Matinya Makna Lebaran

Ramadhan sebulan penuh telah berlalu, rangkaian program ibadah mulai dari puasa, tarwih sampai tadarus dan i’tikaf telah dijalani dengan sempurna oleh orang muslim yang beriman. Diakhir senja ramadhan, menyingsinglah malam satu syawal yang merupakan hari dimana saat yang tepat untuk melantunkan takbir, tahlil dan tahmid tanda kemenangan. Tentu kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan dan keberhasilan menuntaskan ibadah ramadhan dengan sempurna.



Satu syawal merupakan hari yang paling dinanti-nanti oleh umat muslim yang berpuasa, datangnya hari raya iedul fitri atau juga sering disebut lebaran. Secara normative, lebaran merupakan tanda bagi tiga hal, pertama sebentuk ungkapan syukur, kedua tanda telah genap dan sempurnanya jumlah hitungan hari puasa dan ketiga sebagai bentuk pengagungan atas nama Tuhan. Al Qur’an sudah menggariskan, “dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Q.S. 2:185)”

Dari ayat ini terlihat bahwa tujuan utama dari idul fitri adalah sebagai sebentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat ramadhan yang telah dianugerahkan kepada kaum muslimin. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa untuk bisa dikategorikan bersyukur, maka kaum muslimin hendaknya mencukupkan bilangan puasanya dan yang lebih penting lagi adalah mengagungkan asma Allah.

Bulan ramadhan telah menjadi sarana yang efektif bagi kaum muslimin untuk mensucikan diri dan kembali seperti fitrah penciptaan awalnya, fitrah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, fitrah sebagai makhluk spiritual. Dalam ramadhan, manusia dituntut untuk puasa, tarwih, tadarus dan i’tiqaf sebagai sebentuk upaya mengendalikan nafsu komsumtif dan materialistik manusia yang demikian berlebih.

Tentu patut digaris bawahi bahwa lebaran bukan malah sebaliknya menjadi ajang pelampiasan kemerdekaan yang tak jelas juntrungannya. Juga bukan ajang balas dendam hewani atas keterpenjaraan atas nafsu yang telah berlangsung selama sebulan penuh. Lebaran justru sebentuk pernyataan bahwa rasa syukur, juga berarti sebentuk pernyataan bahwa apa yang telah dicapai harus bisa dipertahankan bahkan malah dipertahankan pada hari-hari berikutnya.

Realitas Lebaran

Satu hal yang begitu menggiriskan hati ketika berbicara tentang relitas lebaran adalah bahwa lebaran telah mengalami penyimpangan dan penyelewengan makna yang demikian jauh dari hakekat awalnya. Jangankan pada hari lebarannya, penyimpangan itu malah telah terjadi sepanjang ramadhan berlangsung. Meminjam hasil penelitian terhadap konsumsi massa dalam hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh seorang antropolog amerika, Walter Armbrust, mengindikasikan adanya kesenjangan antara prilaku umat islam dan nilai yang menjadi tujuan ibadah puasa.

Menurut Armbruts, pola konsumsi yang diharapkan lewat puasa dapat dikontrol justru semakin liar dan tak terkendali. Bahkan bulan yang siangnya diisi dengan tidak makan dan tidak minum, justru pada malam hari kegiatan konsumsi ini semakin menjadi-jadi. Bukankah ini merupakan sebentuk pembangkangan besar atas wahyu? Puasa yang bertujuan untuk mengendalikan nafsu konsumtif dan materialistik manusia, justru bekerja dengan logika terbalik, malah meningkatkan derajat nafsu konsumtif dan materialistik orang-orang yang berpuasa.

Pada hari-hari menjelang lebaran, masjid menjadi kian lengang jama’ah dan yang ramai bahkan sesak didatangi oleh jama’ah adalah mall, supermarket dan trade centre. Bukannya makin khusyu dalam sujud panjang dimalam-malam akhir ramadhan, umat Islam malah tenggelam dalam arus hingar-bingar penyambutan lebaran yang kehilangan substansi. Bukannya menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan asma Allah, mereka malah sibuk memilih pakaian baru dan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang begitu berlebihan.

Umat Islam telah menciderai hakekat puasa sebagai tolok ukur keimanan dan ketakwaan kepada Allah, bahkan mereka telah melupakan perintah Allah untuk bisa mengendalikan nafsu konsumtif dan materialistik. Mereka justru telah melakukan aktivitas yang sesungguhnya hanya pantas dilakukan dan dikerjakan oleh orang-orang kafir. Sebagaimana dengan tegas dilukiskan oleh Al Qur’an, “dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang... (QS. 47:12).”

Dari relitas umat Islam ini, Armbrust kemudian berkesimpulan bahwa proses chrismasization telah menulari kegiatan hari besar umat Islam. menurutnya chrismasization sebagai bentuk konsumerisme natal sebagaimana yang terjadi di masyarakat barat dan telah berlangsung begitu lama serta berkesinambungan, kini juga telah merambah kedalam masyarakat Islam dalam menyambut hari-hari besar agamanya.

Lebaran sebagai sebentuk perayaan yang sarat dengan nilai sakralitas kekeluargaan dan persaudaraan, kini kian pudar dan digeser oleh arus konsumerisme dan gaya hidup, nilai lebaran kian hambar. Rasa syukur pada hari lebaran tidak lagi diekspresikan dalam sebentuk ungkapan pengagungan Allah dan tindakan saling memuliakan sesama serta keinginan untuk berbagi.

Dengan demikian telanjang, lebaran kita kita saksikan tidak lebih dari sebuah proses konsumsi tanda-tanda yang mendukung prestise dan gengsi sosial seseorang. Nilai lebaran diukur dari tingkat kemahalan serta model baju koko yang dikenakan, juga dari jilbab model apa yang dipakai. Manusia tidak lagi diperlakukan berdasarkan kemuliaan fitrah yng dimilikinya dari Tuhan melainkan dari pola dan mode konsumsi serta gaya hidup yang diaktualisasikannya.

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses chrismasization pada lebaran yang mulia ini adalah secara internal, pemahaman umat atas makna dan hakekat lebaran begitu dangkal. Hal ini diperparah dengan serbuan informasi keagamaan yang bersifat instan dan tidak komprehensif dari media, terutama media elektronik seperti televisi. Selama sebulan penuh sepanjang ramadhan televisi kita dipenuhi dengan serangkaian acara yang bernuansa ramadhan namun sesungguhnya sangat bersifat remeh-temeh.

Sejak dari waktu sahur sampai tengah malam, masyarakat disuguhi oleh siaran-siaran yang berbau lawakan, parodi, kuis dan sejenisnya yang bukannya meningkatkan pemahaman masyarakat secara mendalam terhadap hakikat puasa, malah sebaliknya membuat penyelewengan makna besar-besaran. Momen puasa menjadi komoditas yang begitu laku untuk dijual oleh para produser siaran tanpa peduli yang mereka lakukan meningkatkan pemahaman ummat atau malahsebaliknya, sebentuk pembodohan.

Memaknai Ulang Lebaran
Untuk menyelamatkan lebaran dan mengembalikan pada fungsi dan makna yang sebenarnya, maka dibutuhkan sebuah kerja keras oleh para pemimpin umat dan tentu kerjasama dari berbagai pihak yang bisa mempengaruhi pemahaman keagamaan masyarakat. Kalau diperhatikan dengan baik, dapat disaksikan bahwa proses pendangkalan dan penyelewengan makna puasa atau chrismasization terjadi karena pada hari ini perbincangan agama lebih bersifat konseptual daripada realitas konkrit.

Perbincangan keagamaan sudah semakin jauh dari keprihatinan dan rasa peduli terhadap realitas sosial. Puasa sebagai sebentuk ibadah sudah kehilangan fungsi horisontalnya, dan mengalami penyempitan makna sebagai sekedar ritual personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan realitas di sekelilingnya. Seorang yang berpuasa tidak mengalami transformasi kesadaran untuk menjadi lebih peduli sebagaimana yang dikehendaki oleh perintah puasa, taqwa.

Seharusnya perbincangan tentang taqwa sebagai tujuan akhir puasa dikemas dalam nuansa yang lebih realistis bahwa kunci menuju takwa adalah menegakkan keadilan dan menjauhi kedzoliman. Bahwa lebaran sebagai proklamasi sampainya seorang manusia pada titik takwa setelah melewati perjuangan melawan nafsu hewani selama sebulan penuh berarti bahwa dia menjadi lebih adil, lebih beradab dan lebih bijaksana serta peduli dengan realitas sosial yang masih penuh dengan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat sebagai efek dari sistemsosial yang timpang dan jauh dari rasa keadilan.

Salah satu hal yang juga penting untuk diluruskan adalah tentang zakat, selayaknya zakat fitrah sebagai kewajiban yang harus ditunaikan sebelum lebaran selayaknya tidak dimaknai dengan begitu simbolik bahwa setelah mengeluarkan zakat maka seseorang sudah terbebas dari kewajiban dan tanggungjawab sosial atas penderitaan sesama. Karena kalau diperhatikan pada masa rasulullah dan para sahabatnya, zakat tidak pernah menjadi demikian istimewa dan jarang diperbincangkan.

Apalah arti zakat dalam merubah derajat kemiskinan dan penderitaan sesama bila dibandingkan dengan infaq dan sadakah? Muhammad SAW dengan para sahabatnya telah mencontohkan bahwa mereka begitu jarang membincang zakat karena bagi mereka zakat merupakan suatu keharusan. Yang seharusnya menjadi sebuah aksi sosial spektakuler adalah pengorbanan dalam bentuk infaq dan sadakah, dan ini yang belum begitu diberdayakan. Umat masih terjebak aspek-aspek formalitas dalam hal ini, lebih mengedepankan kewajiban zakat yang jumlahnya terbatas dibanding infaq dan sadakah yang justru lebih mampu menunjukkan tingkat keikhlasan dan kerelaan seseorang untuk berkorban.

Lebaran sebagai proklamasi untuk kembali, berarti komitmen untuk mengurusi sesama manusia dan bukannya terlena dalam jebakan ritualitas ibadah. Bentuk pengagungan asma Allah yang paling afdhol dalam lebaran adalah membuat-Nya diingat dan disebut dalam dzikir orang-orang duafa yang merasa bahwa kebesaran Allah tidak pernah meninggalkan mereka, tentu melalui tangan orang-orang yang telah melaksanakan puasa dengan sempurna.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama