Aku Cemburu Padamu, Ibu

Namaku Naomi.
Entahlah, kenapa ayah yang memberiku nama pada hari ketiga kelahiranku, memilih nama itu. Nama itu agak asing bagiku, mungkin juga bagi teman-temanku yang hampir semuanya orang kampung. Ketika kutanyakan padanya, ayah hanya tersenyum dan menjawab singkat, nanti juga engkau tahu. Begitulah ayahku, iya selalu begitu kalau kutanya. Hanya tersenyum dan menjawab dengan kalimat singkat.

Ketika aku telah berumur 14 tahun dan mulai mengenal kehidupan remaja, perlahan aku mulai mereka-reka, mengapa ayah menamaiku Naomi. Dari beberapa majalah remaja bekas temanku, kutemukan nama yang sama denganku, Naomi Campbell. Mungkin ayah mencomot namaku dari nama foto model ini. Padahal menurutku, aku dengan Naomi Campbell, begitu berbeda.
Ketika hal ini kutanyakan ke ayah, dia kembali hanya tersenyum dan menjawab singkat, nanti juga engkau tahu.

Astaga, apakah ayah tidak pernah melihatnya? Apakah ayah berfikir Naomi Campbell itu cantik? Batinku. Naomi Campbell itu kan berkulit hitam, dan bagiku setiap yang berkulit hitam adalah jelek, mungkin agak rasial. Tapi bagiku bukan persoalan ras, tapi persoalan selera. Aku suka warna kulit coklat, seperti kulitku saat ini, dan aku merasa lebih cantik beberapa derajat dibanding Naomi Campbell. Teman-teman tidak suka memanggilku Naomi, sangat asing kata mereka.

Mereka malah sering memanggilku cantik, lalu kenapa ayah menamaiku Naomi dan menyamakanku dengan Naomi Campbell? Aku begitu cantik dihadapan orang lain dan ayah mengatakan aku begitu jelek? Apa maksud ayah sesungguhnya?
Apa dia tidak suka kalau anaknya cantik dan dipuja dimana-mana? Pernah suatu hari aku mendapati ayah menatapku lekat, seperti bukan pandangan seorang ayah kepada putrinya. Pandangan itu serasa begitu asing, namun tatapan itu membuatku merasa tenang, pandangan itu begitu kurindukan. Tapi tatapan itu hanya sebentar.

Tiba-tiba ayah berdiri dan membelakangiku. Ayah kenapa membelakang? Aku suka pandangan itu ayah, tatap lagi aku dengan tatapanmu itu, jerit hatiku.
Ayah melangkah pergi dan menjauh.
* * * * *

Betulkah aku cantik?
Pertanyaan itu mengusikku suatu malam.
Perlahan kubangun dan melangkah mendekati cermin. Kutatap bayangan wajahku lekat dalam cermin. Aku bertanya padanya
“Siapa kau?”
Wajah dalam cermin itu juga bertanya dengan pertanyaan yang sama kepadaku.
“Hai, kau orang lain, kau bukan diriku.”
“Kenapa kau menyerupai wajahku?”
“Tapi walau kau orang lain, harus kuakui, kau begitu cantik.”
“Tunggu, apa yang kau bilang?”
“Aku juga cantik?”
“Memang aku cantik setiap orang mengatakan begitu.” Wajah dalam cermin itu tersenyum.
“Kau memang cantik, namun aku lebih cantik.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Padahal kau hanya mengikut pada kecantikanku?”
“Ha... ha... ha...” Wajah dalam cermin terbahak.
“Apakah kau tidak sadar?”
“Bahwa kau akan tua dan keriput dimakan usia?”
“Sementara aku tidak!!!”
“Aku adalah wajah abadi dalam cermin ini.” Wajah dalam cermin itu kembali terbahak. Menjengkelkan.

Kalau ucapannya betul, bagaimana pendapat ayah?
Apakah dia akan menatapku lagi dengan tatapan anehnya seperti tempo hari? Aku suka sekali dengan tatapannya yang itu. Sebuah tatapan yang begitu asing, namun bagiku begitu erotis.
Ya erotis.
Tapi bila aku sudah tua, apakah ayah tidak akan berpindah menatap wajah dalam cermin itu? Aku tidak rela itu terjadi.
Tidak!!!
Tatapan aneh ayah itu hanya buatku, tidak ada yang boleh lebih cantik dariku di mata ayah, termasuk wajah dalam cermin itu.
“Hai kau yang dalam cermin, siapapun kau, aku bisa mengalahkanmu dengan memecahkan cermin ini.”
“Ha . ha . ha .”
Kembali wajah dalam cermin itu terbahak.
“Aku mungkin bisa kau hancurkan, namun kau tidak dapat melawan ibumu.”
“Maksudmu?”
“Pikirkan sendiri.”
“Tidurlah, aku tak akan menjelaskannya sekarang.”
Aku melangkah meninggalkan cermin itu. Aku merebahkan diri diatas tempat tidur.
Ibu akan merampas ayah dariku? Tapi bukankah ayah memang milik ibu?
Atau bukannya aku yang akan merampas ayah dari ibu? Tapi aku juga merasa berhak dengan tatapan ayah itu. Memangnya hanya ibu yang berhak atas ayah?
Tapi apa ibu tidak akan bersedih bila ayah kurampas dari sisinya?
Padahal ibu adalah orang yang telah merawatku dengan penuh kasih sayang. Aku tidak ingin menyakiti hatinya. Atau apakah ibu rela berbagi denganku? Tapi tatapan ayah itu begitu lain, dan aku rasa, tatapan itu hanya untukku.

Ibu . . .
Aku tertidur dengan rasa antara benci dan cinta pada ibu.
* * * * *

Esok pagi ketika bersolek sebelum kesekolah, wajah itu hadir lagi dalam cerminku.
“Hai kau datang lagi ya?”
“Kau cantik juga.”
Wajah itu meledekku.
“Bagaimana tidurmu tadi malam?”
“Awas, jangan mengganggu lagi, aku mau berhias, nanti aku terlambat.”
“Jangan terlalu berhias nona Naomi.”
“Hai apa maksudmu melarangku berhias segala, apa hak kamu?”
“Atau kamu takut kalah cantik?”
“Tentu tidak Naomi.”
“Kau tak akan mengalahkanku, apa kau lupa?”
“Aku tak akan tua, wajahku abadi dalam cermin ini.”
“Lalu kenapa kau melarangku bersolek?”
“Ha . . . ha . . . ha . . .”
“Ini demi kebaikanmu juga.”
“Maksudmu?”
“Kau pernah dengan cerita tentang Habil dan Qabil?”
“Mitos tentang putra Adam itu?”
“Terserah kau mau bilang mitos atau apa, yang penting kau mau dengar ceritaku atau tidak.”
“Buat apa aku mendengarnya?”
“Dengan mendengar ceritaku ini, kau akan mengerti kenapa aku melarangmu bersolek berlebih, apalagi kau cantik.”
“Kau mau mendengarnya?”
“Hmm . . . baiklah, tapi cepat, nanti aku terlambat.”
Wajah dalam cermin itu tersenyum sejenak lalu memulai ceritanya.
“Kau tahu?”
“Kenapa Qabil membunuh Habil?”
“Itu karena kecantikan.”
“Maksudmu?”
Tanyaku.
“Qabil iri, dengki dan cemburu ketika mengetahui bahwa Habil akan dinikahkan oleh Adam dengan saudara kembar perempuan Qabil. Qabil merasa dialah yang berhak dengan saudara kembarnya sendiri, karena saudara kembar Qabil begitu cantik. Karena kau cantik, maka aku ingatkan. Memang sudah warisanmu untuk dicemburui.”
“Ah, kau terlalu mengada-ada,” sergahku.
“Terserah kau percaya dengan ceritaku atau tidak, tapi ingat, ibumu bisa menjadi Qabil, dia cemburu padamu, karena kau dianggap ingin merampas suaminya, ayahmu. Sementara itu, ayahmupun bisa menjadi Qabil, dia tak akan melepaskanmu sebagaimana Qabil tidak rela saudara kembar perempuannya dinikahkan dengan Habil.”
Aku cuma terdiam mendengar celotehnya.
“Pikirkanlah ceritaku ini cantik.”
“Kau terlahir dengan takdir untuk dicemburui.”
Ketika ceritanya berakhir, pintu kamarku terbuka dan masuklah ibuku.
“Anakku, kamu masih terlalu muda untuk banyak bersolek, ayo cepat berangkat, nanti kau terlambat.”

Sepintas kulihat wajah dalam cermin itu tersenyum padaku.
Bibirnya bergetar lembut seakan mengatakan sesuatu,
Kau akan merasakan kebenaran ceritaku.
* * * * *

Dalam mobil sepanjang perjalanan ke sekolah, aku diam saja dan tidak pernah bersuara.
“Kenapa diam saja Naomi?”
“Tidak biasanya kau seperti ini?”
Aku tidak menanggapi, kutatap wajah ayah lekat-lekat.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Ayah kembali bertanya.
“Ayah, bolehkah aku bertanya pada ayah?”
“Boleh sayang.”
“Ayah…, mana yang lebih ayah cintai, ibu atau Naomi?”
Ayah sempat kaget mendengar pertanyaanku, namun setelah itu, ayah hanya tersenyum dan menjawab singkat,
“Nanti juga engkau tahu.”
Ayah kemudian menatapku lekat, seperti bukan pandangan seorang ayah kepada putrinya.
Pandangan itu serasa begitu asing, namun tatapan itu membuatku merasa tenang, pandangan itu begitu kurindukan.

Setelah itu aku terdiam dan memejamkan mata meresapi arti pandangan ayah barusan.
Begitu erotis barangkali.
* * * * *
Malam hari kembali kududuk di depan cermin, wajah itu juga turut hadir disitu.
“Hai Naomi, kau sudah memikirkan kebenaran ceritaku tadi?”
“Ya.”
Kujawab singkat.
“Lalu apa pendapatmu?”
“Aku tidak peduli denganmu.”
“Kenapa?”
“Bukankah ceritaku benar?”
“Memang, tapi aku juga mencintai ayahku.”
“Lalu bagaimana dengan ibumu Naomi, dia akan menjadi sainganmu dan tidak mungkin dia rela membiarkan suaminya memilihmu.”
“Dia memang mungkin cemburu padaku, tapi aku tidak berani melawannya.”
“Kenapa?”
“Karena dia adalah ibuku, aku takut.”
“Lalu ayahmu sendiri bagaimana sikapnya?”
“Aku tidak tahu, tapi aku rasa dia tidak rela untuk melepasku.”
“Nah, sekarang kau rasakan betapa para Qabil itu memperlakukanmu.”
“Itu sudah kodratmu Naomi, siapa suruh kau cantik.”
“Ha . . . ha . . . ha . . .”
Wajah dalam cermin itu mentertawakanku.
“Berhentilah mentertawaiku, aku pusing!!”
“Atau aku akan betul betul menghancurkanmu!!!”
“Naomi, hal itu tidak ada gunanya bagiku.”
“Jalani saja takdirmu.”
“Tatapan ayahmu itu milik ibumu.”
“Kau tak berhak memilikinya.”
Aku merasa begitu tersudut dibuatnya, kuraih botol parfum yang ada diatas meja rias, kuhantam cermin dengan botol itu.
“Tak ada yang boleh merampas tatapan ayah dariku!!!”
Ketika mendengar suara berisik, seisi rumah terbangun. Ayah dan ibu mendatangi kamar tidurku.
“Ada apa sayang?”
Ibu menghambur ke arahku lalu merengkuh tubuhku ke dalam peluknya, tapi aku malah meronta, kulepaskan pelukan ibu, aku berlari ke arah ayah dan kusandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, kunikmati aroma tubuhnya yang khas.
Ayah, tatap aku dengan tatapanmu itu, aku butuh tatapan itu.
Aku tak mau ada yang merampas ayah dariku.
Pinta batinku.

Aku merasa tenang dengan mendengar degup jantung ayah, desah nafasnya yang berat membuatku merasa damai.
Aku ingin tidur di pelukan ayah, namun perlahan kurasa sebuah tangan lain menarikku pelan menjauh dari ayah.
Tangan ibu.
“Mari nak, ayahmu butuh istirahat.”
“Nanti ibu yang temani kamu di kamar ini ya.”
Dengan berat, kuikuti ibu ke tempat tidur, namun mataku tetap menatap ayah yang masih berdiri di dekat pintu. Sayup kudengar suara wajah itu dari serpihan-serpihan cermin berteriak serak.
“Hadapi saja takdirmu Naomi.”
“Terima saja Qabilmu cantik.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama