Tubuhmu Bukan Milikmu; Eksplanasi Tubuh Di Mata Kaum Strukturalis

[06.04.2007] Perbincangan tentang tubuh merupakan perbincangan yang tak akan berakhir selama manusia masih menjadi makhluk yang bertubuh. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari begitu banyak ragam perbincangan tentang manusia, perbincangan tentang tubuhnya merupakan perbincangan yang paling kontroversial. Hal ini karena seringkali aspek yang paling dekat dengan kemanusiaan ini tidak mendapatkan proporsi yang memadai bahkan dianggap remeh-temeh, namun pada saat yang sama, tidak ada seorangpun yang berani hidup tanpa tubuh dan kebertubuhan.

Kalau dilakukan pelacakan secara lebih mendalam tentang tema kebertubuhan, akan terlihat jejak-jejak pembahasan tentang tubuh sejak jaman Yunani Kuna. Pada masa itu, ada tiga pandangan utama tentang tubuh yang mendominasi(1), pertama, aliran Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Kedua, aliran Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Ketiga, aliran Orpheus, mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengaruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.

Dalam alam pemikiran Yunani, terlihat bahwa tubuh mendapatkan perlakuan konseptual yang menyudutkan, tubuh ditempatkan lebih rendah dari mental. Hal berbeda nampak pada pemikiran Romawi, pada jaman ini tubuh tidak dipandang dengan negatif. Bahkan sebagian besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Tubuh telah mendapatkan tempat yang tak kalah terhormatnya dengan jiwa/mental.

Ide bahwa "tubuh adalah musuh" yang muncul secara radikal dalam masa Yunani Kuna mengalami pembalikan secara ekstrim pada masa Renaisans, pada jaman inilah digulirkan gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler. Pada masa renaisans yang kemudian melahirkan kehidupan modern memperlakukan tubuh dengan begitu eksplosif, tubuh dieksplorasi dan dimaksimalkan pemujaan atasnya, bahkan terkesan tubuh menjadi dieksploitasi dan bukannya dieksplorasi.

Meskipun para pemikir telah menjadikan tubuh sebagai obyek kajian sejak jaman Yunani Kuna, tetapi eksplorasi keilmuan atasnya baru mulai dilakukan secara serius pada tahun 1970-an, kajian tubuh mulai dilirik ketika bermunculannya buku-buku kajian tentang tubuh, yang dipelopori oleh Touching karya Ashley Montagu (1971) atau Social Aspects of the Human Body karya Ted Polhemus (1978).

Tapi sebagai sebuah kajian ilmiah yang sistematis dan menjadi populer, studi tubuh dimulai pada tahun 1980-an. Adalah Mary Douglas sebagai orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics)(2).

Namun yang paling menarik dari perkembangan studi tubuh hari ini adalah karena saat ini tubuh telah menggeser posisi jiwa sebagai titik pusat diri. Manusia modern telah mengangkat derajat dan menjadikan tubuhnya sebagai ranah yang paling pas untuk menjajakan dan mengiklankan diri. Tubuh telah menjelma menjadi tanda pengenal dan atribut paling mendasar bagi seorang pribadi. Pilihan ini dilakukan ketika manusia menyadari bahwa tubuh adalah bagian yang tak terpisahkan dari kediriannya.

Bahkan Nuraini Juliastuti(3) menyimpulkan bahwa pada hari ini tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Hal ini karena tubuh sebagai ajang kreasi dan aktualisasi diri, terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, bahkan dieksplorasi secara besar-besaran: tubuh didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu.

Membicarakan cara pandang manusia tentang tubuh dan kebertubuhannya tentu tidak lepas dari perspektif yang digunakan oleh seseorang dalam memandang, memperlakukan dan menempatkan tubuhnya sebagai bagian integral dan artefak yang urgen dalam bangunan kebudayaannya. Pemaknaan atas bangunan kebudayaan (termasuk tubuh didalammnya) dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kulturalisme, strukturalisme maupun pasca strukturalisme(4).

Tulisan ini berpretensi untuk mencoba menilik secara lebih dalam tentang kesimpulan-kesimpulan kaum strukturalisme dalam memandang tubuh dan kebertubuhan. Apalagi bila coba dikomparasikan dengan artikulasi kebertubuhan kontemporer yang begitu beraroma kulturalisme.

Strukturalisme; anti human agents
Strukturalisme sebagai sebuah pendekatan keilmuan yang menjadi populer dikalangan ilmuan Prancis sekitar era 1960-an, dimulai ketika Levi-Strauss mengadopsi pendekatan strukturalisme bahasa Ferdinand deSaussure kedalam antropologi kenbudayaan yang merupakan bidang keilmuannya. Levi-Strauss menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dan lain-lain(5).

Memang dalam perkembangannya strukturalisme kemudian merambah kedalam berbagai ranah, ketika dimulainya peminjaman strukturalisme bahasa Saussure kedalam strukturalisme antropologi kebudayaan Levi-Strauss, perjalanan panjang strukturalisme berawal. Muncul strukturalisme ideologi oleh Althusser, strukturalisme psikologi oleh Lacan, strukturalisme wacana-kuasa oleh Foucault dan strukturalisme mitos oleh Barthes. Strukturalisme muncul dari perkembangan yang bermacam-macam dalam pelbagai bidang kajian, namun sumber strukturalisme modern dan pertahanannya yang sangat kuat saat ini adalah linguistik(6).

Levi-Strauss sebagai pelopor penggunaan strukturalisme bahasa Saussure dalam kajian kebudayaan mengungkapkan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu sendiri. Material itu adalah relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya(7). Disamping saussure, ahli linguistik struktural lain yang juga mempengaruhinya adalah Roman Jakobson dan Nikolai Troubetzkoy.

Strukturalisme kebudayaan yang dipelopori oleh Levi-Strauss telah memberikan kerangka dan sistem penjelas bagi realitas kebudayaan yang nampak dipermukaan. Fenomena kebudayaan sebagai sesuatu yang material coba dibongkar dan dilacak landasannya yang tersembunyi, baik itu dalam bangunan alam bawah sadar maupun dalam konstruksi ideologi yang dianutnya.

Ketika strukturalisme linguistik diadopsi kedalam kajian-kajian kebudayaan, linguistik mengalami metamorfosis menjadi semiotika. Ketika ini terjadi, maka strukturalisme tidak hanya menganalisis bahasa melainkan juga sampai pada analisis tenteng sistem tanda dan sistem simbol, seperti ekspresi muka, bahasa tubuh, semua bentuk-bentuk komunikasi dan tentu saja semua elemen-elemen budaya(8). Namun meskipun demikian hakekatnya tidak mengalami perubahan, tetap mengacu pada semiotika Saussurean sebagai berikut(9):



Roland Barthes yang dipandang sebagai penemu semiotik sejati karena upaya seriusnya untuk mengembangkan ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial lebih suka menggunakan istilah semiologi yang menurutnya bertujuan untuk memahami sistem tanda apapun substansi dan limitnya; image, gestur, suara musik, objek, dan segala yang terkait dengan semuanya, yang membentuk isi ritual, hiburan konvensi atau publik: jadi ini merupakan, jika tidak bahasa-bahasa, sekurang-kurangnya sistem signifikansi(10).

Kelebihan semiologi Barthes karena semiologinya tidak berhenti pada kerangka kerja bahasa seagaimana yang dijelaskan oleh Saussure melainkan melakukan upaya untuk juga menilik struktur dibalik struktur yang telah dijelaskan oleh Saussure. Inilah yang membuat semiologi Barthes dikenal sebagai “a second order semiological system”, karena merupakan tahap kedua dari perkembangan sistem semiotika yang dikembangkan oleh Saussure.

Teori semiologi Barthes dikenal dengan teori mitos yang diartikan sebagai sistem tanda tingkat dua yang bersifat arbitrary dan unmotivated yang berfungsi untuk mendistorsi, mendeforomsi, menaturalisasi dan meng-historisasi(11). Atau sederhananya bila dilihat dari proses signification, mitos berarti menaturalisasikan konsep (maksud) yang historis dan meng-historis-kan sesuatu yang intensional(12). Berikut skema mitos(13) dalam perspektif Barthes.



Dalam analisis mistos Barthesian seperti ini, tidak hanya bahasa, bahkan pertandingan gulat juga merupakan praktik penandaan, sebagaimana siaran TV, fashion, memasak, dan segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari(14) dapat dianalisis dan dibedah untuk ditemukan jejaring struktur dibalik struktur permukaan yang mengkonstruksi dan menyusunnya. Hal ini diperkuat oleh Baudrillard dengan mengatakan bahwa obyek, pelayanan, tubuh, seks, kultur, ilmu pengetahuan, dan sebagainya diciptakan dan dipertukarkan(15), dikomunikasikan oleh satu struktur ke struktur yang lain.

Kerangka teoretik inilah yang akan digunakan untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya tubuh manusia yang begitu dekat dan tidak bisa dilepaskan dari kediriannya sesungguhnya bukanlah miliki dari manusia tersebut melainkan milik dari “struktur” bahkan milik “struktur dibalik struktur” yang mengkonstruksi kesadaran dan penghayatannya atas tubuh dan kebertubuhan yang dijalani dalam realitas kesejarahannya.

Kembalikan Tubuhku
Ketika kaum strukturalisme dengan begitu getol meneriakkan tentang bangunan struktur dasar yang melandasi bangunan sosial masyarakat, serta mengeliminir peran dan pengaruh human agents dalam mengkonstruksi makna kebudayaan. Terjadi titik balik kesadaran pada kalangan kulturalisme untuk lebih mengeksplorasi bagaimana manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya. Ketika menyadari akan begitu urgennya posisi tubuh dan kebertubuhannya dalam proses kehidupan sosial yang dijalaninya, manusia kemudian memanfaatkan dengan baik kebertubuhannya tersebut.

Bahkan dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, manusia modern menganggap tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, bahkan tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki(16).

Gejala ini mengarah kepada terbangunnya sebuah era subyektivisme tubuh. Manusia modern bergerak untuk mengambil alih penuh kendali atas tubuh dan kebertubuhannya, bahkan secara radikal mereka berani melakukan tindakan “perusakan” terhadap tubuhnya sebagai bentuk penegasan indentitas subyektifnya kepada orang lain. Hal ini terlihat dalam tindakan mendekorasi tubuh semisal tatto dan tindik di puting susu (nipple piercing), bahkan ada yang sampai melakukan tindik di hidung, lidah, bibir, alis, pusar, bahkan sampai pada alat kelaminnya (safety pins).

Aksi perlawanan untuk merebut makna kebertubuhan individual dari konstruksi massal kebertubuhan sosial banyak dilakukan oleh kelompok muda yang merasa risih dengan cara-cara lama memperlakukan tubuh yang dicontohkan oleh para pendahulu mereka. Mereka menyadari betul bahwa dengan membangun gaya yang berbeda dari orang lainlah maka mereka akan bisa mengambil jarak dan mengkonsumsi tubuhnya sendiri secara otentik.

Fenomena untuk tampil beda kaum modern sebagai bentuk penegasan identitas diri dan subyektivisme atas tubuh dan kebertubuhan, mendapatkan muaranya pada arus perkembangan fashion. Inilah era pemujaan, pemanjaan dan peremajaan atas tubuh sekaligus sebagai sebentuk perlawanan melalui fashion. Baudrillard(17) mengungkapkan bahwa fashion ini mengendalikan orang muda zaman sekarang, sebagai perlawanan bagi setiap bentuk perintah, perlawanan tanpa ideologi, tanpa tujuan.

Pandangan terakhir terhadap tubuh tidak lagi hanya mempersepsi tubuh sebagai sekedar pemberian Tuhan dan menjadi kendaraan bagi jiwa, malah secara radikal tubuh diperlakukan sebagai materi biasa belaka dan tal ubahnya seperti plastik dan bionik. Tubuh direkayasa, dibentuk, dan dimodel sedemikian rupa seenak hati, ditambah dan dikurangi seperti pemakaian alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga dan sebagainya. Ekspresi kebertubuhan semakin menjadi begitu privat dan berada dibawah kendali masing-masing individu atas tubuhnya.

Tapi ternyata, apa yang menjadi keyakinan dari kaum kulturalisme bahwa konstruksi tubuh merupakan hak penuh dari human agents, harus menghadapi realitas bahwa bangunan struktur yang mengkonstruksi manusia lebih kuat, sehingga human agents hanya ilusi yang dikonstruksi oleh bangunan struktur ideologi. Tokoh strukturalisme ideologi dari Prancis, Louis Althusser(19) mengemukakan bahwa ideologilah yang mangkonstruksi seorang individu merasa menjadi subyek.

Pendapat Althusser yang menunjukkan bahwa “realitas sudah dimediasi secara distorsif karena hanya ideologilah yang menjadi tempat dimana orang mengalami subyektivitasnya”, disetujui oleh Barthes, bahkan pencetus teori mitos (semiotika lapis kedua) ini mengembangkan teori bahwa mitos adalah “interpellant speech” tidak lepas dari pikiran Althusser bahwa ideologi adalah “interpellates individuals as subjects”. Barthes telah menjadi pelanjut Althusser dalam hal ini dan memang secara intelektual, Barthes adalah mahasiswa Althusser.

Dalam pemikiran Barthes, individu merupakan konstruksi ideologis yang dijalankan dengan mengkonsumsi mitos-mitos modern(20). Dalam pemikiran ini terlihat bahwa individu dengan tubuh dan kebertubuhannya bukanlah sesuatu yang bebas dan merdeka, melainkan diproduksi dan dikonstruksi melalui ideologi dan status sosial. Pemakaian alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, dan sebagainya merupakan konstruksi mitos bahwa pembentukan tubuh menjadi bahasa simbolik yang lahir dalam penampilan tubuh luar demi kebutuhan prestise dan identitas sosial. Tubuh, kebertubuhan dan pembentukan atas tubuh tidak pernah menjadi privat melainkan sosial.

Tindakan mendekorasi tubuh semisal tatto dan tindik di puting susu (nipple piercing), tindik di hidung, lidah, bibir, alis, pusar, bahkan sampai pada alat kelaminnya (safety pins) bukannya menunjukkan otentisitas identitas individu, justru menunjukkan adanya sebentuk penyeragaman diri yang efektif melalui peer group. Secara sangat satiris, Haraway(21) mengungkapkan, “diakhir abad duapuluh, waktu kita, waktu mitologis, kita semua adalah gagasan-gagasan yang tidak masuk akal, hibrida-hibrida yang diteorikan dan dibuat dari mesin dan organisme; secara singkat, kita semua adalah cyborg”.

Bahkan Mike Featherstone (dalam bukunya "The Body in Consumer Culture" [1982]) menyebutkan bahwa dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik(22). Inilah mitos tentang tubuh yang dibangun oleh masyarakat konsumen, tubuh yang muda, sehat, bugar, dan menariklah yang menjadi tubuh ideal. Persepsi ini dikonstruksi melalui jejaring tanda dalam dandanan untuk citra visual. Iklan dan Industri film adalah pelaku utama dalam konstruksi citra yang sedemikian dan semua citraan itu dipasarkan dalam bentuk fashion oleh majalah, televisi, film dan pusat pertunjukan yang oleh Barthes disebutnya sebagai mythological treasure.

Dalam mitos (berasal dari bahasa Yuniani mutos, berarti cerita), terjadi proses naturalilasi sesuatu yang tidak natural (historis). Melakukan dekorasi tubuh melalui tatto dan tindik di puting susu (nipple piercing), tindik di hidung, lidah, bibir, alis, pusar, bahkan sampai pada alat kelamin (safety pins) menjadi sesuatu yang alamiah (padahal sesungguhnya tidak demikian). Bahkan mereka yang tidak melakukan itulah yang kemudian dianggap bermasalah dan tidak natural. Lalu kebenaran seperti ini muncul dari mana? Semua berasal dari mitos! Demikian Barthes menanggapi.

Lalu dimana kebebasan dan kemerdekaan seorang human agents dalam memperlakukan tubuh dan mengkonstruksi kebertubuhannya? Tidak ada! Karena sebagaimana Althusser sang guru, Barthes percaya bahwa pengetahuan kita akan lingkungan dan diri kita tidak lain adalah sebuah misrecognition yang diakibatkan oleh belukar mitos dan orang modernpun dikerubuti jejalan mitos; orang modern menjadi produsen dan sekaligus konsumen mitos. Kalau subyek adalah hasil kesediaan individu diinterpelasi ideologi atau berbicara dengan menggunakan interpellant speech, yaitu mitos, ini berarti nilai subyektivitas seseorang diabaikan(23). Manusia hidup dengan tubuh dan kebertubuhan yang difahaminya dari penjelasan mitos tentang itu.Tak lebih!

(1) Lazuardi. Luna, Studi Tubuh, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(2) Lazuardi. Luna, ibid, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(3) Juliastuti. Nuraini, Tubuh yang Mendua, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(4) Kulturalisme menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah, hal ini nampak dalam pemikiran Raymond Williams Richard Hoggart dan E.P. Thompson. Strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents), tokoh yang bisa disebut adalah Ferdinand deSaussure Claude Levi-Strauss, Roland Barthes. Sama seperti strukturalisme, pascastrukturalisme juga bersifat antihumanis, perbedaannya terletak pada kepercayaan kaum strukturalisme tentang kestabilan makna yang diorganisisr secara internal melalui oposisi biner. Kestabilan makna inilah yang digugat oleh kaum pascastrukturalisme. Tokoh yang menonjol adalah Jacques Derrida dan Michel Fouchault.
(5) Antariksa, Kulturalisme versus Strukturalisme, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(6) Ritzer. George, Teori Sosial Posmodern, Kreasi Wacana dan Juxtapose, Yogyakarta, Cet. 3, September 2005, hal. 52
(7) Levi-Strauss. Claude, A Structural Anthropology, Basic Books, New York, 1963, hal. 68-69
(8) Ritzer. George, op.cit, hal. 53
(9) Budiman. Kris, Membaca Mitos Bersama Roland Barthes, dalam Kris Budiman (penyunting) Analisis Wacana Dati Libguistik Sampai Dekonstruksi, Yogyakarta, Kanal, Desember 2002, cet. I, hal. 84-93. Lihat juga Ahimsa-Putra. Heddy Shri, Strukturalisme Levi-Strauss; Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta, Galang Press, Cet. 2, Oktober 2004, hal. 34-52.
Pertama, Secara sederhana langue difahami sebagai aspek sosial dari sebuah bahasa, aspek inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antara manusia karena langue ini dimiliki bersama (langue adalah sistem ke-tatabahasa-an). Sementara itu, parole adalah penggunaan aktual bahasa sebagai tindakan individu-individu, ini berarti bahwa parole adalah apa yang yang diucapkan oleh seseorang ketika menyampaikan pesan dan melakukan komunikasi melalui pilihan-pilihan simbolik yang disiapkan oleh langue sebagai sistemnya.
Kedua, Pendekatan sinkronik adalah pendekatan analisa bahasa yang menganalisis sebuah kata dengan melihat arus historisitas yang melingkupi perjalanan sebuah kata dan maknanya. Sementara itu pendekatan diakronik lebih melihat keterkaitan sebuah kata dengan realitas hidtorisnya dimana kata tersebut dituturkan.
Ketiga, Hubungan Sintagmatik adalah hubungan yang dimiliki antara sebuah kata dengan kata lain yang dapat berada didepan atau dibelakangnya dalam sebuah kalimat. Hubungan Paradigmatik adalah hubungan yang dimiliki antara sebuah kata dengan kata yang lain yang memiliki hubungan-hubungan esensial yang berada diluar hubungan sintagmatik.
Keempat, Penanda (signifier) adalah aspek material (seperti suara, rangkaian hurup) dari sebuah tanda sementara Petanda (signified) adalah aspek mentalnya (konsep).
(10) Barthes. Roland, Element Of Semiologi, Hill and Wang, New York, 1964/1967, hal. 9
(11) Sunardi. ST, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta, 2002, hal. 119
(12) Sunardi. ST, ibid, hal. 113
(13) Budiman. Kris, op.cit, Desember 2002, hal. 95.
(14) Dalam skema pada lapisan pertama, terlihat bahwa ‘1. Signifier (Penanda)’ berhubungan dengan ‘2. Signified (Petanda)’ sehingga menghasilkan ‘3. Sign (Tanda)’, inilah yang dikenal sebagai signifikansi, yang pada gilirannya menghasilkan makna denotatif. pada tataran inilah semiotika De Saussure bekerja.
Proses selanjutnya, tanda-tanda pada tahap pertama, yaitu ‘3. Sign (Tanda)’ menjadi sekedar penanda-penanda ‘I. SIGNIFIER (PENANDA)’ yang berhubungan dengan petanda-petanda ‘II. SIGNIFIED (PETANDA)’ pada tahap kedua, inilah signifikansi tahap kedua yang menghasilkan makna konotasi. Pada tataran inilah mitos Barthes bersemayam dalam bentuk ‘III. SIGN (TANDA)’.
‘I. SIGNIFIER (PENANDA)’ ditahap kedua yang merupakan penanda-penanda semiotika tahap pertama disebut oleh Barthes sebagai retorik atau konotator-konotator dan ‘II. SIGNIFIED (PETANDA)’ atau petanda-petanda tahap kedua disebutnya sebagai ideologi. Perpaduan keduanyalah yang memproduksi mitos-mitos.
(15) Lash. Scott, Pengantar dalam S. Lash (ed.) Post Structuralist and Post Modernist Socioligy, Edwar Elgar Publishing Limited, Aldershot England, 1991, hal. Xi
(16) Baudrillard. Jean, For a Critique of the Political Economy of the Sign, Telos Press, United States, 1972/1981, hal. 147-1487
(17) Lazuardi. Luna, op.cit, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(18) Baudrillard. Jean, Symbolic Exchange and Death, Sage, London, 1976/1993, hal. 98
(19) Althusser. Louis, Essays on Ideology, Verso, London, 1984, hal. 1-60. ini juga dijelaskan oleh Althusser dalam Ideological State Apparatuses, dalam buku ini Althusser mengajukan tiga tesis yang terkait dengan ideologi, yaitu:
Pertama, Ideology represent the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existenc
Kedua, Ideology has a material existence
Ketiga, Ideology interpellates individual as subjects
(20) Sunardi. ST, ibid, hal. 149
(21) Haraway. Donna, A Manifesto for Cyborgs; Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s dalam L. Nicholson (ed.) Feminism/Postmodernism, Routledge, London, 1990, hal. 191.
Cyborg adalah sebuah makhluk dari fiksi ilmiah (dibawah naungan patafisika Baudrillard), ia juga makhluk-makhluk dunia sosial yang semakin bertambah. Sebagai contoh dalam ilmu kedokteran, ada contoh-contoh manusia hibrida yang tak terkira banyaknya –mereka yang hidup dengan jantung buatan, lengan atau tungkai buatan, dan pinggul buatan, untuk menyebutkan sedikit saja. Lihat Ritzer. George, op.cit, hal. 320.
(22) Lazuardi. Luna, ibid, http://www.kunci.or.id, 15 Januari 2003
(23) Sunardi. ST, ibid, hal. 149

1 Komentar

  1. Anonim8:00 AM

    tulisan bagus....
    tubuh hanyalah kendaraan jiwa...:P
    dan punya ketergantungan tinggi terhadap jiwa...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama