Sepasang Sepatu Yang Menolak Menyerah


Pagi telah beranjak menjauhi subuh, jarum jam baru saja meninggalkan angka sembilan, mendekati angka sepuluh. Hari ini, kami bergegas menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Penerbangan kami terjadwal pada pukul 13.30 wita. demikian informasi pihak travel yang memfasilitasi perjalanan kami. Kami, ya kami. Saya, istri, ayah dan ibu saya, serta adik ipar saya. Kami berlima akan menunaikan ibadah umrah di akhir Ramadan. 

Saat itu, kami mampir di salah satu gerai swalayan untuk menambah saldo kartu tol. Kami akan melintas di tol untuk menuju bandara, waktu telah kasip. Saat menunggu di mobil, kok kaki saya terasa janggal? Terasa ada yang mengganjal di sela jemari kaki, tepat di antara jempol kaki dan anak jari. Segera kutengok ke bawah, alamak! Rupanya aku lupa mengenakan sepatu, yang terpasang di sana hanya sepasang sandal jepit bulukan.

Waduh, bukankah selipar bukan alas kaki yang direkomendasikan untuk dikenakan saat akan naik pesawat udara? Cilaka ini. Dengan tergesa, istri saya menelepon keponakan yang semalam menginap di rumah, dia tak menjawab. Telepon bergeser memanggil ibu mertua, rupanya telah meninggalkan rumah. Lalu bagaimana nasib alas kakiku? Opsi membeli sepatu baru, bukan pilihan bijak, tak ada kedai sepatu di sepanjang jalan sebelum masuk tol.

Ibu saya berkomentar, bukankah dari kemarin-kemarin niatnya memang ingin memakai sandal jepit saja? Aku cuma bisa tersenyum masam. Kuingat betul, sepatu yang ingin kukenakan telah kusiapkan di samping pintu. Tapi karena masih keluar masuk rumah mengangkat koper, setelah memasang kaus kaki, aku memilih mengenakan sandal jepit untuk sementara waktu. Tapi rupanya, aku lupa menggantinya dengan sepatu, sebelum naik ke mobil.

* * *     

Dua hari sebelum keberangkatan, bolak-balik kupatut-patutkan sandal jepit baru yang dibeli oleh istriku, katanya untuk dipakai ke masjid selama di Medinah dan Makkah, lebih praktis dan mudah disimpan. Dengan senyum puas aku menancapkan niat di hari, akan mengenakan sandal jepit saja untuk berangkat, tak usah bawa sepatu, hitung-hitung mengurangi bawaan. Niatan yang sempat diprotes oleh istriku, dan diketawai oleh ibuku. Aku bergeming, istriku mengalah, bahkan mengutarakan akan ikut mengenakan sandal jepit.

Karena merasa tak enak hati bila istriku harus mengikuti kebiasaan 'jelek' hanya bersandal jepit, maka aku berusaha mencari alasan penguat bahwa saya memang sebaiknya memakai sepatu. Saya bacalah berbagai artikel mengenai penggunaan sandal jepit di pesawat udara. Hampir semua ulasan, baik ahli penerbangan publik, maupun para pelancong, merekomendasikan untuk tak bersandal saat naik pesawat udara. Titik ragu mulai menggerogoti yakinku saat itu. 

Sehari jelang keberangkatan, istriku memperlihatkan sepasang sepatu hitam yang baru dibelinya, sepatu yang disiapkan untuk dia kenakan besok. Wah, rupanya dia berubah pikiran, tak jadi mengenakan sandal. Maka demi menghormati pilihannya, aku berujar, "berarti tak jadi kita pakai sandal ya, oke, saya yang ikut mengenakan sepatu". Demikianlah muasalnya, mengapa lalu aku berencana berangkat ke bandara dengan bersepatu, meski pada awalnya kukuh akan bersandal jepit. Di lubuk hatiku, yang tercatat dengan kuat adalah memakai sandal, bukan sepatu.

* * *    

Karena lupa pakai sepatu itulah, saya jadi teringat dengan berbagai cerita orang mengenai tanah suci dan rangkaian yang menyertainya, bahwa kita tak boleh berpikir macam-macam dan aneh-aneh, sebab segala hal yang terkait tanah haram, begitu mendapat atensi dari Tuhan. Allah membalas kontan beragam syak wa sangka dan kesombongan hati walau senoktah. Maka sambil menatap galau kepada kedua kakiku, tak pernah putus mulutku menggumamkan istigfar. Memohon ampun atas kejumawaan jiwaku bahwa mengenakan sandal adalah tak mengapa.

Sambil berembuk memikirkan solusi, saya merasa bahwa ada seuntai kalimat yang senantiasa menggedor-gedor kesadaranku. "Lihatlah, betapa belum jauh engkau melangkah, Allah telah menegurmu". Istigfar di batinku kian mengelora. Rasanya ingin diri ini sembunyi, bahwa niatan mengenakan sandal jepit, lalu kutinggalkan di detik-detik terakhir. Seakan Allah mencolek dan berkata, kenapa kamu begitu mudah berpaling? Oh Tuhan, betapa tak nyamannya rasa ini.

Karena waktu yang mepet, maka diputuskan saya mengenakan sepatu adik ipar. Rumahnya tepat sebelum pintu masuk tol. Sambil jalan, kami mampir mengambil sepatu. Tapi dia tak menyodorkan sepasang, bahkan dua pasang, untuk kupilih. Sepasang sepatu berwarna hitam, masih kelihatan baru, dan dia ambil dari dalam rumah. Yang satu lagi kumal, terlihat jejak lumpur kering di beberapa titik. Tapi entah mengapa, saya memilih sepatu kedua, sepatu yang dia tarik dari bawah kursi mobil.

Melihat itu, ibu saya berkomentar bahwa demikianlah takdir bekerja. Allah yang memilih alas kaki mana yang akan membersamaiku ke tanah suci. Sepatu yang digunakan sehari-hari oleh adik ipar saya, tapi tak mendapat prioritas dan perhatian, justru mendapatkan panggilan untuk menjadi wasilah demi kelancaran perjalananku. Dengan masygul, kutatap sepatu bulukan itu, lalu kukenakan dengan mantap. Nampaknya kami berjodoh. Ia yang selama ini digunakan bekerja keras, saatnya dipakai melancong jauh.

Mungkin terkesan sentimentil, tapi mungkin saja, itu adalah buah kerja kerasnya selama ini, berjibaku menempuh betapa jauh jarak, tak peduli onak, duri, dan bebatuan, menemani adik iparku mencari rezeki. Akhirnya ia ikut ziarah ke negeri nabi yang agung, kota yang diurapi dengan doa-doa makbul dan zikir-zikir mustajab, Makkah dan Medinah. Sebuah perjalanan yang mungkin tak dibayangkan oleh sandal itu, sebelumnya. Bahkan tak terperkirakan oleh saya dan adik ipar saya si pemilik sepatu. 

Takdir memang misterius, sebab sepatu ini bukan yang terbaik milik adik ipar saya. Dia telah punya beberapa sepatu lain setelahnya. Tapi ia kembali menyeruak di ingatan, ketika saya lagi terdesak dan membutuhkan sepatu, segera. Ia hadir menunjukkan eksistensi, dia menolak menyerah dan dipensiunkan sebagai alas kaki, meski telah banyak penggantinya. Sepasang sepatu yang menolak menyerah itu, akhirnya membersamaiku kini. Melangkahkan kaki memasuki Bandar Udara Internasional Pangeran Muhammad bin Abdulaziz, semalam.

Medinah Al Munawwarah, 13 Ramadan 1444 H

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama