Oh...
ternyata sebuah kepercayaan
tercabik-cabik
lukisan
kemanisan
tercerai-berai
kecapi
yang dulunya kusanjungi
tak
mampu berbunyi
hingga
satu-persatu pendengarnya
berlalu
pergi
--a poem from Art ’02--
Lampu itu bersinar
terang. Cahayanya berpendar menyilaukan, mencipta cahaya beraneka. Merah,
kuning, biru, putih, coklat, ungu dan hitam. Ya… hitam… ha…. ha…. ha… semua
menjadi hitam. Gelap. Kelam. Eh… hitam itu pudar menjadi putih… seputih kapas…
nafasku melayang dalam udara yang gemetar tertimpa cahaya. Aku terlelap dalam
balutan cahaya yang berpendar, berputar, membuatku nanar.
Tapi…, tidak!!!
Aku tidak tertidur…!!! Aku tetap terjaga, menjaga jangan sampai ada yang
merampas cahaya itu. Ada sesosok bayang yang mengintai dari balik jendela,
jendela yang berbingkai kayu jati bercat merah jingga. Juga dari lemari kaca,
cermin itu menyembunyikan bayang-bayang. Bayang yang berbaju api… merah.
Hai…!!!! Apa maksudnya dia berbaju api? Apa dia mau membakar?
Jangan
menakutiku dengan api, aku juga api. Tanganku menyala, dari rambutku mengepul
asap, rongga dadaku menjelma bara. Aku api. Menyala tapi tak membakar. Kau takut padaku bayangan dalam cermin? Kenapa
tak juga kau melangkah keluar dan membakar cahayaku? Kau ragu menjadikannya
arang hangus dan gosong! Kau takut dengan kelam? Kau ngeri dengan legam? Jangan
mundur… ayo maju! Kau juga bayang dari balik jendela, kenapa sembunyi!?
Air…! Air…!
Air…! Kenapa meminta air? Ha… ha… ha… kau takut dengan baraku? Kau mau
memadamkan apiku? Tidak! Kau tak bisa melakukannya. Aku juga tidak akan
membakarmu, tapi jangan rampas pijar cahayaku ya? Kau mau bermain denganku? Ayo
kemari…, keluar dari lemari, tinggalkan jendela itu. Ayo… jangan takut… Tapi…,
kenapa wajahmu pucat? Kau sedingin es, mukamu pias. Alismu tebal seperti
alisku, sini aku rapikan rambutmu yang acak-acakan.
Lihat mukaku…
raba mukamu… kita begitu mirip, tidak… tidak hanya mirip, kita serupa. Kau
siapa? Kau mau mencuri lampu pijarku kan? Jangan lakukan itu ya? Ha!? Kau
membawa senjata? Kau mau membunuhku? Jangan lakukan itu padaku. Kalau aku mati,
siapa yang akan mencintai pendaran cahaya? Kau bisa lihat kan? Betapa indahnya
mereka. Lihat yang merah itu, sebening darah… Emh.. kau pernah melihat darah?
Meleleh, menetes… begitu amis. Darah itu seperti tersenyum sinis.
Kalau yang
kuning? Jangan kau sentuh tolol!! Itu kan jorok! Itu bukan emas, itu hanya
sepenggal tinjaku. Kau pernah menyentuh tinja? Huekkkg! Kau membuatku muntah!!!
Jangan muntah di kasurku! Aku lagi malas mencuci nih. Wahh… wah… wah… tinja itu
ada di perutmu juga. Ha… ha… ha… kau membawa warna kuning dalam ususmu ya.
Cresss…. Aaaaah! Kau merobek lambungku… Darah..! Darah..! Darahmu tidak merah,
hanya kuning kecoklatan. Ususmu aku pinjam ya, sudah lama aku tidak main lompat
tali.
Ha!?
lalat-lalat pada berdatangan? Ayo cepat sembunyi dalam monitor itu! Jangan!! Di
dalam mesin fax itu saja, lebih rahasia. Tidak.. tidak.. kau masuk saja dalam
kotak pesan handphoneku. Jangan bergerak ya…
Aduh…
lalat-lalat itu makin banyak saja. Jangan bergerak…!!! Tidak bisa, aku
tergencet pesan baru yang masuk nih. Non aktifkan aja handphonemu. Enak saja
kau menganjurkan itu, tapi lalat itu makin memburu padahal kau sudah merubah
dirimu menjadi duabelas digit angka. Astaga, mereka tidak memburumu, mereka
memburuku… perutku juga robek. Tinjaku juga berceceran sepertimu. Huekkkg!
Kenapa ruangan ini menjadi penuh dengan warna kuning? Aduh, tinjaku menganak
sungai, cahaya menyilaukan lampu itu pudar.
Lalat-lalat
menutupi sinar, mereka makin agresif, matanya merah seperti marah! Kuning tinja
sudah mencapai lututku. Tolong aku dong, jangan bersembunyi terus. Bagaimana
mau menolongmu, aku tergencet oleh pesan-pesan baru yang saling buru seperti
kesetanan. Saling mendahului untuk masuk-keluar, keluar-masuk. Lalat itu mulai
bertindak macam-macam mereka bukan lalat biasa, mulut mereka memiliki taring,
seperti harimau.
Sembunyi saja
kedalam hard disk komputer itu, tapi di file yang mana? Folder-foldernya
dibakar oleh lalat-lalat keparat itu. Mereka mendelete file yang ada satu-satu.
Aduh aku terdelete, sakit sekali. Kepalaku terantuk pada dinding recycle bin.
Aoooh! Sakit sekali, dasar lalat keparat! Tinja itu sudah sampai sebatas
pinggangku, tinja terus saja meleleh dari drive A dan CD-RW drive. Kamarku
didominasi warna kuning….
Lalat-lalat itu
berhasil memburuku yang teronggok disudut recycle bin. Mereka terkekeh, tertawa
lebar, ratingnya mengkilap, menyilaukan tapi menyeramkan. Mereka mulai mengurai
ususku mereka menghancurkannya demikian halus, entah apa yang mereka cari.
Lalat-lalat itu juga mulai mengulitiku, ditariknya urat-uratku. Darahku
diperas, merah menggenang dipermukaan tinja kuning yang sudah mendekati dada.
Aku merasa sesak.
Kau masih dalam
handphoneku kan? Aduh kau mengotori handphoneku, kenapa fitur-fiturnya menjelma
tinja? Monitornya pecah, membuncah tinja di situ. Bangsat!!! Kau kau
merusaknya, ini keluaran terbaru, kameranya saja mega pixel. Bagaimana aku bisa
memotret pacarku dalam ketelanjangan kalau kau merusak handphoneku? Padahal aku
sudah janjian untuk ketemu di kamar ini besok malam. Kau merusak semua
rencanaku. Juga kalian lalat-lalat bangsat!
Tinja sudah
sampai keleherku, kini semua terlihat gelap. Hampir seluruh anggota tubuhku
telah terburai dan diacak-acak oleh lalat-lalat keparat itu. Mereka belum
menemukan yang mereka cari. Darahku yang memerah saga karena dendam muncrat
dimana-mana. Lalat-lalat itu seperti begitu senang melihatnya, munkin karena
mata mereka juga merah membara. Mereka terus mencari setiap simpul saraf di
otakku lalu diurainya, dendrit-dendritnya dikacaukan, entah apa yang mereka
cari.
Semua isi
kepalaku sudah muncrat, terhambur kesegala penjuru. Lampu itu kembali bersinar
terang. Cahayanya berpendar menyilaukan, mencipta cahaya beraneka. Merah,
kuning, biru, putih, coklat, ungu dan hitam. Ya… hitam… ha…. ha…. ha… semua
menjadi hitam. Gelap. Kelam. Eh… hitam itu pudar menjadi putih… seputih kapas…
nafasku melayang dalam udara yang gemetar tertimpa cahaya. Aku terlelap dalam
balutan cahaya yang berpendar, berputar, membuatku nanar.
Tapi…,
tidak!!! Aku tidak tertidur…!!! Aku tetap terjaga. Aku melihat dengan jelas,
ternyata lalat-lalat bangsat itu memiliki sepasang tanduk, mata memerah saga
sementara moncongnya bertaring. Kawanan lalat itu tertawa terbahak setelah
menemukan yang mereka cari, sebuah jimat purba warisan kakek-nenek dan
ibu-bapakku, sebait pesan “Duami uwala sappo/Unganna panasaê/Belo kanukuê”.
CATATAN AKHIR :
Syair :
Duami uwala
sappo
Unganna panasaê
Belo kanukuê
Makna :
Hanya dua yang
kujadikan penjaga diri
Pertama,
Kejujuran
Kedua,
Kebersihan (jasmani dan rohani)
Penjelasan :
Kata
sappo dalam terminologi Bugis
bermakna penjaga atau pemelihara. Frasa Unganna
panasaê secara harfiah bermakna bunga nanas yang dalam bahasa bugis disebut
lempu’ yang juga berarti jujur.
Sementara frasa belo kanukuê berarti
penghias kuku atau daun pacar yang dalam bahasa bugis disebut pacci yang juga berarti bersih.
Tags:
Cerita Pendek