Aku, Kenangan dan Sahabat

     Bagaimana perasaanmu saat seorang gadis yang selama ini sudah kau anggap seperti adik sendiri, kau perlakukan dengan baik dalam batas yang dibolehkan adat dan syariat, tiba-tiba mengajukan tanya yang menurutmu ibarat sinyal suar yang berkedip pelan, namun nyata.  Bahwa dia berharap sesuatu yang lebih dari sekadar menjadi sahabat dan sebatas saudara, tetapi karena lembutnya hatinya, tanya itu begitu samar dan hati-hati.

Apa adil, kita menghapus jejak-jejak kenangan yang berpijak di ingatan? 
Apa bijak kita mengharap dan menuntut sesuatu yang lebih indah dari sekadar sebuah persahabatan? 

     Tanya yang dilontar dengan sorot mata sarat asa, menempatkanku pada situasi yang dramatis dan penuh dilema. Apa yang akan kau lakukan bila mendapat soal seperti itu? Dihadapkan pada  sepenggal tanya dari seseorang yang kau kenal dengan karib, seorang perempuan muda yang beranjak dewasa, saat kau juga bukan lagi seorang pemuda tanggung. 

     Dia yang bertanya, tak akan kuberitahukan namanya kepadamu. Sebab mungkin saja engkau akan dengan mudah mengenalinya bila namanya kusebut. Kita sapa saja dia dengan inisial R. Seseorang yang telah kukenal dan mengenalku tiga tahun silam, sejak dia masih mahasiswa baru, dan belum punya banyak kawan di kampus. Namun akhirnya kami sering kuliah bareng akibat kemalasanku masuk kelas di semester-semester awal. 

     Dia yang saban hari mengingatkanku jadwal kuliah, meminjamiku catatan akuntansi dan manajemen keuangan, dua mata kuliah yang jarang aku masuk. Bahkan membuatkanku salinan catatan kuliah jelang ujian tengah semester. Dia pula yang menjadi penggerak kepengurusan keputrian musala di fakultas saat aku yang menjadi ketuanya.

     Melihat ciri-cirinya, engkau mungkin sudah mulai menebak-nebak, siapa sebetulnya R ini. Karenanya, aku tak akan berpanjang kata, karena semakin aku mengumbar berbagai hal tentangnya, engkau akan bisa segera mengenalinya. Cukup aku saja yang mengetahui betul siapa dia.

     Aku menceritakan perihal tanyanya itukepadamu, hanya agar engkau bisa mengambil pelajaran, tak menutup kemungkinan, engkau akan mendapatkan tanya serupa dari seseorang yang juga kau anggap adik atau saudara.

     Membaca tanya yang dilontarkannya via short message system, aku terhenyak, kuatur nafas, kupinta jeda untuk menentukan jawaban. Awalnya, aku memilih untuk tafakur, meski begitu susah untuk memusatkan pikiran, maka kuputuskan untuk meminta pendapat kawan.

     Oh ya, saat itu belum ada facebook messenger, apalagi whatsapp, maka aku hubungi beberapa kawan yang juga koleganya, siapa gerangan yang bisa memberiku tanggapan penenang, juga melalui short message system

     Rencanaku selanjutnya, bila jalan ini pun tak membuahkan hasil, pilihan terakhir, aku akan mengadu pada Tuhan, perihal peliknya perasaan ini membelit hati, salat istikharah. Ini mungkin akan menjadi kesempatan pertamaku menggunakan hak istimewa bertanya pada Tuhan sekaitan dengan kepentinganku yang sangat pribadi dan sepertinya agak lebai.
*     *     *

     Mungkin penasaran telah membelasah jiwamu menanti kelanjutan kisahku, aku pun demikian adanya. Tak sabar aku menanti komentar dan saran dari beberapa sahabat yang kumintai tanggapan. Memang, sudah berbilang jam pesan kusebar ke beberapa nomor telepon, belum satu pun yang menanggapi.

     Pesan balasan pertama muncul dari Santi, anak akuntansi pecinta jilbab ungu yang menurut gosip teman seangkatan, dulu pernah begitu mengidolakanku, tetapi tak pernah mau mengakuinya kepadaku demi menjaga harga dirinya. 

     Pantang perempuan bicara lebih dulu, apalagi soal rasa, begitu prinsipnya. Dia amat setia berpegang pada prinsip itu, bahkan hingga selesai kuliah dan dia pulang ke kampungnya di pulau Kalimantan, tak pernah sekalipun ia menunjukkan kecenderungan hatinya secara berlebih. 

      “Tidak adil bila kita menghapus sebuah kenangan, karena bila kita menghapusnya, berarti kita berbuat tidak adil pada jejak kehidupan yang sudah membina kita. Kalau memiliki harapan, masih bijak. Namun jika mengandung tuntutan, ego diri yang berbicara.” Demikian tulisnya. 

     Jawaban yang cukup melegakan. Aku tak harus menghapus kenangan perihal persahabatanku dengan R, demikian halnya dengan R, tak wajib melenyapkan kenangan kebersamaan kami dari ingatannya. Aku pun tak memiliki kewajiban memenuhi tuntutannya untuk menjadikan hubungan kami lebih dari sekadar sahabat. Demikian simpulanku dari jawaban Santi.

     Pendapat kedua muncul dari Putri, teman cewek sejak SMA yang baru kembali menyambung komunikasi di tahun kelimaku sebagai mahasiswa. Putri ini seorang gadis yang terkenal dengan perangai balaki, perempuan perkasa. Olah raga favoritnya sejak SMA adalah bermain sepak takraw, bahkan sempat ikut Pelatda tingkat provinsi.

     “Ya nggak adil dan nggak bijak. Bagiku, sahabat adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda dan sahabat yang terdekat adalah keluarga, sehingga dalam persahabatan tak ada perhitungan.”

     Wah, filosofis juga jawabannya, meski terasa normatif, dan tak menyentuh substansi dilema yang aku hadapi. Sepertinya dia tak berhasil melihat pesan yang tersirat dalam surat pendek elektronik yang dikirim R. Bagimana menurutmu? Begitu, kan? Tapi sudahlah, aku juga tak berminat menjelaskannya lebih lanjut.

     Selepas tanggapan dari Santi dan Putri, tak ada jawaban dalam beberapa kala berikutnya. Maka kupilih meraih sebuah novel terjemahan, judulnya ‘Samurai: Jembatan Musim Gugur’ karya Takashi Matsuoka, kau pernah mendengar nama itu? Memang tidak terkenal, sih. Namun setidaknya, novelnya bisa menambat hatiku.

     Matsuoka, setahuku baru menulis dua novel bersambung. Selain yang sedang kubaca ini, dia juga telah menerbitkan ‘Samurai: Kastel Awan Burung Gereja’. 

     Aku merasa yang berbeda saat aku meraih buku ini begitu saja, karena begitu melihat ke sampul belakang, Matsuoka menyajikan seuntai kalimat yang disitirnya dari perkamen Aku-no-Hashi bertahun 1434. Bunyinya begini, 
Mengetahui masa depan dan mengetahui masa lampau adalah dua hal yang bermakna sama. Apa bedanya mengetahui hal yang wajar tak terelakkan dengan mengetahui apa yang telah terjadi?

     Coba baca sekali lagi, bukankah di sana tersurat makna bahwa kenangan tak lebih hanyalah apa yang telah terjadi, dan mengetahuinya bukanlah istimewa? Lalu, haruskah aku melupakan begitu saja kenangan dengan R? Toh, masa depan hanyalah hal yang tak terelakkan.

     Engkau tahu? Bukannya membantuku memecahkan tanya dari R, memegang buku ini kian membuatku larut dalam berbagai pertanyaan perihal kenangan. Maka kuputuskan untuk membaca buku ini, sambil menunggu jawaban dari beberapa kawan yang belum merespon. Engkau juga masih sabar mengikuti kisahku ini, kan? 
*     *     *

     Saat mataku berselancar pada untaian kata di muka 337 dari 626 halaman yang disajikan Matsuoka, sepenggal kalimat yang dipatri italic, membetot perhatianku. Berikut kalimatnya:
Lord Genji berkata, “Yang diramalkan selalu terjadi dengan cara yang tidak diramalkan"

     Bukankah menurutmu kalimat ini begitu cerdik? Menurutku, itu sama saja dengan mengatakan tak ada ramalan yang meleset, hanya cara perwujudannya yang masih tetap misterius. Bagaimana menurutmu? Tapi tunggu dulu, tak usah engkau tanggapi dulu, sepertinya ada pesan baru yang masuk ke telepon genggamku.

     Rupanya, Iman yang mengirimiku pesan, lumayan panjang pesannya, tak kurang dari 59 kata yang tersusun di sana, cobalah membacanya dengan saksama, siapa tahu engkau bisa membantuku menguraikan maksud yang hendak dia sampaikan.

     “Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit. Kita tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa apapun dia, jika sudah tertulis sebagai kenangan, entah itu indah atau buruk, pasti takkan lekang dari memori dan berusaha melupakannya merupakan wujud ketidakberanian menghadapi yang lebih dari itu. Berharap adalah bahasa dari hati, tapi menuntut yang lebih, saya rasa kurang bijak, kecuali ada ikrar di masa lampau.”

     Engkau paham maksudnya? Sebelum engkau lanjut, mungkin keterangan tentangnya bisa sedikit membantu. Iman ini teman seangkatan kuliah yang selalu merasa diri lebih dewasa. Dia bisa menunjukkan simpatinya sebagai sesama lelaki, meski sesungguhnya dia tak kalah lugunya dibanding aku dalam hal hubungan dengan para gadis.

     Selepas jawaban Imam, berturut-turut masuk pesan dari Sita dan Wandi, keduanya junior di fakultas. Mereka ini sepasang kekasih yang saban hari aku nasehati agar bisa menjaga diri, kalau perlu memutuskan hubungan yang tak jelas dasarnya itu. Aku kadang memberi mereka pilihan: putuskan, atau halalkan.

     Meski mereka belum mengambil pilihan, tapi minimal mereka tak lagi seliar pasangan pacaran lainnya. Mereka juga tak merasa jengkel bila selalu kutegur, mereka malah kian rajin membantuku bila kuperlu. Mereka benar-benar sahabat. 

     “Puitis banget! Pengalaman pribadi ya? Kenapa ki’, Kak? Ada masalah ya? Tapi aku yakin, orang seperti kakak mampu mencari solusi terbaik, orang cerdas kok! Kan senior andalan? Kak, jangan lupa tahajjud dan adukan segalanya kepadaNya.” Tulis Sita.

     Tapi kok pesannya terasa mengungkapkan kecurigaan bahwa itu merupakan pengalaman pribadiku ya? Kok bisa dia menebak begitu? Apa memang aku terlalu polos dan tak bisa menyimpan rahasia? Sita tidak percaya kalau itu merupakan tanya dari seorang sahabat hati. Waduh.

     “Aku akan mengenang yang baik, kebersamaan yang kukenang dan mengubur yang jelek, memperbaikinya agar nggak terjadi lagi kesalahan pada selanjutnya. Emang kakak sudah bicara serius dengan itu sahabat? Sepertinya ini masalah serius.”

     Nah, pesan Wandi juga begitu, jangan-jangan mereka memang telah mendiskusikan masalah ini, baru setelahnya, menjawab pesanku dengan pendapatnya masing-masing? Argh… mereka berhasil membuatku merasa malu. Engkau jangan ikut-ikutan menertawaiku ya.

     Daripada makin pusing memikirkan diriku yang dikerjai Sita dan Wandi, mending kulanjutkan mendaras buah pena Matsuoka. Di awal bab 9 pada halaman 391 dengan tajuk ‘Lord Apel’, penulis keturunan Jepang yang menetap di Honolulu ini kembali mengutip perkamen Aki-no-Hashi bertera 1311.
Bangsawan muda itu bertanya, “Bagaimana kudapatkan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan perasaan hatiku?” 
“Perasaan paling dalam tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, tetapi ditunjukkan semata.”

     Membaca penggalan ini, aku menjadi bisa merasakan kerumitan R dalam mengungkap perasaannya padaku. Pun demikian denganku, ternyata mengutarakan perasaan hati tak lebih mudah dari menemukan jarum dalam tumpukan jemari. Saat diminta mengungkap rasa, setiap jiwa menjadi bisu, mungkin bisa dikatakan demikian, bagaimana?
*     *     *

     Setelah aku tuturkan dengan jujur perihal pelik yang menggelayut di reranting jiwaku yang rawan, sekarang aku akan mengajukan pertanyaan serius padamu, bisakah aku percaya bahwa engkau tak akan mengecewakanku dengan jawaban sekadarnya? 

     “Bagaimana bila ada sahabat yang memintamu, bahkan memaksamu untuk melupakan kenangan persahabatan dengannya karena engkau menolak harapannya yang menuntut lebih dari sekedar sahabat?”

     Apa jawabanmu atas tanya sedemikian? Aku yakin, dengan tingkat wawas diri yang tak jauh beda dariku, engkau akan mengalami rusuh hati yang sama denganku. Engkau masih kesulitan menemukan jawab, bukan? Baiklah kita simak saja tanggapan-tanggapan dari kawanku yang bisa menjadi bahan pertimbagan bagi kita berdua.

     Coba simak saran yang ini, “Saya akan berkata, saat kamu tidak cukup kuat untuk meraih harapanmu pada seseorang, maka yang terbaik adalah membantu orang yang kamu cintai memperoleh kebahagiaannya, bukan malah menjebak dia dalam pilihan.” Sebuah saran yang lincah, ya?

     Memang seharusnya demikian, dengan jawaban seperti itu, aku telah membantu R untuk kian dewasa. Tapi akankah sesederhana itu? Aku yakin engkau akan sepakat denganku, bahwa Iman bisa menyarankan demikian, karena dia dalam situasi bebas, tidak sedang dalam situasi yang sama denganku, atau yang coba engkau rasakan atas permintaanku. 

     Kalau ini, jawaban dari Sita, “Menurutku, harus diperjelas pada sahabat yang menuntut kita itu karena mungkin bagi kita sudah nggak ada apa-apa dengannya, tapi menurut dia belum jelas, karena bagi dia masih menggantung. Kalaupun aku diminta untuk melupakannya, itu tergantung diri kita. Bagiku, meskipun kecewa tapi sulit untuk melupakanya.”

     Atau usul dari Santi, “Kalau saya sahabat anda, kemudian anda menolak harapan saya untuk jadi lebih dari sekadar sahabat, selain akan berusaha untuk ikhlas menerimanya, saya juga akan meminta kesediaan anda untuk berdoa, meminta dan berharap untuk sahabat itu agar mendapatkan yang lebih baik menurut Allah swt.”

     Saat aku kian bingung dengan berbagai saran yang berseliweran, aku teringat kalimat indah Matsuoka, lewat ungkapan singkat tokoh Lord Kiyori dalam novelnya,
...yang paling nyata adalah apa yang kita pilih untuk kita anggap nyata”.

     Maka, kuputuskan untuk membiarkan semuanya mengapung dalam gumpalan awan-awan pilihan, yang akan menghablur dan mengkristal jadi hujan, bila saatnya tiba. Entah, butiran mana yang akan jatuh dan menerpa dan mengetuk-ngetuk daun jendela kamarnya di sore hari. Bagaimana denganmu?

Kasman McTutu, 25/11/2018

Ilustrasi: https://pxhere.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama