Dia makin
merapatkan badannya ke sisi lelaki yang duduk di sampingnya. Sore itu, langit
sedikit berawan, mereka berjanji untuk saling bertukar kata di taman kota yang
pepohonannya mulai meranggas itu. Sudah lama pertemuan itu mereka rencanakan
namun selalu saja ada aral yang menghalang, sampai akhirnya terjadilah
pertemuan di sore yang agak berawan itu.
Pertemuan
mereka mulai dengan diam yang hanya diisi dengan desah nafas yang seperti
memburu. Degup jantung mereka berdua juga kedengaran dengan kentara. Tak ada
yang bersuara, mereka berdua larut dalam diam yang selalu siap menampung
kegalauan hati. Mungkin mereka bermain dalam pikiran masing-masing.
Banyak hal yang
pantas membuat mereka diam tergugu, terutama alasan mereka bertemu. Mereka
berjanji untuk bertukar kata. Hanya itu.
Mereka tak punya alasan yang lain. Justru karena hal itulah maka alasan itu
dipilihnya.
Mereka bukan keluarga,
bukan saudara, apalagi sepasang suami istri. Mereka belum pernah berikrar untuk
saling mengikat saudara, apalagi menjadi sepasang kekasih. Sungguh hubungan
mereka adalah hubungan yang tak jelas, mungkin merekapun menyadari itu,
sehingga mereka berjanji untuk ketemu dan saling bertukar kata. Ya, hanya itu.
Diam masih
mengunci mulut mereka, perbendaharaan kata masih tersekat rapi. Mungkin
masing-masing mereka sibuk mencari kalimat pembuka, atau mereka lagi membuat
puisi untuk itu, mengikut gaya remaja yang sedang kasmaran kalau lagi ketemu.
Keduanya duduk
kian rapat, seperti sepasang kekasih, tapi mereka tidak merasa seperti itu.
Atau mungkin mereka saling membohongi diri selama ini? Mereka adalah sepasang
kekasih di kedalaman hati masing-masing? Tapi mengapa mereka menolak
mengakuinya? Bukankah mencintai adalah fitrah? Atau mereka mencoba taat pada
etika dan norma yang selama ini mengikatnya? Dengan mengorbankan perasaan cinta
yang mereka bina secara diam-diam dalam hubungan yang merekapun tak bisa
menamainya?
Angin sore yang
berawan menghembuskan udara senja yang dingin, menjadi alasan bagi mereka untuk
kian akrab dengan pikiran masing-masing. Duduk mereka di bangku taman itu kian
rapat. Tapi mereka tak sampai saling mendekap, mereka tetap teguh menjaga
jarak. Mereka hanya berani saling menatap. Tatapan yang begitu lekat, tatapan
yang tanpa sekat. Namun mereka tetap mematung dalam diam yang membekukan jarak.
“Untuk apa kita
di sini kalau hanya untuk diam dan saling menatap?” Dia mencoba memulai
pembicaraan pada lelaki disampingnya.
Lelaki itu
hanya menoleh sejenak, setelah itu dia kembali asyik dengan pikiran sendiri,
“Apa kau puas
dengan pertemuan seperti ini?”
“Mengapa kita
seperti ini?”
“Mengapa kita
disini?”
“Jangan
membuatku bingung dengan kediamanmu itu.”
Lelaki itu
kembali hanya menoleh,
“Bukankah kita
kesini untuk saling bertukar kata?”
“Tapi untuk
apa?”
“Aku juga tidak
tahu.”
Tiba-tiba
lelaki itu mengeluarkan kalimat singkat dengan suara berat dan tertahan,
“Jadi?”
Tanya itu
mengapung tak terjawab.
Lama…, begitu
lama diam itu menjadi selimut keadaan. Lelaki itu mencoba menggeser duduknya
agak menjauh lalu membalik badannya mengambil posisi saling berhadapan,
“Bertukar kata,
katamu?”
“Apa memang
kita datang ke sini karena alasan itu?”
“Bukankah kita
memilih alasan itu hanya karena kita tak punya alasan lain yang bisa
terkatakan?”
“Bagiku, walau
hanya diam tapi bila itu bersamamu, itu lebih indah dari ribuan bait puisi.”
“Ah, jangan
berkata begitu.”
Dia merasa
tersanjung dengan kata-kata teman lelakinya itu.
“Aku tidak suka
membahas ini.” Lelaki itu bicara lagi.
“Kenapa?”
Tanyanya.
“Karena kita
begitu memiliki banyak perbedaan.”
“Perbedaan?”
“Ya, apa kau
tidak menyadari itu?”
Dia terdiam.
Lelaki itupun terdiam.
“Kau khawatir
tentang perbedaan yang ada diantara kita?” Tanyanya pada teman lelakinya.
“Ya aku
khawatir, khawatir sekali!!!”
“Kenapa?”
“Perbedaan yang
ada telah membuat jarak kita begitu jauh.”
“Aku takut
membahas perbedaan itu, makanya aku memilih diam dan menikmati kebersamaan
ini.”
“Bukankah itu
sebentuk pelarian!!?”
“Itu tidak akan
menyelesaikan masalah kita kan!!?” Katanya.
“Jadi apa yang
harus kita lakukan, sementara kita tak memiliki alasan untuk melakukan lebih
dari sekedar bertukar kata?”
Lelaki itu
seperti pasrah dengan keadaan.
“Perbedaan kita
begitu besar dan kita tidak punya alasan untuk tidak menghiraukannya.”
“Kita memiliki
cinta!!!”
“Bukankah cinta
hadir untuk membuat perbedaan itu sebagai serpihan-serpihan keadaan yang tak
berarti???” Katanya.
Lelaki itu
balik bertanya.
“Cinta!!?”
“Kalaupun kita
memiliki itu, aku kurang sepakat denganmu.”
“Bagiku cinta
hadir bukan untuk mengingkari perbedaan, malah sebaliknya, cinta hadir untuk
menghargai bahwa kita memang berbeda.”
“Tapi cinta
seperti apa yang kita miliki?”
“Kita bukan
sepasang kekasih!”
“Kita tak
mungkin menjadi sepasang kekasih.”
“Kita tak
mungkin memiliki itu!!”
Kembali nada
bicara lelaki itu memelas.
Setelah diam
sejenak, dia kembali angkat bicara.
“Kenapa kita
tak mungkin memiliki cinta???”
“Kenapa kita
tak bisa menjadi sepasang kekasih???”
“Bukankah kita
juga manusia yang memiliki perasaan yang sama dengan manusia yang lain???”
“Memang.”
Lelaki itu menjawab.
“Kita punya
rasa yang sama dengan manusia yang lain untuk saling mencintai.”
“Tapi . . .!”
“Tapi kenapa!!?” Dia memotong pembicaraan
teman lelakinya.
“Kita tak punya
hak untuk itu.” Jawab lelaki itu.
“Kau tahu?”
“Kita hidup
dalam belukar etika dan kita tak mungkin lepas dari situ.”
“Persetan
dengan etika!!!”
“Kenapa cinta
harus diatur dengan etika!?”
“Mungkin karena
cinta telah begitu banyak diselewengkan!”
“Diselewengkan
bagaimana?”
“Tapi bukankah kita
tidak melakukan itu?”
“Memang kita
tidak melakukannya, tapi masyarakat tetap tak akan peduli.”
Mereka terdiam.
Senja makin
temaram, awan masih menggantung di kaki langit. Mereka masih duduk di taman
itu. Kembali mereka bermain dalam pikiran masing-masing. Dia mulai berani
menyandarkan kepalanya ke dada bidang teman lelakinya itu. Dingin bisa lebih
diantisipasi dengan cara itu, meskipun karenanya mereka harus menerima sorot
mata sinis dari para pengguna jalan yang lewat di seputaran taman kota sore itu.
Dia kenal
dengan lelaki itu sekitar tiga tahun yang lalu. Perkenalan yang sudah cukup
lama. Namun sampai sejauh itu, mereka belum bisa memaknai hubungan yang mereka
miliki. Mereka yakin bahwa mereka berhubungan bukan lagi sekedar sebagai teman
atau sahabat, tapi mereka bukanlah saudara, kekasih atau suami istri. Mereka
menjalani hubungan itu apa adanya. Mungkin mereka saling mencintai, mungkin
mereka saling menyayangi. Mereka memiliki banyak perbedaan, namun itu tak
membuat hubungan mereka goyah. Meskipun mereka harus menjaga hubungan itu agar
tidak diketahui oleh masyarakat, karena mereka yakin masyarakat akan menentang
hubungan yang tidak jelas seperti itu. Karena itulah mereka biasanya bertemu
ditempat dimana keramaian menjadi alasan yang membolehkan mereka berdua.
Termasuk pertemuan mereka sore ini, meskipun dengan alasan hanya untuk saling
bertukar kata.
Dengan tetap
menyandarkan kepalanya di dada teman lelakinya.
“Tidak bisakah
kita melepaskan diri dan tidak peduli dengan etika dan norma yang mengatur
kita?”
“Bisa saja,
tapi itu tidak menjadi jaminan bahwa kita bisa menjadi sepasang kekasih.”
“Kenapa?”
“Bukankah hanya
itu yang menjadi hambatan terbesar kita?”
Lelaki itu diam
sejenak.
“Apa kau lupa
bahwa kita begitu berbeda?”
“Bukankah kita
memiliki cinta?”
“Tidak cukupkah
cinta menjadi alasan untuk saling bersama?”
“Bukankah cinta
hadir untuk membuat perbedaan itu sebagai serpihan-serpihan keadaan yang tak
berarti?”
“Kenapa kau
mengulang pernyataan itu lagi!!?”
“Bukankah tadi
sudah kukatakan bahwa bagiku cinta hadir bukan untuk mengingkari perbedaan,
malah sebaliknya, cinta hadir untuk menghargai bahwa kita memang berbeda?”
Dia mengangkat
kepalanya.
“Terserah kau
memahami cinta itu seperti apa, aku hanya butuh kepastian dan sudah tak kuat
membangun hubungan seperti ini.”
“Kenapa kita
harus mencari alasan yang tak perlu hanya untuk bertemu dan melepas rindu?”
“Karena kita
bukan sepasang kekasih atau suami istri, sementara itu, masyarakat kita
menetapkan bahwa hanya sepasang kekasih atau suami istrilah yang berhak untuk
bertemu dan saling melepas rindu.”
Dia terdiam
mendengar kata teman lelakinya.
“Kalau begitu,
kita menjadi saja sepasang kekasih atau suami istri agar kita berhak bertemu
dan saling melepas rindu.” Katanya pada lelaki itu.
“Tapi bukankah
kita memiliki begitu banyak perbedaan?”
“Apakah
kekuatan cinta kita kuat untuk menghargai dan menerima perbedaan itu?” Dia
kembali melemparkan tanya.
“Cinta hadir
untuk menghargai bahwa kita memang berbeda dan bukan sebaliknya.” Jawab teman
lelakinya.
“Dengan modal
cinta itulah kita bisa saling menerima kekurangan dengan kerendahan hati dan
saling menghargai perbedaan dengan kebesaran jiwa.”
Dia menarik
nafas dalam-dalam, angin senja yang berawan menjadi saksi ketika dia bertukar
kata dengan teman lelakinya.
“Apakah kau
dengan kerendahan hati dan kebesaran jiwamu siap menjadikanku sebagai
kekasihmu?”
“Ya, dari dulu
aku mencintaimu karena itu.” Jawab lelaki itu.
“Aku
mencintaimu karena kau adalah lelaki yang berbeda denganku.”
Tags:
Cerita Pendek