Embaran, Medan Kuasa, dan Pendisiplinan


Pernahkah anda berkunjung ke kantor pemerintah, atau fasilitas umum, atau di ruang publik, dan di sana terdapat pengumuman yang rasa-rasanya tak perlu dipasang? Biasanya, pariwara semacam itu, menganjurkan kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Cobalah masuk ke dalam tandas di kantor-kantor pemerintah atau supermarket, maka di atas kloset akan tertempel kertas dengan tulisan besar-besar, SIRAM DENGAN BAIK KOTORAN ANDA, atau SIRAM SETELAH DIGUNAKAN, atau tulisan lain dengan nada sejenis.

Tapi yang paling menohok dan juga menggelitik, bila tepat di atas tempat sampah di samping kloset, terpasang tulisan, JANGAN BUANG PEMBALUT KE DALAM KLOSET. Hai, benda apa pula pembalut itu? Pembalut luka? Semacam selotip? Ataukah perban?

Datanglah pula ke taman kota, atau ruang terbuka hijau, papan bicara akan terpancang di dekat tempat sampah, di atasnya tercetak BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA, atau BUDAYAKAN HIDUP BERSIH, atau kalimat imbauan serupa.

Bahkan, lebih parah bila di tempat pengumuman tersebut terpasang, tak ada tempat sampah yang disediakan, bilapun tersedia, tempat sampahnya dibiarkan penuh hingga meluap, dan sampah berceceran, tapi tak juga diangkut-angkut.

Lalu berkunjunglah ke masjid-masjid, hampir niscaya di dinding atau tiangnya akan berhias tempelan berisi instruksi MATIKAN HP, atau JANGAN TIDUR DI ATAS KARPET, atau kadang juga GUNAKAN AIR SECUKUPNYA di dinding tempat wudu.

Lebih eksentrik lagi bila kita melintas di gang yang diapit oleh tembok-tembok tinggi dinding rumah warga, selain mural wajah politisi yang sedang berkuasa, tak jarang di sana akan tercetak indah kalimat YANG KENCING DI SINI, ANJING.

Suasana akan lebih sempurna bila pas di pengkolan, ada tiang listrik atau telepon yang merangkap jadi tempat warga menggantung kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga, tepat di sampingnya, ada tulisan HANYA ANJING YANG BUANG SAMPAH DI SINI.

Ini fenomena yang menarik, sekaligus memprihatinkan. Lihatlah bunyi dan isi pengumuman-pemgumuman itu. Bukankah hal-hal yang dikemukakan tak perlu diungkapkan pada mereka yang memiliki kesadaran diri? Bukankah kalimat-kalimat itu malah merupakan sebentuk cemooh, hinaan, dan ejekan?

Secara gamblang, nada umbaran-umbaran itu mempraanggapkan bahwa mereka yang menggunakan toilet, bermain ke taman, dan ibadah di masjid, adalah manusia-manusia bebal dan berotak kerdil, sehingga untuk hal remeh-temeh sedemikan itu pun, patut ditegur dan diingatkan.

Sepertinya, manusia-manusia yang berlalu-lalang di ruang publik ada segerombolan mahluk pelasuh yang hanya akan berbuat baik —bahkan untuk tindakan yang berkaitan langsung dengan kebaikan dirinya, bila membaca pengumuman. Sungguh mahluk pemalas.

Tidakkah pemasangan tulisan-tulisan itu, seperti menghina kewarasan, akal sehat, dan nalar kritis? Atau jangan-jangan, kita semua ini adalah manusia penderita fetish human toilet, sehingga begitu enggan berpisah dengan air kencing dan tinja sendiri, dan tak rela menyiram kloset.

Mungkin pula kita semua adalah pengidap ablutophobia ringat, diam-diam membenci hal-hal bersih dan keteraturan, sehingga lebih nyaman dengan kondisi sampah yang berserakan, air kencing yang tempias kemana-mana, dan feses yang berleleran?

Atau jangan-jangan, munculnya pengumuman-pemguman ini, merepresentasikan will to power secara telanjang. Pariwara-pariwara itu adalah wujud pendisiplinan. Bukankah pendisiplinan adalah modis operandi kuasa menurut Michael Foucault?

Penjaga toilet merasa perlu mendisiplinkan pengguna toilet. Petugas kebersihan taman kota mengklaim berhak menertibkan pengunjung taman. Bahkan pengurus masjid menganggap wajib menyopankan jemaah.

Bukankah Friederich Nietzsche telah memfatwakan bahwa kehendak untuk berkuasa adalah sebentuk klaim kekuasaan yang paling tiranik, tidak punya pertimbangan, dan tidak dapat dihancurkan? Maka ruang publik menjadi medan kuasa bagi manusia untuk saling menguasai dan mendisiplinkan.

Fakta soal pariwara yang hadir di berbagai tempat itu, menunjukkan ketepatan hasil telisikan Foucault bahwa kekuasaan, bahkan hasrat untuk kuasa, bukanlah monopoli seseorang atau sekelompok orang, melainkan tersebar dan meluber ke mana-mana.

Lantas, akankah kita akan membiarkan diri kita dikendalikan dan direpresi secara hegemonik oleh hasrat kuasa, lalu menjelma menjadi manusia berdimensi satu yang tertib umpama robot, dan tak memiliki daya kreasi dan kesadaran diri? Bila anda memilih ini, maka penuhi pengumuman yang ada.

Atau kita menjadi generasi bebal, tebal muka, virus bagi lingkungan, sumber patologi sosial, bahkan sampah peradaban? Tinggal tetap bertindak masa bodoh dengan kencing tanpa disiram, buang sampah sembarangan, atau biarkan tongtone HP berdering nyaring kala salat jemaah ditegakkan.

Pilihan terbaik adalah tetap menjadi penguasa bagi diri, kesadaran, dan tindakan-tindakan kita. Ini berarti menjadi mahluk yang waras, berakal sehat, dan bernalar kritis. Waspada pada setiap fakta, curiga pada setiap peristiwa.

Ini bisa diwujudkan dengan menyiram kloset setelah digunakan, membuang sampah pada tempat sampah, serta memakmurkan masjid. Tapi itu dilakukan bukan karena adanya pengumuman, melainkan karena kita menyadari bahwa tindakan-tinsakan itu adalah baik, indah, dan benar.

Tayang juga di: BengkelNarasi.Com









Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama