[10.11.2015] Kepala
Bidang Rehabilitasi Badan Narkoba Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan,
Sudaryanto menjelaskanm bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) menargetkan 1.250
pecandu narkoba di Sulsel untuk direhabilitasi pada tahun 2015. Sampai bulan
oktober 2015, Sudaryanto menyebut angka 1.090 orang yang sudah direhabilitasi,
704 diantaranya berstatus diinapkan, sementara 386 sisanya, berstatus rawat
jalan.
Yang
memprihatinkan adalah, karena usia pengguna narkoba di Sulsel disominasi oleh
masyarakat usia produktif, yaitu mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Dari
jumlah tersebut, sebesar 20 persen adalah pelajar dan mahasiswa, selebihnya
karyawan dan pengangguran. Data di BNNP menunjukkan bahwa jumlah pengguna
narkoba di Sulsel termasuk tinggi, setiap hari, rata-rata ada 2 orang yang
melapor minta direhabilitasi, dan apabila razia digelar, bahkan sampai 10 yang
terjaring.
Selama
periode Januari - Oktober 2015, data menunjukkan bahwa pengguna narkoba yang
masih Sekolah Dasar sebesar 87 orang, Sekolah Menengah Pertama 218 orang, dan
yang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebanyak 620 orang. Tentu kondisi ini
menimbulkan tanya, ada apa ini? Apa yang salah? Anak yang masih berusia belia,
sudah mengecap yang namanya narkoba, dan mereka masih duduk di bangku sekolah
pula.
Menghadapi
kondisi ini, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pihak tertentu sebagai
penyebab tingginya angka pengguna narkoba di sekitar kita. Ini adalah persoalan
sosial yang sistemik sifatnya. Ini bukan hanya karena petugas keamanan yang
kurang tegas, lingkungan yang memang penuh patologi sosial, lembaga pendidikan
yang tidak lagi mampu mengatasi peserta didik, atau orang tua dan masyarakat
yang kian longgar dan permisif dalam menegakkan tata nilai.
Namunpun
demikian, keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, ruang
inkubasi kesadaran yang pertama dan utama bagi anak, memiliki andil yang tidak
sedikit dalam meningkatnya pengguna narkoba. Sebab di rumahlah seorang anak
pertama kali mengenal seperangkat moral dan tata etika yang mampu menjadi
jaring pengaman dari beragam godaan ketika dirinya memasuki pergaulan sosial
yang lebih luas di lingkungannya.
Apabila
seorang anak memasuki dunia luar dengan modal kesadaran yang baik dan kuat dari
keluarga, maka kemungkinannya untuk terjerumus pada hal-hal negatif, tentu akan
menjadi lebih kecil. Tapi bila seorang anak, dibina pada keluarga yang tak
memberi kesadaran yang mumpuni, ditambah dengan lingkungan yang juga tidak
peduli, maka kemungkinannya untuk terjerumus akan menjadi lebih besar.
Maka
disinilah dibutuhkan kesadaran dari para orang tua sebagai soko guru dan
tonggak nilai dalam keluarga. Ibu sebagai madrasah pertama dan bapak yang
menjadi uswah utama dari si anak, akan sangat menentukan bagaimana akan itu
menjalani hidupnya ke depan. Maka tepatlah ketika Allah mengingatkan dalam
al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (QS. At Tahrim 66 :6).
Dalam
ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada mereka yang beriman agar memelihara
keluarganya dari api neraka. Tapi sebelumnya, Allah menyebutkan peliharalah
dirimu. Ini berarti bahwa bila orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak
yang baik, maka terlebih dahulu, orang tualah yang mencontohkan dirinya sebagai
orang baik. Sebab bagaimana mungkin orang yang tidak terpelihara (dari api
neraka), mampu memelihara, menjaga dan menyelamatkan orang lain.
Allah
dengan begitu terang menjelaskan tentang Keluarga Imran dan Luqmanul Hakim
sebagai contoh bagaimana mendidik keluarga dan membina anak-anak. Dari Keluarga
Imran, kita bisa belajar bagaimana seorang perempuan/ibu menyiapkan
anak-anaknya, jauh hari sebelum si anak lahir. Perempuan yang menjaga iffah,
dan menghiasi diri dengan rasa malu dan kesucian, maka itu menjadi sebentuk
upaya membangun fondasi bagi anak-anak yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam
al-Quran, Allah menceritakan bagaimana keluarga Imran telah mempraktikkan
tradisi ini. “Dan (ingatlah) Maryam binti
Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan
Kitab-KitabNya, dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim 66:
12). Dan kita semua tahu, dari rahim Maryam binti Imran, lahir salah seorang
manusia suci pilihan Allah, Isa al-Masih, yang digelari ruhullah. Maka bila
ummat ini menghendaki lahir generasi sekualitas Isa, maka para ibu dan calon
ibu meneladani Maryam binti Imran, yang senantiasa memelihara kehormatannya.
Selain
persiapan sebelum jadi ini, pada fase mengandung pun, keluarga Imran kembali
menjadi tauladan dalam mempersiapkan generasi pelanjut. “(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh
dan berkhidmat (kepadaMu). Karena itu, terimalah (nazar) itu dari padaku.
Sesungguhnya Engkalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’.” (QS. Ali
Imran 3 : 35). Keluarga Imran benar-benar menyadari bahwa hanya Allah-lah yang
berkuasa menjadikan seseorang sebagai hamba yang saleh atau bukan, karena itu,
istri Imran telah mendoakan anaknya, sejak dari kandungan.
Kalau
keluarga Imran menjadi tauladan dalam persiapan seorang perempuan untuk menjadi
ibu, serta ikhtiar selama masa mengandung, maka dari Luqmanul Hakim, kita
belajar tentang hal-hal pokok apa saya yang harus menjadi inti dari proses
pembinaan yang kita lakukan terhadap anak kita sebagai bentuk upaya
menyelamatkannya dari api neraka. Dalam al Quran, setidaknya ada enam hal yang
menjadi inti pembelajarajan Luqman kepada anaknya: Ada enam hal penting yang
disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama,
larangan mempersekutukan Allah (QS. Luqman : 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak (QS. Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah
(QS. Luqman: 16). Keempat, mendirikan
shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan (QS.
Luqman: 17). Kelima, larangan sombong
dan membanggakan diri (QS, Luqman: 18). Dan keenam,
bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Luqman
menempatkan larangan mempersekutukan Allah, sebagai prinsip yang utama. Tauhid
menjadi sendi. Dan apabila seseorang bertauhid, maka tentu mereka akan
senantiasa mendengarkan perintah al Quran, “Katakanlah
(Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul, jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa
Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (QS. Ali Imran 3 : 32). Anak-anak
yang dididik dengan pendidikan yang bersendikan tauhid, pasti akan taat pada
Allah dan rasulNya. Dan bila demikian, maka tentu mereka akan berusaha
menghindari segala larangan Allah, termasuk di dalamnya, menjauhi narkoba.
Dalam
sebuah kesempatan, H.O.S. Tjokroaminoto menjelaskan bahwa buat menjalankan
Islam dalam sepenuh-penuh asas dan seluas-luasnya syariat, agar supaya tercapai
kemuliaan dan keluhuran derajat bagi Ummat Islam, maka selayaknya gerakan
Islam, termasuk proses pendidikan dan pembinaan generasi muda Islam bersandar
pada sebersih-bersih tauhid. Dengan keyakinan tauhid yang bersih, generasi muda
Islam akan terbebas dari segala ketakutan dan kesedihan. Dan tentu saja,
ketertarikan, kebutuhan, dan ketergantungan pada narkoba, akan bisa
diminimalisir, bahkan dihilangkan sama sekali.
Dimat secara bersambung di Harian Amanah, 09 - 10 Nopember 2015