Orkestrasi Kehidupan; Membangun Peradaban Berbasis Seni

[04.04.2007] Melodi Sumbang; Wajah Peradaban Manusia
Hidup adalah aliran air yang tak pernah berhenti, bahkan alirannya lebih gila dari aliran air di sungai yang pernah kita saksikan dan kita kenal. Hal ini karena dalam sungai yang ril dapat kita saksikan air mengalir hanya dari tempat yang tinggi menuju kearah yang lebih renda, sementara hidup adalah aliran air yang gila, tak mengenal tinggi maupun rendah, dia penuh dengan pergolakan dan gejolak yang terus mengalir, panta rei, demikian Heraklitos memberinya nama.

Dalam kehidupannya, manusia menjalin sebuah bangunan kebiasaan yang dikonstruksi untuk mengisi hidup ini yang dikenal sebagai budaya. Dalam kebudayaan yang dikonstruksinyalah, manusia menitipkan harapan, menghalau kecemasan dan menggiring ketakutan kejurang peminggiran. Ini semua dilakukannya agar kebudayaan mampu membuat hidup menjadi menggairahkan, menyenangkan dan merangsang manusia untuk menikmatinya.
Kebudayaan yang diolah dengan keseriusan dan kesungguhan yang sangat, akan mengkristal menjadi menjadi bangunan cahaya kecemerlangan yang disebut peradaban. Peradaban menjadi titik-titik tertinggi pencapaian hasil budaya sebagai ekpresi akal budi manusia dalam membangun hidup yang menggairahkan dan menyenangkan. Peradaban menjadi fase-fase akumulatif kecerdasan kultural kemanusiaan.
Dalam sejarahnya, kita mengenal beberapa peradaban besar yang pernah menghiasi dunia kemanusiaan. Peradaban yang satu hadir untuk mengadakan revisi, pembaharuan, penyempurnaan bahkan secara radikal mengganti supremasi dan hegemoni peradaban sebelumnya. Kemunduran Yunani membangkitkan Romawi, penurunan Romawi menaikkan peradaban Islam, keruntuhan Islam menegakkan peradaban Barat-Modern.
Bangunan peradaban yang pernah ada, telah menunjukkan secara gamblang kepada kita generasi belakangan bahwa silih bergantinya peradaban merupakan hasil dari dialektika yang tajam antar berbagai asumsi dasar tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Namun yang tidak boleh terlupa, semua peradaban berupaya untuk membangun dirinya diatas pondasi defenisinya tentang kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.
Perbedaan mendasar pada setiap bangunan peradaban dalam mendefenisikan tentang Tuhan, manusia dan alam semesta, berimplikasi pada pilihan nilai seperti apa yang menjadi batu pijakan peradaban itu berdiri. Ada peradaban yang dibangun dan didirikan diatas kekokohan, filsafat, yang lain didirikan diatas pondasi agama, satunya lagi menggunakan sains, dan yang lain mencoba menggunakan seni.
Perbincangan tentang penggunaan seni (terutama seni sastra) sebagai basis peradaban mungkin masih teramat riskan, hal ini karena dalam pengalaman pada peradaban sebelumnya, seni hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap dan pelengkap hidangan kehidupan. Memang kehadiran seni dalam peradaban akan selalu di butuhkan, namun keberanian untuk kemudian menjadikannya sebagai pondasi peradaban, sebagian besar manusia masih sanksi.
Padahal keberanian untuk mencoba adalah kunci dari segalanya. Dari pengalaman-pengalaman pada peradaban sebelumnya, dapat disaksikan bagaimana pertarungan kekuatan basis peradaban, semisal antara agama dan sains, agama dengan filsafat, maupun sains dengan filsafat, yang pasti seni seringkali hanya menjadi korban, baik sebagaikorban dalam makna di gilas oleh pertarungan kedua kelompok besar tersebut, ataukan seni menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh kedua kelompok.
Melihat realitas ini, seharusnya ada sebuah sentakan kesadaran yang dirasakan oleh kemanusiaan kita, yang pertama, ikhtiar untuk memperlakukan seni secara lebih adil, bahwa filsafat, agama dan sains, tidaklah lebih bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Kedua, keberanian untuk mencoba menempatkan seni sebagai basis peradaban baru yang sedang dirintis demi perbaikan hidup dan kehidupan.

Nada-nada Kaku; Inkuisisi Estetika
Sebenarnya, ikhtiar untuk memperlakukan seni secara lebih adil memang sangat memungkinkan, apabila kita mencoba melihat dengan lebih jernih peran-peran yang telah diambil oleh seni dalam bidang kehidupan selama peradaban berlangsung, sebagaimana diungkapkan oleh Gus Dur;

“sensualitas dan naluri erotik adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni mau tidak mau harus “merekam”-nya sebagai ekspresi visual”[1]
Dengan seni, kehadiran sebuah peradaban menjadi begitu ramai dan semarak, pertunjukan-pertunjukan teater mewarnai peradaban Yunani dan Romawi, pertunjukan tarian dan sandiwara sangat memberi nuansa pada peradaban Islam. Bahkan film dan musik menjadi bisnis yang sangat besar pada peradaban Barat-Modern hari ini. Namun, sekali lagi harus dicatat, kehadiran seni hanya menjadi bumbu penyedap dan pelengkap, padahal seni bisa diperlakukan lebih dari sekedar itu.
Peradaban sebelumnya hadir dalam wajah yang sangar dan menyeramkan, kaku dan keras. Olehnya kehadiran seni bisa membasuh kegersangan estetis yang melanda manusia yang hidup dalam peradaban demikian. Upaya yang lebih besar adalah mendorong seni menjadi basis peradaban sehingga peradaban bisa lebih harmoni, estetis dan merangsang proses ‘mengalami’ dan ‘menikmati’. Karena selayaknya kehidupan manusia sudah bergeser dari sekedar ‘meaning’ menjadi ‘pleasure’, demikian Barthes.
                Posisi seni memang begitu strategis, cuma keberanian untuk menempatkannya seperti itu yang belum ada. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa seni mampu meruntuhkan mitos, dimana mitos merupakan abstraksi dari yang konkrit sementara seni membalikkan keadaan ini, karena seni justru merupakan upaya konkretisasi dari yang abstrak[2]. Jadi senyatanya seni mampu menjawab kebutuhan manusia dalam membangun sebuah peradaban yang berbasis seni, karena seni tidak hanya mampu menjadi ruang ekspresi-abstraksi namun sekaligus mampu menjadi sarana aktualisasi-konkretisasi.          
Namun, hari ini hambatan terbesar dalam mendorong seni menjadi sebuah basis peradaban yang begitu berperan adalah agama terutama Islam. Gus Dur mensinyalir bahwa

“...padahal visualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam”[3]

lebih lanjut K.H. Abdurrahman Wahid[4], menguraikan, ada dua aspek penting yang selama ini kurang diperhatikan dalam berbincang tentang hubungan antara Islam dan seni, yaitu :
1.        belum jelasnya pembagian wilayah antara seni dan agama dalam Islam, termasuk “pembidangan” antara wilayah kesenian Islam dan kesenian bukan Islam
2.        kaitan antara ajaran Islam disatu pihak dan pandangannya tentang seni di pihak yang lain.
Kalau keberanian mendorong seni sebagai basis peradaban terhambat oleh halangan agama, maka selayaknya, yang harus dirumuskan adalah sebuah bangunan agama seni. Model keberagamaan yang agak nyeni. Dan hal ini dimungkinkan bila kita berani memberi ruang otonom bagi seni untuk mengembangkan dirinya dan tidak terpenjara oleh dogma-dogma agama yang mengikat dengan ketat.
Bahkan ada sebuah ungkapan menarik dari ‘Alija ‘Ali Izetbegovic[5] bahwa “agama, moralitas, dan seni berasal dari cabang genealogis yang mencuat dari tindak penciptaan”. Hal ini sebenarnya hampir senada dengan apa yang diungkapkan oleh Gus Dur, sehingga otonomisasi seni menjadi hal yang tidak perlu ditakuti.

“. . . pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam analisa terakhir tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan kebenaran Allah, karena Ia-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi ekspresi seni”[6]

Harmoni Rasa; Mencipta Orkestra
Membangun peradaban berbasis seni, dapat dilakuka dengan mencoba melakukan orkestrasi kehidupan. Orkestrasi kehidupan dimaksudkan sebagai sebuah cara pandang terhadap kehidupan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang indah dan megasyikkan karenakehidupan itu penuh dengan nada dan suara yang mengalun syahdu. Bahkan lebih jauh dari itu, ‘Alija ‘Ali Izetbegovic mengatakan,

“seni adalah sebuah pesan sakral, sebuah kesaksian melawan keterbatasan dan relativitas manusia, sebuah berita tentang tatanan kosmis benda-benda, atau singkatnya, sebuah perspektif kosmis yang merupakan satu keutuhan dan disetiap sudutnya menentang pandangan semesta materialistik tanpa Tuhan”.[7]

                Dengan terbangunnya cara pandang bahwa kehidupan adalah seni, maka hidup akan penuh dengan proses ‘mengalami’ dan menikmati. Sekaranglah lahirnya zaman ‘pleasure’. Kanikmatan tidak lagi hanya terletak pada saat terjadinya ledakan dititik bifurkasi[8], malainkan terletak pada saat atraktor asing (strange attractor)[9] melahirkan loop positif yang senantiasa mengamplifikasi ketegangan. Dengan cara pandang seperti ini, maka kamatianpun yang selama ini dipandang sebagai sebuah kejadian yang menyakitkan akan menjadi begitu erotis, demikian Foucault membahasakanya.
                Dengan terjadinya proses orkestrasi kehidupan, maka kehidupan menjadi demikian erotis (namun harap dicamkan bahwa erotisme disini tidak bermakna yang melulu biologis) dan estetis. Bahkan, kembali meminjam bahas ‘Alija ‘Ali Izetbegovic[10], beliau mengatakan bahwa

“Esensi karya seni sama gaibnya dengan konsep kesalehan atau perasaan kemerdekaan batin, dan semua usaha untuk menentukan hal tersebut secara rasional telah mengalami kegagalan sebagaimana dialami oleh usaha-usaha untuk mendefenisikan kehidupan”.

Secara historis, telah diulas diawal bahwa dalam peradaban yang pernah hadir di pentas kehidupan manusia, semuanya tetap memberi ruang kepada seni, namun hanya sebagai bumbu penyedap dan pelengkap belaka. Padahal selayaknya dimunculkan semodel bangunan peradaban berbasis seni yang memberi ruang artikulasi pada kenikmatan dalam mengalami proses kehidupan secara erotis dan estetis.
Hidup ini hanyalah susunan dari bangunan-bangunan indeks, ikon dan simbol yang butuh interpretasi dan eksplanasi. Agar interpretasi dan eksplanasi yang diberikan tidak terjebak pada kekakuan dan kebakuan makna, maka sangat dibutuhkan seuha cara pandang yang agak nyeni atau sebuah cara baca atas realitas dengan agak ngesastra. Dalam cara pandang ini, maka kemungkinan besar kita akan menemukan sebuah ketakterdugaan besar. Kita akan merasakan sebuah kenikmatan yang belum pernah kita khayalkan bahkan mungkin dalam imajinasi kita yang paling sublim sekalipun.
Seperti ungkapan Dewi Lestari, segalanya terjadi tak terduga-duga. Hanya ada satu yang pasti dalam hidup, yaitu ketidakpastian. Hanya satu yang patut anda harapkan datang, yaitu yang tidak diarapkan. Berhenti memilah antara apa yang diinginkan dan tidak, lalu stganasi hanya karena anda berkeras atas sesuatu yang sebenarnya harus berubah. Berhenti juga menilai baik-buruk dari apapun. Bukan untuk itu anda hidup. Anda adalah pengamat dan penikmat. Bukan hakim[11].
Cara baca yang agak ngesastra seperti ini dicontohkan oleh ‘Alija ‘Ali Izetbegovic ketika menyimpulkan bahwa ‘pakaian yang kita kenakan bukan semata-mata alat perlindungan; itu juga mencerminkan masa kita hidup dan dengan kelompok mana kita bergabung. Pakaian menjadi gambar dan puisi’[12], dengan demikian maka ‘apa yang dikatakan seni kepada kita adalah sama hebatnya dengan pesan-pesan keagamaan’[13], hal ini karena ‘dalam akar agama dan seni terdapat kesatuan primordial’[14].

Keriangan Pesta; Kedangkalan Ekspresi
                Dalam perkembangan kehidupan modern hari ini, posisi seni menempati posisi yang makin menarik. Seiring dengan perkembangan wacana posmodernisme yang beraka dari seni dan aritektur, maka dalam kehidupan kedepan kemungkinan seni menjadi dominan dalam bangunan peradaban sangat besar. Namun hal ini tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang benar-benar menjanjikan masa depan cerah bagi seni karena ternyata wacana posmodenismepun masih menuai badai di sana-sini.
                Persolana utama yang dihadapi oleh posmodernisme dalam bangunan kehidupan ril sekarang adalah persoalan representasi, reproduksi dan legitimasi. Kait-kelindan dari ketiga hal inilah yang membangun seni posmo yang diawali oleh seni modernisme akhir dalam bentuk seni avan garde.
                Representase sebagaimana mahfum adalah adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah proses sosial dari 'representing'. Ia juga produk dari proses sosial ‘representing’. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret[15].
                Dengan berkembangnya kehidupan, maka sekarang ini yang terjadi di dunia kebudayaan bukanlah proses representase, melainkan proses rantai semiosis abadi dalam bentuk simulasi[16]. Dengan simulasi, maka akan lahir betapa banyak tanda yang mengklaim menjadi representase dari realitas, semua tanda menganggap dirinya paling sah untuk menjadi wakil realitas.
                Simulasi ini bekerja dengan hukum reproduksi, dimana proses produksi makna tidak lagi melalui proses representasi sebagai proses produksi makna yang mapan melainkan, melainkan melalui proses penggandaan dan duplikasi tak berhingga antara satu tanda dengan tanda yang lain. Hal inilah yang menjadi asumsi bahwa seni avan garde-posmo menjadi seni yang hanya terdiri dari kedangkalan ekspresi semata.
                Seni menjadi tidak memiliki sesuatu yang bisa dipertaruhkan sebagai wilayah yang memiliki makna yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Telah terjadi dekonstruksi legitimasi. Keindahan yang selama ini menjadi hak prerogatif seni kemudian menjadi lebur dan melabur tanpa batas yang ketat antara seni dan bukan seni. Dengan banyaknya representasi, maka seni kemudian tidak memiliki kekuatan untuk melegitimasi salah satu tanda.
Seni menjadi sesuatu yang tidak lagi sakral dan begitu agung, kebuntuan kreativitas menjadi ciri yang coba ditutupi dengan argumen bahwa sebenarnya yang terjadi adalah perayaan imajinasi. Keindahan tidak diletakkan secara inherent didalam obyek, melainkan terletak pada proses internalisasi dari para penikmat. Nah yang menjadi masalah kemudian, bisakah seni yang demikian kabur menjadi basis peradaban ? Apakah ini tidak akan melahirkan wajah peradaban yang kabur pula ? Ataukah seni akan berhasil mengembalikan keagungannya ? Entahlah, waktu yang akan menjawab, semoga.



[1]       Wahid. Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan kebudayaan. Jakarta. Desantara. Agustus 2001. Cet. 2. hal. 163.
[2]       Marzuki. A. F. Membangun Semesta Budaya Profetik, Kompas. 21 September 2003.
[3]       Wahid. Abdurrahman, op.cit,  hal. 163.
[4]       Wahid. Abdurrahman, Ibid, hal. 160.
[5]       Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali. Membangun Jalan Tengah Islam, antara Timur dan Barat, Bandung, Mizan, Desember 1992, Cet. I, hal. 99.
[6]       Wahid. Abdurrahman. op.cit. hal. 166.
[7]       Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, op.cit, hal. 109.
[8]       secara etimologis, bifurkasi berarti titik percabangan. Ilya Prigoginesalah satu ilmuan kontemporer yang menjadi pioneer dalam penelusuran tentang ‘nature chaos’ dalam sistem—menempatkan bifurkasi sebagai konsep esensial. Bifurkasi dapat membawa sistem meruntuhkan dirinya menuju chaos, atau justru menstabilkan sistem melalui peruibahan yang menghadirkannya. Sesudah menjadi stabil, sistem yang telah melewati bifurkasi menjadi resisten terhadap perubahan hingga periode yang teramat panjang, sampai akhirnya muncul lagi titik-titik kritis yang mampu mengamplifikasi dan menghadirkan bifurkasi baru.
[9]       Pengertian tentang ‘atraktor’ secara sederhana kurang lebih dapat digambarkan melalui ayunan pendulum yang pada akhirnya berhenti di satu titik. Titik istirahat si pendulum itulah yang disebut para matematikawan sebagai titik atraktor, atau titik baku. Lebih tepatnya, atraktor adalah region magnetis yang memiliki kekuatan dahsyat unutk menarik seluruh sistem kedalam dirinya.
[10]     Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, op.cit, hal. 103.
[11]     Dee, Suvernova; Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, Bandung, Truedee, November 2001, Cet. V, hal. 160.
[12]     Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, op.cit, hal. 49.
[13]     Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, ibid, hal. 107.
[14]     Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, ibid, hal. 105.
[15]     Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Nuriani Juliastuti, Representasi. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 4, Maret 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003  juga Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Mengenal Cultural Studies For Beginners. Mizan. Bandung. Oktober 2001. Cet. I.. hal. 13
[16]     hyperrealitas adalah realitas yang tidak memiliki referensi atau asal usul. Hyperrealitas ini di ciptakan melalui proses simulasi. Untuk lebih jelasnya lihat Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, Cet. I. Juli 2002. hal. 63-72

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama