.F. Kennedy, mendaku bahwa
ia lebih takut kepada seorang wartawan ketimbang seribu tentara.
Pada
titik ini, media cenderung menjadi kontraproduktif bagi terpenuhinya kebutuhan
masyarakat akan informasi yang ingin mereka terima. Bahkan media menjadi alat
propaganda untuk mematahkan ide-ide kritis yang berkembang. Media menjelma
menjadi ancaman bagi kehidupan yang sehat dan susasana ‘komunikasi yang bebas dari
penguasaan’.
Pola
komunikasi yang tercipta dalam media menjadi searah, dimana media menjadi pihak
yang aktif mempengaruhi, bahkan turut dalam membentuk karakter, perilaku,
hingga gaya hidup seseorang. Masyarakat terseret masuk ke sebuah ruang kehidupan
yang oleh Michael J. Wolf disebutnya sebagai entertainment zone.
Zona
ini merupakan sebuah wilayah dimana kita tidak dibiarkan untuk memperhatikan
lagi hal-hal lain selain hiburan dan hiburan, sehingga dalam budaya pop
sekarang ini, muncul istilah all i wanna
do is have some fun (apa yang kuinginkan cuma bersenang-senang). Pemikiran
serius tentang hidup dan kehidupan tersingkir dari ruang publik oleh media.
Media
yang didukung dengan teknologi informasi (information
technology) terbaru, disinyalir oleh filsuf kelahiran Ohio, Frederic
Jameson menggeser nilai dasar kultur lokal masyarakat berupa moralitas,
keimanan atau makna luhur yang difahami secara mendalam menjadi sebuah bangunan
kultur yang mengglobal dengan warnanya yang bersifat tidak punya kedalaman (depthlessness) sebuah konsentrasi pada
bentuk (style) dan permukaan (surface).
Media dan Islamophobia
Yang
lebih memprihatinkan lagi adalah ditetapkannya standar ganda pemberitaan oleh
media barat, apabila hal tersebut terkait dengan Islam. Mereka mengidap islamophobia
yang dinampakkan dalam bentuk pemberitaan minor dan penyimpangan fakta tentang
Islam. Bahkan tak segan memuat propaganda anti Islam melalui artikel dan
karikatur-karikatur yang mendiskreditkan.
Ini
tantangan besar bagi pembinaan generasi muda muslim, sebab pada saat yang sama,
media melakukan empat serangan telak sekaligus. Serangan pertama dengan
strategi tasykik, membuat pendangkalan
atas makna suci ajaran Islam sehingga generasi muda Islam ragu akan
kebenaran-kebenaran Islam.
Serangan
kedua adalah dengan membuat generasi muda muslim tak lagi memiliki kebanggaan
terhadap Islam, bahkan mereka kemdian menjadi berpandangan negatif terhadap
Islam, agama yang mereka anut. Inilah strategi tasywih, Islam dibuat menjadi begitu buruk di mata penganutnya
sendiri.
Strategi
ketiga yang mereka tempuh adalah menonjolkan ajaran-ajaran syubhat, sehingga
generasi muda muslim tak lagi terlalu peduli dengan identitas keislaman. Ini
disebut tadzwib, yaitu upaya memampatkan
jarak antara yang islami dengan yang tidak.
Cara
yang terakhir adalah taghrib, bagaimana
nilai-ilai Islam dikuras habis dari sanubari generasi muda muslim, kemudian
diisi dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Maka
tak mengherankan, pada hari ini, menjadi sebuah pemandangan yang lumrah
generasi muda muslim, namun gaya hidupnya sangat jauh dari islam, bahkan
sepertinya alergi dengan segala hal yang berbau Islam.
Inilah
yang disinyalir oleh Allah swt., “Dan sungguh mereka itu telah membuat makar yang
amat besar, dan di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya
makar mereka itu hampir-hampir dapat melenyapkan gunung-gunungpun (karena
besarnya).” (Q.S. 14:46).
Kebutuhan Media Alternatif
Dalam
perspektif Islam, informasi yang benar dan jujur serta pemberitaan yang akurat tanpa
tendensi negatif hanya bisa diperoleh melalui orang-orang atau media yang layak
dipercaya. Ini berarti bahwa kehadiran media yang secara eksistensial
menempatkan diri untuk menyajikan informasi yang sedemikian, merupakan sebuah
keharusan.
Media
alternatif ini diharapkan mampu memberikan pemahaman pada kaum muslimin,
terutama kaum muda muslim akan berlangsungnya ‘perang’ pemikiran dan
pertarungan kepentingan dengan memanfaatkan media sebagai senjatanya. Hal ini
menuntut adanya tertib verifikasi untuk menjaga akurasi data dari sebuah
informasi.
Allah
swt. telah mengingatkan, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
(Q.S 4:83).
Selain
itu, media alternatif ini juga dibutuhkan untuk menjadi sarana dakwah, dengan
memberikan pemahaman kepada umat akan peran strategis media dalam proses dakwah
untuk membentuk kepribadian umat. Sekaligus menyadarkan umat akan masih lemahnya
media Islam saat ini, sehingga membutuhkan dukungan dari semua komponen umat.
Dukungan
terhadap kehadiran media alternatif ini harus diwujudkan dalam kinerja yang
profesional. Seperti pengelolaan industri media yang mengedepankan
kesejahteraan pelaku media, serta menekankan pemberitaan yang berpihak bagi
kepentingan dakwah dan pembangunan generasi muda. Sehingga akan terwujud
genersi muda muslim yang punya pemahaman memadai akan Islam.
Yang
tak kalah pentingnya adalah melakukan regenerasi bagi pelaku media. Hal ini
bisa dilakukan dengan menggandeng organisasi kepemudaan muslim untuk meningkatkan
kemampuan kaum muda muslim dalam menyajikan pemikiran melalui mediu mtulisan, kapasitas
untuk mengelola media serta kemampuan untuk melakukan inovasi dalam dunia
jurnalistik sebagai sarana dakwah kontemporer.
Sebuah
kalimat sarat makna dari Ali ibn Abi Thalib bisa menjadi renungan kita bersama,
Al-Haqq bi la nidzam yaghlibuhu al-bathil
bi al-nidzam, kebenaran yang tidak terorganisir akan dihancurkan oleh
kebatilan yang terorganisir. Maka menghadapi sisi negatif kehadiran media bukan
dengan melakukan tindakan yang jstru merugikan citra Islam, melainkan harus
dihadapi dengan media tandingan yang dikelola secara profesional.
Dimuat secara bersambung di Harian Amanah, 9 - 10 September 2015