Resensi: Mengenal Becak Melalui The Becak Way


Apakah pekerjaan yang kita lakoni telah menjadi sarana bagi kita memerdekaan diri? Atau sebaliknya, pekerjaan yang lalu membentuk rutinitas dan pola hidup kita sehari-hari malah menjadi kerangkeng dan jeruji besi bagi kemerdekaan dan kebebasan diri pribadi. Kondisi ini patut direnungkan bagi siapa saja yang mencoba menjaga kewarasan dan berwaspada akan penjajahan yang tak tersadari.

Tak sedikit di antara kita, bahkan mungkin juga kita, mengeluhkan dan merutuki keseharian yang dijalani. Merasa bahwa hidupnya tersabotase oleh takdir dan tersandera oleh nasib. Hidup seperti tanpa hak untuk memilih melakukan apa, hidup semata menghabiskan hari demi hari, dan hanya berharap bahwa besok mentari masih bersinar dari ufuk timur. Sebuah kehidupan yang tragis.

Namun, kondisi hidup yang demikian tak berhasil membekuk seorang Harry van Yogya yang sehari-hari mangkal di seputar Kampung Turis Prawirotaman, Yogyakarta sebagai tukang becak. Mungkin bagi sebagian orang, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang tidak canggih dan kurang mentereng, tetapi tidak demikian bagi lelaki yang bernama lengkap Blasius Haryadi.

Bahkan, dengan profesi sebagai tukang becak, Harry yang sempat kuliah di Fakultas MIPA Jurusan Pendidikan Matematika di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta selama dua tahun (terhenti karena kendala biaya) berhasil merengkuh kemerdekaan hidup dan mengoptimalkan pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya. Salah satunya, menerbitkan sebuah buku berjudul The Becak Way: Ngundoroso Inspiratif di Jalan Becek (Metagraf, 2011).

Orang tua tunggal dengan tiga anak, Kevin, Lucky, dan Agnes, hasil pernikahannya dengan almarhumah Anastasia (meninggal saat gempa di Yogyakarta pada Mei 2006)), dengan bangga memproklamirkan keputusannya menjadi tukang becak full-time, menjalani profesi tukang becang dengan bekal ijazah SMA, pasca kandasnya kuliahnya karena kekurangan biaya. Sebelum-sebelumnya, Harry mengayuh becak di malam hari dan berjibaku dengan tugas-tugas kuliah di siang hari.

Apakah Harry lantas bersedih dan tunduk patuh pada suratan nasib? Ternyata tidak. Mnjadi tukang becak dia jalani bukan debagai keterpaksaan yang membebani, dengan kesadaran yang tepermanai, lulusan SMA Kolese De Britto Yogyakarta tahun 1988 ini berdamai dengan realitas sebagai tukang becak, meski bagi sebagian orang memandang itu sebagai pilihan yang tidak membanggakan.

Dengan tegas, Harry menulis, "Bagiku, menjadi tukang becak berarti menjadi manusia merdeka. Aku bebas mau mencari penumpang di mana saja dan bisa beristirahat kapan saja aku mau. Di sinilah aku menjadi diriku sendiri, menentukan pilihanku sendiri, bukan atas tekanan dan kehendak orang lain" (h. 2). Sebentuk keberanian yang hanya sedikit orang memilihnya.

Selain rasa bangga dan keberanian, Harry bertahan mbecak bukan karena hasrat akan harta, tetapi karena alasan cinta. "Setiap kayuhanku adalah detak cintaku untuk merka, Kevin, Lucky, Agnes, dan istriku." tulis Harry (h. 10). Dia menghayati betul bahwa becak (kala itu tahun 1865 di Yokohama, diberi nama jinrikisha) yang dirancang oleh Jonathan Goble adalah buah cinta untuk istrinya, Eliza Weeks yang lumpuh.

Rancangan Goble yang masih berwujud kereta yang ditarik tenaga manusia tersebut, diwujudkan oleh sahabatnya Frank Pollay bersama seorang pandai besi, Obadiah Wheeler. Akhirnya, Eliza bisa berjalan-jalan menikmati cerahnya hari di Yokohama yang menggeliat, dengan menunggangi jinrikisha yang ditarik oleh suaminya.

Kecintaan Harry pada becak tak pernah memudar, meski menjadi tukang becak konvensional tak lagi semenjanjikan sebagaimana era 80-an. Menurut Harry pilihannya adalah harus benar-benar kreatif, berani mencari celah, dan cerdas mengemas becak. "Mbecak bisa menghidupi dengan menjual 'nostalgila' dan budaya" (h. 15) usul Harry. Baginya, selama kenangan dan nostalgia masih ada, maka masih bisa dijual.

Sebagai seorang tukang becak full-time, tak tanggung-tanggung, Harry menjadikan becak sebagai ruang hidup, mencari muatan atau penumpang untuk mencari makan di jalan, melepas penat duduk di becak, mengambil nafas, dan meluruskan kaki di becak, serta minum dan makan melepas lapar dan dahaga di atas becak (h. 26). Ketika dirinya ditanya soal tidur dan tinggal di mana, jawabannya adalah di YB 104 KT (plat nomor becak di Yogyakarta), di atas becak.

Tapi jangan salah, meski kesehariannya mbecak, Harry adalah seorang yang melek teknologi. Tak tanggung-tanggung, dirinya rajin berselanjar di dunia maya sejak era mIRC atau Yahoo Messenger. Bahkan dia memiliki akun di jejaring sosial yang pernah dan masih ada seperti Friendster, Flixter, Hi5, Tagged, Twitter, dan Facebook. Tak tanggung-tanggung, ia menjaring pelanggan di jejaring sosial.

Tulisnya, "Kemarin, seorang pelangganku di Facebook menulis di wall-ku bahwa hari ini ia akan datang dari Jakarta dan memintaku untuk mengantarkannya jalan-jalan di Malioboro" (h. 33). Teman Facebook itu tak hanya menghubunginya bila berkunjung ke Yogyakarta, tapi juga merekomendasikan temannya untuk menggunakan jasa Harry bila ke Yogyakarta. Bahkan bahasa Inggrisnya lumayan lancar karena keseringan melayani penumpang bule.

Tak hanya mengulas hubungan personalnya dengan becak, dalam The Becak Way ini, Harry juga menunjukan wawasannya yang luas perihal gerak laju kepariwisataan di Yogyakarta. Hampir setengah dari tulisannya adalah usalannya terhadap berbagai obyek pariwisata Yogya yang seringkali dia datangi saat mengantar wisatawan dengan becaknya. Harry menjadikan becak sebagai salah satu ujung tombak perkembanga pariwisata di Yogyakarta.

Kecintaannya pada becak, juga membuatnya yakin bahwa masa depan becak bulankah becak motor yang banyak berseliweran di jalan raya akhir-akhir ini. Dia merancang prototipe becak generasi baru yang mengkombinasikan kanyamanan bagi tukang becak dengan gir pindah dan kerangka dari bahan komposit sera karbon, ornamen tradisional pada spatbor, perangkat audio yang memutar langgam atau gending Yogyakarta dengan daya yang bersumber dari panel surya (h. 155).

Di bagian akhir buku, setelah mengular berbagai varian becak di tanah air maupun di mancanegara, Harry merumuskan The Genjot Guide, sebentuk panduan bagi tukang becak abad 21, merancang kostum, dan memperkenalkan semboyang 6 C yang sebaiknya dipahami dengan baik oleh tukang becak, terutama di Yogyakarta. 6 C adalah charity, competence, care, commitment, continuous, dan consistent. Penasaran dengan penjabarannya? Silakan baca The Becak Way.

Judul: The Becak Way Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek | Penulis: Harry van Yogya | Penerbit: Metagraf | Cetakan: I-Solo, 2011 | Jumlah Halaman: 184 | ISBN: 978-602-98553-8-8

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama