Selamatkan Pasar Tradisional

Bentrok antara petugas trantib pemda dengan para pedagang asongan dan pedagang kaki lima (PKL) di hampir seluruh kota besar di Indonesia, termasuk Makassar, bukan hal yang berdiri sendiri dan murni persoalan penertiban perkotaan. Persoalan ini selayaknya dianalisis dalam kaitan antara aspek ekonomi dan bisnis dengan kebijakan tata ruang kota.

Sejak dibukanya pintu bagi masuknya investor asing-swasta pada tahun 1997 sebagai salah satu prasyarat yang diajukan oleh IMF kepada pemerintah Soeharto waktu itu, maka mulailah menjamur berdirinya ritel-ritel asing di Indonesia, tak terkecuali di kota Makassar. Sepertinya pemerintah kota berlomba untuk menggunakan kesempatan ini untuk mempercantik kota masing-masing dengan bangunan-bangunan megah dari pusat perbelanjaan yang bernama hypermarket ini.

Upaya mempercantik kota dengan bangunan hypermarket memang bukan masalah, bahkan disatu sisi, keberadaan ritel-ritel asing ini menunjukkan efek positif dan menjadi indikator pertumbuhan perekonomian yang pesat disuatu daerah, namun disisi yang lain, pada saat yang sama ritel asing itu telah menggeser keberadaan pasar tradisional yang telah lebih dulu ada dan eksis sebagai sentrum roda perekonomian sebuah wilayah.

Dalam konteks Makassar, dapat disaksikan betapa pesatnya pembangunan hypermarket-hypermarket, bahkan hampir disetiap ruas jalan protokol di kota ini dengan mudah akan kita temukan keberadaan hypermarket ini. Keberadaan hypermarket dengan gelar keren ‘trade centre’ telah merubah penampilan Makassar menjadi kota yang begitu gemerlap.

Tapi dibalik gemerlap itu semua, betapa banyak pihak yang harus dikorbankan. Penggusuran terjadi hampir tiap hari, yang paling menggiriskan adalah karena hampir setiap penggusuran diikuti dengan tindakan kekerasan dan bentrokan antara pihak penggusur (dalam hal ini petugas trantib pemda) dengan pihak tergusur (dalam hal ini pedagang kaki lima dan pedagang asongan). Pelan tapi pasti, para pedagang kecil yang berjualan di pasar-pasar tradisional akan disingkirkan secara sistematis dan digantikan dengan angkuhnya ‘trade centre’ yang tumbuh seperti cendawan dimusim hujan.

Dalam penelitiannya baru-baru ini, AC Nielsen menemukan sebuah realitas yang menggiriskan. Beliau menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ‘trade centre’ dan hypermarket di Indonesia mencapai 31,4 % pertahunnya, angka ini, berbanding terbalik dengan ‘pertumbuhan’ pasar tradisional yang sebesar minus 8 %. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa dalam waktu dekat, pasar tradisional di Indonesia akan punah, termasuk di Makassar tentunya.

Kondisi ini membutuhkan perhatian dari kita semua, terutama good will dari pemerintah kota Makassar, dalam menyikapi fenomena ini karena tanpa itu, maka kita akan tetap menjadi saksi bagaimana setiap hari akan selalu jatuh korban bentrokan karena penggusuran demi ruang kota yang anggun dan asri serta bebas dari pedagang asongan dan pedagang kaki lima (PKL).

Sebenarnya ada beberapa langkah strategis yang memungkinkan dilakukan untuk mengatasi situasi ini. memang tidak bisa dipungkiri keberadaan pasar tradisional yang semrawut dan terkesan kumuh akan mengganggu penampilan sebuah kota, apalagi kota yang tengah bersolek seperti Makassar. Tapi pilihan untuk mematikan semua pasar tradisional dan menggantinya dengan ‘trade centre’ dan hypermarket juga bukanlah langkah yang arif. Karena mematikan pasar tradisional sama dengan mematikan peluang hidup sebagian masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari aktifitas berdagang di pasar tradisional yang ada.

Langkah yang mungkin bisa dimaksimalkan adalah dengan melakukan pertama, peremajaan pasar tradisional. Peremajaan ini dilakukan sebagai upaya untuk tetap mempertahankan keberadaan pasar tradisional tapi dengan meminimalisir bahkan kalau bisa menghilangkan kesan kumuh dan semrawut yang selama ini melekat pada keberadaan pasar tradisional.

Langkah ini perlu diikuti dengan itikad baik dari semua pihak untuk betul-betul mejaga eksistensi pasar tradisional, karena selama ini kesan yang timbul dalam benak pedagang di pasar tradisional bahwa peremajaan pasar tradisionla sama saja dengan terjadinya lonjakan pada harga kios yang diredistribusi kepada para pedagang. Belum lagi keadaan ini diikuti dengan meningkatnya biaya retribusi yang ditarik dari mereka oleh patugas retribusi daerah. Situasi ini diperparah dengan biaya keamanan, baik dari petugas resmi maupun dari preman pasar, yang juga kian mahal. Sementara itu, peremajaan tidak juga menjamin bahwa pasar tradisional bisa bersaing dengan ‘trade centre’ dan hypermarket dalam menyedot konsumen.

Olehnya itu, kebijakan yang lain yang bisa ditempuh adalah kedua, melakukan pembatasan pembangunan ‘trade centre’ dan hypermarket ditengah perkotaan. Dalam konteks Makassar, sepertinya kebijakan ini yang tidak terlaksana. Hal ini terlihat dengan menjamurnya pendirian ‘trade centre’ dan hypermarket dipusat-pusat kota, bahkan sampai harus mengorbankan ruang publik untuk dijadikan lahan pembangunan ‘trade centre’ dan hypermarket.

Pada hari ini, hampir seluruh ruas jalan protokol di Makassar dihiasi dengan keberadaan ‘trade centre’ dan hypermarket. Implikasi negatif dari hal ini adalah disamping mengorbankan ruang publik, juga membuat terjadinya kemacetan lalu lintas hampir tiap hari yang diakibatkan oleh keberadaan ‘trade centre’ dan ‘hypermarket’ tersebut. Bahkan institusi pendidikan yang lebih pantas berada ditengah kota harus tersingkir dan hanya mendapatkan lahan di luar kota karena tidak mampu bersaing.

Langkah yang ketiga, adalah dengan melakukan pembatasan pembangunan ‘trade centre’ dan ‘hypermarket’ bersebelahan/berdekatan dengan pasar tradisional. Hal ini untuk menghindari persaingan tidak sehat dan ini merupakan sebentuk kebijakan ril untuk menjaga eksistensi pasar tradisional. Lagi-lagi, kebijakan ini tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan terkesan ada unsur kesengajaan untuk menggusur keberadaan pasar tradisional dan menggantinya dengan ‘trade centre’ dan ‘hypermarket’.

Memang dalam konteks peningkatan pendapatan daerah, keberadaan ‘trade centre’ dan ‘hypermarket’ akan lebih signifikan pengaruhnya, namun pada saat yang sama terjadi proses pemiskinan sistematis terhadap masyarakat yang tersingkir secara ekonomi dan pada gilirannya juga akan tetap menjadi beban pemerintah kota pada masa yang akan datang. Olehnya itu tidak ada kata lain selain selamatkan pasar tradisional.

4 Komentar

  1. Anonim1:51 PM

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Anonim4:45 PM

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Anonim5:03 AM

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Anonim9:29 AM

    Mari kita dukung pelestarian http://pasartradisional.com melalui https://kitabisa.com/pasartradisional

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama