Membangun Civilian Government

WACANA civil society bukan hal baru dalam gerakan sosial di Indonesia, bahkan gerakan sosial ini telah berhasil membuktikan kekuatannya dengan meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru tahun 1998.
Kemenangan gerakan civil society menunjukkan era baru kebebasan dan demokratisasi bagi rakyat yang selama ini lemah dan dipinggirkan. Namun demikian, menjadi catatan penting bagi aktivis gerakan civil society bahwa ternyata persoalan belum selesai dengan runtuhnya orde baru.

Yang dibutuhkan bukan hanya pemenuhan hak sipil dan politik, tetapi juga pemenuhan hak ekonomi, politik, dan budaya. Dengan runtuhnya Orde Baru, proses demokratisasi di Indonesia memang bergulir cepat, namun di sisi lain, proses melemahnya negara menjadi lahan empuk masuknya globalisasi.

Globalisasi sebagai tendensi ekonomi dari sistem pemikiran kapitalisme yang menemukan momentumnya era pascaperang dingin bekerja di atas dasar pemikiran, sebagaimana bahasa C H Pontoh, "Semakin kapital beroperasi secara global, semakin negara nasional terintegrasi ke dalam satu pasar bersama, maka kemakmuran bersama bisa diwujudkan."
Untuk itu kehadiran negara yang kuat merupakan bahaya bagi globalisasi karena akan menghambat perekonomian nasional negara berkembang semakin terintegrasi dengan struktur ekonomi global.

Sebagai sistem perekonomian global, maka kekuasaan diserahkan sepenuhnya pada kekuasaan pasar dan meninggalkan kekuasaan politik-negara, kecuali negara tersebut menjadi 'hamba' dari kekuasaan pasar global.

Negara yang friendly terhadap kapital adalah negara yang siap melakukan deregulasi peraturan pemerintah yang bisa mengurangi profit.

Selain itu, negara tersebut juga harus memotong pengeluaran negara untuk pelayanan sosial, seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk safety-net bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, dan air bersih.
Ini berefek pada masih sulitnya tercapai pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-budaya bagi masyarakat sipil.

Menurut Wawan Sobari (2001:71-72) ini diakibatkan karena, pertama, pembahasan civil society terlalu komunitarian, karena terlalu menafikan peran pemerintah bahkan cenderung antinegara.

Kedua, berkaitan dengan wilayah tempat civil society itu eksis, civil society cenderung mewujud dalam komite aksi parsial, dan ketiga, terkhusus di Indonesia, gerakan civil society masih berarti transplantatif dan bukan transformatif.
Itu karena sejarah demokratisasi dan gerakan sipil di Indonesia sangat berbeda dengan Eropa maupun Amerika Serikat.

Olehnya itu upaya mewujudkan civil society yang kuat namun tetap mampu membendung arus globalisasi dan pasar bebas yang ditengarai akan menggerus hak ekonomi-sosial-budaya dari masyarakat sipil dibutuhkan peran entitas lain yakni masyarakat negara dengan birokrasinya.

Civilian Government

Untuk melibatkan negara dalam gerakan civil society, dibutuhkan pergeseran cara pandang terhadap civil society yang selama ini hanyalah dari segi menguatnya perkumpulan-perkumpulan bebas yang tumbuh dengan harmonis di luar negara.

Sudah saatnya civil society digeser untuk berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan negara melawan globlisasi dan pasar bebas dan bukan hanya sebagai kelompok nonnegara yang berkepentingan untuk membentuk benteng sejarah menghadapi hegemoni negara yang justru menguntungkan kapitalisme.

Tentu ini tidak serta-merta dapat terwujud, negara harus memenuhi beberapa kriteria agar dapat berjalan beriringan dan bahkan memperjuangkan kepentingan masyarakat sipil.

Ernest Gellner (1995) mengemukakan, ada beberapa hal yang harusnya menjadi catatan penting agar birokrasi bisa menjadi civilian government, birokrasi negara yang memperjuangkan kepentingan masyarakat sipil.

Pertama, mampu menciptakan tatanan sosial yang tidak melakukan penguatan yang bersifat memaksa. Ini berarti, proses demokrasi secara substansial sudah mampu ditegakkan yang disertai dengan bangunan kesadaran masyarakat yang sudah tidak hegemonik.

Kedua, negara yang direpresentasian oleh birokrasi pemerintahan mampu memenuhi perannya sebagai penjaga perdamaian di atas berbagai kepentingan besar. Birokrasi mampu menjadi pelayan bagi kepentingan publik dan tidak terlibat dalam conflic of interest.

Ketiga, negara harus menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan, ini menuntut adanya regulasi pemerintah yang menjadi kebebasan dan penegakan hak-hak kewargaan. Keempat, negara tidak melakukan proses dominasi dan atomisasi masyarakat.

Dari sini terlihat bahwa negara harus bisa membangun orientasi kembar dalam menjalankan fungsi birokrasinya. Negara juga dituntut meningkatkan kesejahteraan warga negara dan menjaga kondisi keuangan negara. Di sisi lain negara juga dituntut agar proaktif mendorong terciptanya arus demokratisasi di tingkat masyarakat sipil.

Negara harus mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan tetap berbasis pada kekuatan perekonomian domestik, ini berarti harus dibangun sebuah sistem perekonomian yang berpihak pada masyarakat atau sistem ekonomi kerakyatan.

Selain itu, negara harus tetap mempertahankan orientasinya untuk memberdayakan civil society melalui proses demokratisasi yang memberi akses selebar-lebarnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks gerakan civil society di Sulsel, tentu perbincangan tentang civilian government menjadi tema yang patut mendapat perhatian khusus. Ini terkait dengan pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung yang akan dilaksanakan tahun 2007 nanti.

Pemilihan Gubernur Sulsel 2007 merupakan momen berharga yang akan menentukan, apakah masyarakat sipil di daerah ini mampu memanfaatkan keberadaan birokrasi dalam menegakkan hak-haknya atau tidak.

Pilgub Sulsel

Di samping terbangunnya sebuah sistem politik yang demokratis, perwujudan sebuah civilian government juga tidak bisa lepas dari seorang pemimpin yang memiliki visi yang sejalan dengan cita-cita luhur ini.

Sebab bila tidak, maka impian hadirnya civilian government akan sulit diwujudkan. Olehnya itu, perbincangan tentang civilian government tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang kepemimpinan.

Pemimpin yang bisa mewujudkan civilian government dalam pemerintahannya adalah yang memiliki visi plural dalam mendefenisikan kebenaran dan menentukan ukuran kebenaran.
Ini berarti sang pemimpin harus betul-betul mampu memahami realitas masyarakatnya yang plural secara kultural, baik pluralitas agama, kepercayaan dan keyakinan maupun pluralitas etnisitas dan kesukuan.

Selain itu, seorang pemimpin harus mampu melakukan proses desentralisasi dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Ini berarati, yang dibutuhan bukan pemimpin yang kuat, hegemonik, dan kharismatik belaka, tetapi pemimpin yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi seorang manajer dan pelayan publik yang baik.

Kompetensi yang patut dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mewujudkan civilian government menurut Moeljarto Tjokrowinoto (2001:11) adalah pertama, memiliki jiwa dan semangat entrrpreneural.

Ini dibutuhkan agar setiap daerah mampu membidik dan menentukan keunggulan kompetitifnya dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berpengaruh padan peningkatan pendapatan asli daerah.

Kedua, siap memberikan pelayanan publik yang adil dan inklusif sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa sosok pemimpin yang dibutuhkan dalam civilian government adalah sosok pemimpin yang profesional serta memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Ketiga, sang pemimpin harus memiliki visi yang kuat untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting. Tanpa itu semua, maka tentu harapan untuk mewujudkan civilian government melaui moment Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2007 aka menjadi sia-sia.

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur, Makassar pada hari Rabu, 02 Agustus 2006.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama