[18.11.2015] Sejarah
kehidupan manusia yang terbentang panjang menunjukkan fakta yang tak
terbantahkan bahwa setiap varian kebudayaan dan bangunan peradaban yang pernah
lahir dan dipraktikkan oleh manusia tak pernah lepas dari corak keilmuan yang
melandasi. Perbendaan yang muncul pada berbagai kebudayaan dan beragam
peradaban, disebabkan oleh perbedaan paradigma keilmuan yang dianut peradaban
tersebut.
Peradaban
Cina dan India, Mesir, Inca, Yunani, Romawi, Islam, sampai peradaban Barat
modern hari ini, adalah bukti nyata kuasa ilmu bagi peradaban manusia. Maka
membicang tentang kebangkitan peradaban Islam kontemporer tanpa membicarakan
secara serius paradigma keilmuan dalam perspektif Islam adalah sebuah
kekeliruan fatal. Apalagi bila memimpikan peradaban Islam, namun begitu alergi
dengan pembahasan seputar, filsafat, logika, epistemologi dan paradigma
keilmuan, itu seperti mimpi.
Islam
sebagai sebuah ajaran yang sempurna, bukan hanya menuntun umatnya dalam hal
ibadah dan penghambaan kepada Allah semata. Islam juga menuntut penganutnya
untuk menjadi khalifah, pemimpin dan pengatur kehidupan sosial masyarakatnya.
Fungsi kekhalifaan manusia, oleh Allah, dikaitkan dengan penguasaan akan ilmu.
Dalam al Quran surah Al Baqarah (2) ayat 30 - 34, Allah menjelaskan ini dengan
gamblang. Bahkan karena penguasaannya atas ilmu yang diajarkan langsung oleh
Allah, malaikatpun bersujud pada manusia.
Bahkan
menurut Tjokroaminoto dalam Program Asas
dan Program Tandhim (1931 : 67), setelah Madinah menjadi Kerajaan Islam di
bawah kekuasaan Rasulullah saw, banyak-banyak orang dari Persia, Griek, Suria,
Iraq dan Afrika datanglah di Madinah, yang kebanyakan daripada mereka itu
datangnya dengan maksud akan mencari ilmu dan mendengarkan pengajaran-pengajaran
Nabi Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saw tetaplah menjadi tali-penghubung yang
serapat-rapatnya antara Islam damn dunia-pikiran yang modern.
Karena
begitu pentingnya penguasaan ilmu bagi manusia, maka rasulullah Muhammad saw.,
menegaskan dalam salah satu haditsnya, “Mencari
ilmu itu adalah wajib atas sekalian orang Islam laki-laki dan orang Islam
perempuan”. Berdasarkan pada hadits inilah, Tjokroaminoto (1931:65)
mengemukakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dengan sepenuh-penuh dan sejauh-jauhnya
oleh sekalian orang Islam baik laki-laki maupun perempuan.
Ilmu
yang wajib dituntut tersebut, menurut Tjokroaminoto (1931:65), adalah ilmu yang
harus diperoleh dengan setinggi-tingginya kemajuan aqal (intellect), tetapi tidak sekali-kali boleh dipisahkan daripada
pendidikan budi pekerti dan pendidikan ruhani. Ilmu dalam perspektif Islam, tak
memisahkan antara dzikir dan pikir, sebagaimana firman Allah, “...berdzikir kepada Allah dalam keadaan
berdiri, duduk dan berbaring dan (pada saat yang sama) berpikir tentang
penciptaan langit dan bumi...” (Q.S. 3 : 190-191).
Wahyu
pertama Allah kepada Nabi Muhammad saw adalah 5 ayat pertama surah al Alaq
(96). Menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan
Al-Quran (2004:433), pandangan al Quran tentang ilmu dan teknologi dapat
diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis terhadap ayat-ayat ini. Sementara
bagi Tjokroaminoto (1931:66) ayat ini adalah suatu petunjuk yang menyebabkan
Islam menjadi ‘obor ilmu’ kepada segenap peri-kemanusiaan.
Menurut
Shihab (2004:433-434), al Quran menghendaki umatnya membaca apa saja, selama
bacaan tersebut bismi Rabbik –dengan nama
Tuhanmu, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Pengulangan perintah
membaca dalam wahyu pertama ini juga menegaskan bahwa kecakapan, pengetahuan
mendalam akan diperoleh dengan mengulang bacaan secara maksimal. Selain itu,
pengulangan bacaan juga akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, inilah
makna iqra wa rabbukal akram –bacalah dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
Dari
wahyu pertama ini pula, kita bisa melihat secara gamblang dua cara memperoleh
dan mengembangkan ilmu. Cara pertama, iqra bismi Rabbik, maka Allah akan
mengajari manusia dengan perantaraan qalam. Cara kedua, iqra wa rabbukal akram,
maka Allah akan mengajari manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Bagi
Tjokroaminoto (1931:66), melalui ayat ini, Allah membuktikan Maha-MurahNya,
karena Ia telah memberi ilmu kepada hamba-hambaNya.
Ilmu
yang diajarkan oleh Allah dengan perantaraan qalam, sebagai ilmu yang diperoleh
karena usaha manusia, oleh Shihab (2004:435-436) dinamai ilmu kasbi (ada juga
yang menamaninya ilmu hushuli). Sementara ilmu yang diajarkan langsung oleh
Allah tanpa perantara, dinamai ilmu ladunni (ada pula yang menyebutnya ilmu
hudhuri). Sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam al Quran, “Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu
dengan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan
kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami.” (Q.S. 18:65).
Dari
uraian singkat ini, terlihat bahwa Islam memiliki pandangan yang khas tentang
ilmu. Islam menunjukkan bahwa kualitas kemanusiaan dan status kekhalifaan
sangat ditentukan oleh penguasaan ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang
diraih melalui integrasi antara potensi dzikir dan pikir, bukan analisis pikir
semata. Potensi pikir akan menghasilkan ilmu kasbi, dan potensi dzikir akan
menuntun kita meraih ilmu laduni.
Dengan
adanya kekhasan ini, maka peradaban Islam yang dilahirkan darinya, menurut
Tjokroaminoto (1931:15), akan bercorak kebangkitan peri-kebendaan
(material-maddi), kebangkitan budi pekerti (moril-adabi), kebangkitan aqal
(intelektual-aqli), dan kebangkitan kebatinan (spiritual-rohani). Namun
celakanya, sebagian kita umat Islam masih lalai akan corak keilmuan kita
sendiri, padahal Allah sudah mengingatkan, “Katakanlah:
‘Apakah sama mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui?’
Sesungguhnya yang bisa mengambil pelajaran hanyalah ulul albab.” (Q.S.
39:9).
Dimuat
di Harian Amanah, 18 Nopember 2015.