Menguak Tabir Tuhan, Agama dan Spiritualitas Dibalik Jubah Kemanusiaan


agama adalah cara manusia untuk memahami dunia,
tetapi dunia yang kita alami sekarang adalah
sebuah dunia yang makin sulit untuk difahami
--Robert N. Bellah

Belukar sejarah penuh dengan keanehan dan misteri, dimana manusia menemukan dirinya terlempar kedalamnya tanpa bisa menolak keberadaannya. Manusia terbelit selaksa faksitas-faksitas yang begitu mengekang dan mengikatnya. Usaha besar membebaskan diri dari beragam faksitas tersebut hampir-hampir dikatakan telah gagal. Kegagalan besar itu telah membangun kesadaran baru pada diri manusia dengan menjelmakan dan bahkan menggeser upaya seriusnya itu menjadi ikhtiar mencari pembenaran atas ikatan-ikatan tersebut.

Ikhtiar kultural manusia untuk mengatasi probem eksistensialnya tersebut telah melahirkan berbagai macam konsep kebenaran yang kemudian di klaim mampu menyelamatkan muka kemanusiaan di hadapan realitas yang begitu memerangkap. Bahkan klaim kebenaran (truth claim) ini telah mengejawantah dalam wujud klaim keselamatan (salvation claim) yang dengannya manusia berani untuk saling mencaci, memaki bahkan membunuh sesamanya. Sebuah kondisi yang sesungguhnya lebih tidak manusiawi.
Klaim kebenaran itu hadir dalam konsep tentang Tuhan, Agama dan Spiritualitas. Dengan konsep inilah manusia mencoba merajut wajah kemanusiaannya, dan dengannya manusia mencoba membuai kekhawatiran tentang eksistensinya lewat sesuatu yang diterimanya secara mutlak sebagai kebenaran apriori. Ini semua demi menemukan jawaban pasti tentang tanya “Siapa, Apa, Darimana dan Untuk apa Aku”.

Tuhan; Kerinduan Purba Pada Sang Ayah

                Pergulatan manusia sepanjang sejarahnya membuat manusia merasa bahwa betapa besar dan betapa banyak hal-hal yang tidak mungkin terjangkau oleh kemanusiaannya. Sungguh, keterasingan yang menimpa keterjatuhan manusia kebumi telah menimbulkan ketakutan eksistensial yang tak terbantahkan. Jadilah sejarah kemanusiaan sebagai serentetan upaya manusia untuk mengatasi hal tersebut. Diantara sekian banyak upaya manusia, terumuskanlah Tuhan sebagai kata kunci atas segala problem tersebut.
                Semua kegagalan manusia dalam mengurai benang kusut realitas, dijawabnya dengan mengkambinghitamkan Tuhan sebagai realitas yang di persepsi lebih berkuasa dan lebih hebat di banding manusia dan segala sesuatu yang ada. Tuhan menjadi justifikasi dan pil penenang untuk menjaga perasaan manusia dari deraan rasa kecewa atas kegagalan dan ketidakmampuan yang di alaminya. Tuhan menjadi tempat menggadaikan kemanusiaan dengan begitu murah.
                Dengan adanya Tuhan, manusia akan merasa tak pantas bersedih atas kegagalan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tuhan di persepsi sebagai Sang Penguasa yang serba “wah” dengan berbagai predikat yang begitu hebatnya. Celakanya, kebertuhanan seperti ini tidak hanya melanda konsep ketuhanan tertentu, melainkan semua konsep kebertuhanan yang di miliki manusia, baik berdasarkan agama maupun filsafat, semuanya mempersepsi Tuhan seperti itu. Sehingga pantaslah Friedrich “Zaratustra” Nietzsche memproklamirkan Tuhan telah mati, demi penyelamatan kemanusiaan.
                Tuhan menjadi bukti nyata kerinduan purba manusia pada sang ayah sebagaimana dengungan Sigmund Freud, Tuhan menjadi saksi bahwa manusia adalah mahluk yang terlahir prematur dan tak pernah menjadi dewasa, ia senantiasa terperangkap pada sindrom Oedipus Compleks yang akut. Manusia senantiasa teralienasi dari kemanusiaan yang sesungguhnya, hal ini karena manusia disibukkan dengan upayanya menyerahkan kemampuan dasariahnya sebagai manusia kepada konsep yang diciptakannya sendiri yang kemudian di gelarinya Tuhan. Tuhan adalah gambaran berhala yang paling nyata bagi sejarah kemanusiaan.
                Olehnya itu, keberanian untuk kembali mencoba menganalisis secara lebih berani perbincangan tentang Tuhan, akan semakin menarik, apalagi evolusi Tuhan sebagai konsep yang di produksi manusia telah mengalami perjalanan yang penuh kelok dan liku. Erich Fromm pernah berucap bahwa :
Mengikuti gagasan yang makin matang tentang monoteisme serta konsekuensi-konsekuensinya akan mengarahkan pada satu kesimpulan, yaitu untuk tidak menyebut nama Tuhan sama sekali; tidak berbicara tentang Tuhan. Dengan demikian Tuhan menjadi apa yang memang Ia menjadi –sesuatu yang tak bernama, suatu kegagapan yang tak bisa diungkapkan mengenai kesatuan yang mendasari seluruh alam semesta yang tampak, dasar segala eksistensi. Tuhan menjadi kebenaran, cinta, keadilan. Tuhan adalah kita sejauh kita benar-benar manusiawi[1]

Agama; Kegilaan Akan Kebenaran
                Satu konsep lagi yang menjadi teman Tuhan sebagai jawaban manusia atas kegelisahan eksistensial yang menimpanya adalah Agama. Sebuah konsep yang memuat segepok apriori tentang berbagai hal yang akan menenangkan manusia dari kegelisahannya. Biasanya, agama tidak dapat di pisahkan dari konsep Tuhan, bahkan kebenaran dan kesahihannya di tentukan dengan Tuhan seperti apa agama itu bersumber.
                Sebagai sebuah konsep, agama memiliki posisi yang begitu lucu dalam kehidupan manusia, sebab manusia mencoba memberi posisi istimewa terhadap agama, padahal agama mau tidak mau, harus di akui bahwa dia hanyalah sebuah konstruksi kultur. Agama adalah budaya, bukan yang lain. Ia adalah anak kandung kemanusiaan, sehingga sebenarnya agama tidaklah memiliki sesuatu yang istimewa, sehingga sangatlah tidak pantas kalau ada upaya untuk mengistimewakan konstruksi agama tertentu.
                Klaim kebenaran (truth claim) terhadap konsep ketuhanan tertentu kemudian di terjemahkan menjadi klaim keselamatan (salvation claim) dalam agama tertentu. Agama menjelma menjadi kebenaran universal yang tidak boleh di ganggu gugat. Agama menjadi bahtera kehidupan yang akan menyelamatkan manusia di tengah gelombang ketidakpastian. Agama adalah wadah bagi mengejawantahnya kebenaran universal. Sebuah kebenaran universal --menurut Nirwan Ahmad Arsuka—yang bisa dengan enteng dirumuskan dan membungkam tawa manusia, tampaknya memang adalah kebenaran yang mengandung rasa anti kehidupan, kebenaran yang sanggup menumpulkan rasa gentar manusia untuk menghancurkan dirinya dan seluruh dunia beserta segala hal indah yang dapat muncul darinya[2].
                Yah, agama hanyalah bahan tertawaan demi mengungkapkan cinta pada kemanusiaan dan menyelamatkannya dari bangunan alienasi kemanusiaan yang begitu akut pada diktum absolutisme dan universalisme kebanaran agama. Sungguh sangat pantas apa yang di anjurkan oleh Umberto Eco, lewat mulut William Baskerville (tokoh utama novel The Name Of Rose) bahwa :
Barangkali misi mereka yang mencintai manusia adalah membuat manusia tertawa pada kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, karena satu-satunya kebenaran terletak dalam upaya belajar membebaskan diri kita dari gelora sinting pada kebenaran[3]
Spiritualitas; Kehendak Akan Kebermaknaan Hidup
                Semasa hidupnya, setelah menyatakan kematian Tuhan, Friedrich Nietzsche mengajukan konsepnya tentang manusia super. Manusia sesungguhnya menurut Nietzsche pada hakekatnya adalah kehendak. Kehidupan manusia di jalankan oleh sebuah mesin kehendak, yang dengannya manusia berani menjalani belantara dan jejaring makna yang membelitnya. Dengan kehendak, manusia super melakukan pilihan apakah akan menghabiskan waktunya untuk mengurai benang kusut realitas yang seakan tak berujung pangkal ataukah akan memotongnya dengan cepat.
                Kebebasan berkehendak yang menjadi modal dasar kemanusiaan versi Nietzsche ini kemudian menjadi dasar setiap pembahasan psikologi mulai dari Freud, Adler, Jung sampai Frankl. Seperti dikatakan oleh Viktor Frankl bahwa modal utama dan pertama manusia adalah kebebasan berkehendak (the freedom of will)[4]. Dari kebebasan berkehendaklah lahir berbagai macam model kehendak yang mendasari tindakan manusia.
                Frankl mengungkapkan bahwa dalam sejarah, kebebasan berkehendak sebagai modus operandi hidup telah melahirkan the will to pleasure (Sigmund Freud) dan the will to power (Alfred Adler)[5]. Freud mengklaim bahwa kehendak paling mendasar pada diri manusia adalah kehendak untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, sementara Adler mengklaim bahwa manusia bertindak berdasarkan pada kehendak untuk mendapatkan kekuasaan.
                Namun menurut Frankl yang dikenal sebagai The Third Viennese School of Psychotherapy, yang paling dasar adalah kehendak untuk mencapai hidup yang bermakna yang akan di temukan dalam hidup itu sendiri. Menurutnya, kesenangan dan kenikmatan hanyalah efek samping dari tercapainya makna hidup dan kekuasaan hanyalah kendaraan atau sarana untuk mencapai makna hidup yang di cari[6]. Kehendak untuk memperoleh makna hidup yang menjadi inti dari pikiran Frankl kemudian memberi ruang bagi masuknya penjelasan spiritualitas dalam wilayah psikologi.
Sebenarnya, kalau di perhatikan secara seksama, maka akan muncul satu benang merah antara ketiga bangunan kehendak manusia baik versi Freud, Adler maupun Frankl. Ketiganya sedang berbicara dalam logika kehendak Nietzsche yang sebenarnya memuat sebuah kuasa secara inhern di dalamnya. Sebuah kuasa dan nafsu untuk mengatasi ketakutan-ketakutan eksistensial yang malah memperjelas bahwa semuanya hanyalah produksi dari ketakutan yang tidak beralasan. Kehendak Nietzschean mencoba menutupi ketakutan kemanusiaan dengan topeng kesombongan kehendak.
Kondisi inipun berlanjut pada kehendak untuk menemukan makna hidup Frankl yang memberi justifikasi ilmiah dan sepertinya manusiawi bila manusia memilih Tuhan dan konsep agama sebagai solusi eksistensial kemanusiaan. Hasrat Frankl tak jauh berbeda dengan para pembela Tuhan dan para pemegang panji keagamaan, mereka setali tiga uang meskipun Frankl menyangkalnya dengan menyatakan bahwa Logotherapy menawarkan konsep spiritual yang bersifat sekuler.
Begitulah wajah kemanusiaan, wajah yang di telikung oleh upaya manusia sendiri untuk mengungkap rahasia terdalamnya, namun ternyata kemanusiaan itu harus pula di telikung sendiri oleh rahasia kehidupan yang berhasil di singkapnya. Seperti keyakinan Umberto Eco, ternyata imajinasi manusia ternyata lebih kreatif dari manusia sendiri.

Kemanusiaan; Serpihan Ketakutan

                Semua upaya manusia untuk mempertahankan kemanusiaan dengan mempertaruhkan kemanusiaan itu sendiri, telah membuat mata kita bisa melihat dengan lebih jernih bahwa kemanusiaan tidaklah lebih dari bangunan ego kerdil yang senantiasa di hantui oleh ketakutan yang tidak beralasan. Manusia mengkonsepsi Tuhan, membela Agama dan memproklamirkan manusia spiritualis, tidaklah lebih dari sebentuk usaha untuk menutupi ketakutan-ketakutannya.
                Manusia takut (atau malah menakut-nakuti diri) dengan berbagai macam “halusinasi” yang membuatnya harus taat pada aturan Tuhan dan tunduk pada ajaran agama agar mendapat gelar makhluk spiritual. Betulkah ketidak bermaknaan hidup merupakan sebuah hal yang menakutkan ? Benarkah penghayatan tanpa makna (meaningless) atas hidup ini akan menimbulkan Frustasi Eksistensial (existencial frustation) bahkan kehampaan eksistensial (existencial vacuum) yang berujung pada kebosanan (boredom) dan apatis (apathy) ?
                Betulkan semua itu hal yang menakutkan, ataukah kehendak manusia saja yang begitu bernafsu mau menjelaskan segalanya. Bukankah kehampaan dan nihilitas bisa menjadi sesuatu yang begitu menarik ? Mengapa kita begitu memaksa diri untuk bertanya tentang segala dan menemukan sebuah penjelasan yang benar secara universal terhadapnya.
                Dengan begitu satire Antoine de Saint Exupéry pernah mengatakan orang-orang dewasa selalu mengharapkan penjelasan tentang segala hal[7]. Tidak bisakah kita menghadapi hidup ini dengan begitu sederhana sebagaimana layaknya anak kecil ? Tanpa harus bertengkar dan sampai saling membunuh hanya karena berbeda nama Tuhan dan berbeda agama ? Yah, mari kita berteriak “hidup anak kecil” dan menertawakan para orang dewasa yang terpenjara gelora sinting pada kebenaran.
                Dan lihatlah, betapa orang-orang dewasa tidak akan sepakat dengan ajakan ini, mereka telah berteriak jauh-jauh hari memperingatkan sesama orang dewasa, sambil mencemooh para anak-anak dengan bernyanyi bersama Santana, “Apa yang harus kita lakukan terhadap para pemimpi yang melihat dunia dengan cara yang kita tidak pernah tahu, yang telah menemukan tempat yang menakjubkan, dimana hanya kanak-kanak yang menyambanginya”

Kian banyak yang lewat, kian banyak jiwa yang percaya,
maka yang tadinya tak ada akan menjadi ada,
dan akan terus memperkukuh adanya dalam kenyataan.
alangkah sedih memang bila kebenaran dan kepastian itu
kemudian menjadi jurang atau benteng tertutup
yang tak terlintasi oleh harapan dan keceriaan hidup
--Lu Xun--.



[1]     Fromm, E. The Art Of Loving. Fresh Book, Jakarta 2002. hal 116
[2]     Arsuka, N.A. Taman Gagasan Umberto Eco. Artikel. Kompas,
[3]     ibid.
[4]     Frankl, V. The Philosophical Foundations Of Logotherapy, dalam Psycotherapy and Existencialism. Penguin   Books. 1973. hal 25 
[5]     Frankl. V. Aerzliche Seelsorge, 1946, di terbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Doctor and The Soul, Alfred A. Knopit, Inc. 1955
[6]     Frankl, V. The Will to Meaning, Foundation and applications Of Logotherapy. New American Library, 1970. hal. 35   
[7]    Saint-Exupery, A. Pangeran Kecil. Jendela. Yogyakarta. Maret 2003. Cet 1 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama