Sebagai manusia modern, tentu kita tak
asing lagi dengan sistem medis barat yang menjadi praktik pengobatan
sehari-hari di kehidupan kita. Dokter dan perawat dengan jubah putihnya yang
agung, gedung-gedung dengan ornamen seba putih, jarum suntik, berbagai pil,
tablet dan kapsul, atau operasi menjadi hal yang lumrah.
Kita
juga mungkin mengenal pengobatan Arab, Cina, dan India sebagai model pengobatan
alternatif berbasis ramuan tanaman herba. Atau juga pengobatan ala Korea yang
populer melalui berbagai Drama Korea bergenre pengobatan dan kedokteran.
Namun,
pernahkah anda mendengar bahwa orang Bugis juga mempunyai sistem medis? Sebuah
sistem yang tak hanya mencakup kegiatan pengobatan dengan menggunakan obat atau
ramuan, namun juga meliputi semua kegiatan yang mengarah pada upaya peningkatan
kesehatan?
Tanyaku
mengenai hal ini terjawab beberapa bulan yang lalu, ketika aku akhirnya bertemu
dengan sebuah buku yang berjudul panjang Transliterasi dan Terjemah Lontarak
Pabbura (Suatu Kajian Tentang Sistem Medis Orang Bugis) di Sulawesi Selatan,
terbitan 1987.
Buku
yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah payung
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo
1986/1987 ini ditulis oleh Tim Peneliti yang terdiri dari empat orang (Drs. Abu
Hamid, Drs. Ambo Gani, Dra. Mulyati Tahir, dan Drs. Mappasere), serta dua orang
Editor (Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid, S.H., dan Drs. Pananrangi Hamid).
Membaca
buku setelah 216 halaman ini seakan membawaku ke Sulawesi Selatan di akhir abad
ke-17, terutama di Wajo dan Bone. Kubayangkan aku seperti 'Jin Hyuk', dokter
ahli bedah syaraf terbaik Korea (yang lahir dari keluarga dokter) dalam drama
dr. Jin yang diperankan oleh aktor Song Seungheon.
Dalam
drama produksi MBC pada tahun 2012 ini, dr. Jin secara misterius melakukan
perjalanan ke 150 tahun lalu ke jaman Dinasti Joseon. Sebuah perjalanan yang
membuatnya justru belajar banyak bagaimana menyembuhkan orang-orang dengan
peralatan medis yang jauh dari modern.
Meski
aku bukan seorang dokter, tapi demikianlah, buku ini membetotku ke masa lalu
ketika nenek moyang orang Bugis di Wajo dan Bone menganggap bahwa penyakit
bukan hanya perkara teknis rasional kedokteran, tetapi lebih pada terganggunya
hukum kausalitas atau prinsip harmonitas tubuh secara internal dan eksternal,
termasuk hal-hal yang berbau supra-rasional.
Pada
buku ini ditegaskan bahwa bagi orang Bugis, prinsip harmonitas haruslah
merupakan perpaduan dari tiga macam komponen yang disebut dengan istilah 'Tellu
Sulapak Eppa' (hal. 120). Ketiga segi empat tersebut digambarkan dalam buku
tersebut pada halaman 126 sebagai berikut:
Keterangan:
Sulapak
I: Unsur Kejadian Manusia
A.
Tanah
B.
Air
C.
Api
D.
Angin
Sulapak
II: Kualitas Alam Sekitar
1.
Panas
2.
Dingin
3.
Kering
4.
Lembab
Sulapak
III: Substansi Cairan Tubuh
a.
Darah
b.
Empedu Kuning
c.
Lendir (Flegma)
d.
Empedu Hitam
Seseorang
akan mengalami gangguan kesehatan bila ada disharmoni pada salah satu sulapak'
atau disharmoni pada perpaduan dua atau tiga sulapak'. Misalnya, seseorang yang
terpapar hawa panas (sulapak II) akan memcu gejokal unsur api (sulapak I)
sehingga cairan tubuh mengalami tekanan yang mengakibatkan bengkak/lembung di
lutut, betis, atau di mata kaki (hal 121).
Diagnosa
penyakit yang berbasis pada ditemukannya penyebab pada disharmonitas salah satu
atau ketiga sulapak menuntut para ahli pengobatan Bugis untuk mengambil
tindakan pengobatan dan meresepkan obat juga mengacu pada hal tersebut.
Penyakit
yang diakibatkan oleh hawa panas akan diobati dengan ramuan yang mendinginkan,
makanan yang mengandung hawa dingin, dan dibarengi dengan tindakan yang
mendinginkan. Misalnya, bila seseorang menderita demam (panas), maka dukun
Bugis akan memintanya untuk ribabek (dikompres) dengan ramuan obat yang
mendinginkan (hal. 122).
Contoh
lain pada pada halaman 123 soal disharmoni pada sulapak III (Substansi Cairan
Tubuh), dalam Lontarak Pabbura Wajo disebutkan, "narékko pasau-i
assikoréna balakonnyi-é, poléni semmeng mapparelle'-é" (bila terlalu kuat
pengaruh percampuran empedu kuning, maka datanglah demam-panas yang berantara).
Dalam kondisi ini, maka pengobatan yang dianjurkan adalah ramuan dan tindakan
yang bisa menetralkan empedu kuning (balakonnyi').
Hal
lain yang patut dicatat terkait sistem medis orang Bugis selain harmonisasi
tellu sulapak eppa adalah posisi perut (usus). Orang Bugis menempatkan perut
sebagai kolamnya tubuh, bila sehat yang muncul dari perut, maka sehatlah tubuh.
Bila sebaliknya yang terjadi, maka sakit lah perut, dan berpokoklah segala penyakit
yang akan dialami (hal 123).
Disharmoni
terhadap tellu sulapak eppa diyakini bukan hanya terjadi secara biologi, namun
juga secara sosial-budaya. Pengaruh-pengaruh sosial-budaya itu dapat berupa
kekuatan magis dari sesama manusia, dari mahluk halus, atau mahluk super
manusia (hal 119). Itulah mengapa, selain ramuan dan tindakan, sistem medis
orang Bugis juga mengenal pajjappi (sejenis mantra yang ditiupkan).
Kelebihan
lain buku ini, selain mengulas kerangka filosofis sistem medis orang Bugis,
juga menyajikan klasifikasi penyakit dan ramuan penyembuhannya menurut Lontarak
(Wajo dan Bone), sehingga buku ini bisa menjadi semacam buku panduan bagi siapa
saja (terutama orang Bugis) untuk kembali mempraktikkan metode pengobatan yang
digali dari kebijakan nenek moyang kita.
Tapi
mungkin kita akan merasa sedikit geli bila melihat berbagai bahan ramuan yang
bisa digunakan sebagai bahan obat. Lontarak Wajo merekomendasikan tahi kambing
atau darah rusa sebagai obat penyakit yang tumbuh pada selaput mata (hal. 132),
atau menganjurkan penggunaan tahi tikus untuk mengobati penyakit mata bertahi
(hal. 133).
Selain
berasal dari herba dan bahan obat tempatan, resep-resep obat tradisional Bugis
juga dipengaruhi oleh bahan-bahan dari India dan Arab, terutama pasca masuknya
Islam. Penggunaan kemenyan putih (boswellia corteri), minyak zaitun (olium
olivae), jintan putih (cumini fructus), dan jintan hitam (nigellae semen)
adalah hal lumrah dalam metode pengobatan tradisional Bugis.
Setelah
dimanja oleh model pengobatan barat modern yang praktis, apakah anda masih
ingin mencoba pengobatan tradisional Bugis. Ini memang sudah merupakan hal yang
asing bagi generasi muda orang Bugis, terutama yang sudah hidup dan menetap di
perkotaan. Namun praktiknya masih bisa di temukan secara terbatas di beberapa
daerah Bugis sebagai pertolongan pertama.
Tentu
menarik bila dilakukan eksplorasi lebih jauh atas sistem medis orang Bugis ini,
seperti apa yang dilakukan oleh Cina, Korea, dan Jepang yang hingga hari ini
tak lelah untuk tetap memberi tempat bagi metode pengobatan tradisionalnya,
bahkan dipermodern dan dipadukan dengan metode pengobatan Barat-Modern.
Apa
yang dilakukan oleh pemerintah melalui penerbitan buku ini di tahun 1987 adalah
hal yang patut dilanjutkan, meski sayangnya karena buku ini hanya menampilkan
bahasa Bugis dalam bentuk transliterasi memakai huruf latin, bukan menggunakan
huruf lontarak. Semoga ke depan ada upaya konstruksi ulang khasanah keilmuan
ini, baik dalam bentuk buku, atau film, sebagaimana dilakukan oleh pemerintah
Korea.
Judul : Lontarak Pabbura
Penulis : Drs. Abu Hamid, dkk.
Penerbit : Depdikbud 1987
Editor : Prov. Dr. A. Zainal Abidin Farid, S.H. dan
Drs. panarangi Hamid
Tebal : vi + 216 halaman
Dimuat di MakassarBuku.Net, 27 Agustus 2018
Tags:
Resensi