Secercah Harapan dari Kompleksitas Seni Membaca Islam Sebagai Teks

[03.04.2007] Islam Sebagai Teks
Berbicara tentang Islam dan mungkin agama apapun yang lain, maka hadangan utama yang pasti dihadapi adalah kuatnya tarikan teks yang mejadi referensi utama dalam mengulas pokok-pokok ajaran agama tersebut. Secara khusus Islam, bahkan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash, menyebut peradaban umat Islam sebagai “peradaban teks” (hadlârah al-nash). Ini mungkin untuk menunjukkan betapa kuatnya teks mempengaruhi kerangka pikir umat dalam berdialektika dengan konteksnya.

Dalam tulisannya, Novriantoni[1] mengatakan “Faktanya, siapapun yang berbicara ihwal keagamaan (terutama Islam), selalu saja dihadang tantangan berarti tentang bagaimana laiknya memperlakukan teks-teks agama yang diyakini merupakan rujukan paling otentik guna menanggapi berbagai problem hidup. Fakta demikian sudah dialami banyak pemikir besar Islam. Sudah lama, mereka mencermati adanya jurang pemisah (alhuwwah al-fâshilah) antara teks dengan konteks atau sejarah umat manusia”.

Dengan melihat realitas ini, maka sudah menjadi suatu yang shahih bahwa untuk berbicara tentang Islam, maka pada saat yang sama sebenarnya pembicaraan itu membahas tentang segepok teks.bahkan sebagaimana disinyalir oleh Yudi Latif[2], dalam berdialektika dengan teks, umat Islam terpecah menjadi dua model fundamentalisme, yaitu fundamentalis literal berusaha/mengusahakan diri untuk “dipeluk teks”, sementara “fundamentalis liberal”, getol “memerkosa teks”.

Agar perbincangan tentang Islam yang diposisikan sebagai teks, alangkah baiknya kita melihat sejenak ulasan Nasr Hamid tentang teks sebagai berikut :
Alqur’an adalah teks yang (hanya) beku, tetap dan statis dari sisi pengucapan verbalnya (min haits al-manthûq), itu karena dia sudah menjadi mushaf yang dibakukan. Sedang secara konsepsi (al-mafhûm), dia sudah lepas dari sifat statisnya; dia dinamis, plural dan relatif dari segi penafsirannya. Sejak mula-mula teks yang ilahi dibumikan, lalu dibaca secara verbal, (perdananya oleh nabi) posisinya sudah bergeser dari teks ilahi yang statis, mutlak, tidak berubah, menjadi konsepsi atau teks manusiawi (yata’annas) yang relatif, dan selalu menyemangati perubahan-perubahan[3]

Untuk membangun sebuah dialektika yang sehat antara manusia sebagai penafsir dengan Islam sebagai teks (diwakili oleh Al Qur’an), maka alangkah indahnya perkataan Ali bin Abi Thalib, “Alqur’an tak pernah bicara, manusialah yang membunyikannya” (lâ lanthiw, innamâ yanthiq bihi al-rijâl).

Kompleksitas Penghampiran
Dalam melakukan upaya interpretasi terhadap Islam sebagai sebuah bangunan teks yang membutuhkan penjelasan lanjutan agar nilai yang dimuatnya tetap kontekstual, dikalangan para pemikir Islam telah terbangun dengan begitu ramainya paradigma dan sudut pandang yang digunakan dalam proyek penghampiran ini.

Beragamnya paradigma dan sudut pandang yang digunakan dalam menginterpretasi Islam telah melahirkan corak Islam yang menarik dan penuh warna-warni. Islam warna-warni ini bekerja dengan logika sederhana seperti yang disinyalir oleh Muhamad Kasman[4], Islam warna-warni ini akan menolak logika kesamaan dan proses asimilasi yang satu arah. Dengan adanya ruang Islam yang warna-warni seperti ini, maka Islam menjadi begitu ramai dan indah. Penuh nuansa yang begitu eksotik untuk dielaborasi lebih jauh.            

Kompleksitas penghampiran ini, memberi secercah harapan bagi kemungkinan kebangkitan Islam di masa yang akan datang. Hal ini karena kompleksitas ini mengindikasikan adanya keseriusan dari para intelektual Islam dalam melakukan upaya memajukan Islam sebagai tawaan bagi perubahan peradaban dunia kearah yang lebih baik di masa yang akan dating.

Bangunan pemikiran Islam yang begitu beragam menjadi khasanah yang tak ternilai harganya dalam menjadi alat atau perangkat untuk makin mendekatkan Islam kedalam jantung realitas umat. Secara sederhana, pemikiran Islam kontemporer dapat terpetakan secara sederhana seperti bagan sederhana seperti ini (meskipun ini terkesan agak simplifikatif). Bagan ini bukanlah pemetaan yang paten, melainkan sebagai sebuah upaya abstraksi intelektual yang mempermudah pemahaman.


Pemetaan diatas menunjukkan begitu ramainya warna Islam yang merupakan hasil interpretasi dari berbagai sudut pandang yang digunakan. Berikut penjelasan sederhana dari bagan diatas :
1.        Tradisional
Corak pemikiran Islam yang kami defenisikan sebagai corak pemikiran tradisional adalah pemikiran islam yang terbangun pada zaman klasik Islam. Corak pemikiran Islam model ini, mengedepankan cara interpretasi Islam secara filosofis dengan pengaruh kental dari pemikiran filosof Yunani. Pada fase ini pemikiran Islam yang terkenal adalah corak pemikiran Peripatetik (masyaiyyah), Teologi (kalam), Sufi atau Tashawuf (irfan), Iluminasi (isyraq) sampai Teosophy Transenden (al hikmah muta’aliyah).
Pemikiran Islam yang berkembang pada masa itu sungguh bervariasi sehingga menunjukkan sebuah warna Islam yang beragam. Pada abad ke 2-5 hijriyah-lah puncak pencapaian Islam akan perkembangan ilmu pengetahuan yang membuat peradaban Islam disegani di seluruh dunia pada masanya. Hal ini karena penghargaan Islam terhadap berbagai macam teori pengetahuan dan pemikiran berhasil didamaikan dengan doktrin Islam.
Pada masa inilah kita mengenal Ibn Sina, Al Farabi, Ibn Arabi, Al Ghazali, Suhrawardi, Ibn Rusyd dan Mulla Sadra (yang terakhir ini tidak begitu popular). Inilah fase pemikiran yang kami kategorikan sebagai pemikir tradisional Islam (atau lebih dikenal sebagai pemikir klasik Islam). Dalam perkembangan berikutnya, pemikiran tradisional ini mengalami pasang surutnya di duina pemikiran islam.
Pada fase selanjutnya, pemikiran tradisionalis Islam ini mengalami metamorfosis dan melahirkan penerus mereka dalam dua wajah, yaitu :
a.        Neo-Tradisional
Para pemikir neo-tradisional yang dimaksud adalah para pemikir kontentemporer Islam yang tetap percaya dengan kemapanan-kemumpunian kebenaran Islam yang diinterpretasi secara filosofis dan tetap mengacu pada filsafat klasik Islam mulai dari paripatetik sampai theosophy transenden.
Warna pemikiran yang tetap bercorak hellenisme Islam ini dapat ditemukan pada pemikiran Syed Husein Nasr dan Murtadha Mutahhari atau para pemikir yang yang belakangan terkategorikan dan tenar dengan gelar Mazhab Qum. 
b.        Post-Tradisional
Turunan kedua dari pemikiran tradisional Islam adalah para pemikir post-tradisional Islam. Pemikir kelompok ini bukannya berusaha untuk mengkonstruksi Islam dengan melakukan revitalisasi corak berfikir Islam tradisional, melainkan berusaha menggali tradisi pemikiran Islam secara menukik-kritis dan kemudian berusaha melampauinya.
Pemikir kontemporer yang bisa dikategorikan dalam kelompok ini adalah pemikir Arab kelahiran Maroko yang bernama Muhammad Abed Al Jabiri. Bangunan cara berfikir post-tradisional Islam mencoba kembali mengembalikan posisi tradisi sebagai sesuatu yang hidup dan terus berkembang dan bukan sebagai sesuatu yang terwariskan begitu saja dari generasi lama ke generasi baru. 
2.        Modern
Pemikiran Modern dalam Islam, muncul kepermukaan belantara pemikiran Islam lebih merupakan sebuah upaya responsif para intelektual Islam dalam memberikan jawaban terhadap konteks modernitas yang menjadi warna dominan dunia kontemporer. Respon para intelektual tersebut terhadap bangunan modernitas terbagi menjadi berbagai corak, ada yang menolaknya secara kritis dengan meminjam alat analisis sosialis/marxis, sebagian mencoba mendamaikan doktrin islam dengan hakekat pencerahan dan sebagian lagi menolak mentah-mentah dan menganggap modernitas sebagai senjata setan yang sangat berbahaya.
Namunpun bergitu, usaha para intelektualitas Islam ini dalam melakukan pergulatan hidup yang demikian “liat” patut mendapatkan apresiasi intelektual yang sepadan, hal ini karena corak pemikiran ini telah melahirkan beberapa tokoh yang berhasil mempengaruhi jalannya sejarah Islam bahkan sejarah dunia secara fenomenal.
Beberapa nama pemikir dan pelaku proyek pembaharuan Islam di zaman modern tersebut adalah Muhammad b. Abd Al-Wahhab, Syaikh ‘Utsman, al-Hajj ‘Umar Tal, Sayyid Ahmad al-Brelvi, Syah Wali Allah, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Rifa’ah al-Tahtawi, ‘Ali Abd al-Razik, Sayyid Ahmad Khan, Abd Kalam Asad, Muhammad Iqbal. Demikian beberapa nama yang patut untuk disebut, dan satu hal yang patut mendapat perhatian lebih bahwa hampir semua pemikir ini melakukan rekonstruksi pemikiran Islam sebagai sebuiah bentuk respon intelektual atas gerak laju modernitas yang dianggap merugikan gerakan Islam. Sehingga nama-nama yang disebut tersebut adalah orang-orang yang memimpin pergerakan negaranya melawan kolonialisme dan imprealisme.
a.        Sosialis/Marxis
Perkembangan selanjutnya dalam pemikiran modern Islam, akan ditemukan adanya kait-kelindan antara ghirah perlawanan Islam dengan daya kritis pemikir-pemikir sosialis-marxis. Hal ini bukan berarti bahwa corak pemikiran ini terpengaruh sepenuhnya oleh pemikiran sosialis-marxis, melainkan hal ini menunjukkan adanyasebuah dialektika intelektual dan melahirkan sebuah sintesa kreatif pemikiran tanpa meninggalkan diktrin dasar Islam.
Pemikir yang bisa dikategorika dalam pemikiran ini adalah Ali Syari’ati, Ashgar Ali Engineer, Soekarno. Merekalah para pemikir yang mencoba menghadirkan Islam sebagai sebuah doktrin histories dan memiliki peran riil dalam sejarah kehidupan kemanusiaan. Islam dijadikan sebagai pendorong perubahan menuju  kearah yang lebih baik.
Dalam perkembangannya, corak pemikiran ini mengental dalam sebuah kategorisasi intelektual, bangunan Islam transformatif, sebuah corak berfikir yang percaya dan mempraxiskan Islam sebagai ruh dari proses transformasi sosial. Pemikir Islam kontemporer yang paling sering disebut adalah Hasan Hanafi dengan Al Yasar Al Islami-nya, meskipun beliau tetap mengangap dirinya seorang fundamentalis
b.        Neo-Modernis
Pemikiran modernis Islam mengalami metamorfosis secara sempurna dalam pemikiran para neo-modernis Islam yang mengelaborasi lebih mendalam doktrin Islam dalam perspektif teori-teori modern. Corak berfikir seperti ini dapat ditemukan dalam pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Nurcholish Madjid.
Neo-modernis Islam membangun sebuah model doktrin Islam yang dianggap pas dengan perkembangan mutakhir masyarakat modern. Pemikiran ini lebih menekankan pengamalan substansi doktrin Islam yang diseuaikan dengan konteks dimana ajaran itu akan diterapkan.
Dalam perkembangan mutakhir, gerakan Intelektual Islam ini memunculkan corak berfikir Islam yang dikenal dengan nama Islam Liberal. Pemikir Islam Liberal yang bisa disebut adalah Ulil Abshar Abdalla. Pemikran Islam liberal mempersoalkan berbagai sisi doktrin Islam yang merambah wilayah publik dan mencoba mendorongnya kembali kewilayah privat.
c.        Radikal
Kelompok radikal adalah satu faksi pemikiran Islam yang mencoba berdialektika dengan modernitas. Gerakan pemikiran ini memilih untuk menegakkan puritanisme Islam sebagai jawaban atas gerak laju modernitas. Keyakinan ini dibangun berdasar pada doktrin Islam bahwa islam adalah agama yang sempurna dan sebagai agama untuk segala zaman dan segala situasi.
Corak pemikiran ini dapat ditemukan dalam Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kerangka logika Islam radikal, nambak adanya sebuah keteguhan hati untuk mengamalkan Islam dengan apa adanya, sebagaimana Rasulullah mengamalkannya. Perjuangan gerakan ini mengejawantah dalam gerakan-gerakan Islam, seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaat-I-Islami dan Hizbut Tahrir.

Involusi; Pembaharuan Tanpa Perubahan
Dalam teori tentang perubahan, lazimnya perubahan itu terjadi dengan dua jalan, jalan revolusi atau jalan evolusi. Perubahan disebut bila terjadi secara cepat, sementara dia akan disebut evolusi kalau dia terjadi secara lambat atau pelan-pelan. Namun disamping itu ternyata ada yang disebut dengan involusi. Involusi adalah sebuah proses perubahan yang sebenarnya tidak berubah. Artinya bahwa secara sepintas terlihat adanya perubahan, tapi bila ditilik secara seksama maka yang terjadi hanyalah perubahan wajah tanpa perubahan karakter.

Pembaharuan pemikiran Islam yang telah dipaparkan tersebut diatas, hampir semuanya hanyalah merupakan sebuah proses involusi secara terus menerus. Hal ini karena bangunan kerangka pikir yang mereka gunakan serupa meskipun tak sama. Kerangka pikir yang dimaksud adalah adanya dorongan untuk tetap mencari sentrum kebenaran.

Corak umum dari hampir semua pembaharuan pemikiran dalam Islam hanyalah berkisar pada modernisme dan puritanisme. Kalau modernisme menempatkan metanarasi modernitas barat sebagai sentrum kebenarannya, maka puritanisme memposisikan kebenaran sebagai milik sekelompok ulama sebagai sentrum. Kondisi yang tetap memposisikan adanya sentrum kebenaran mutlak yang bersifat metanarasi menyebabkan begitu sulit menemukan adanya ruang partisipasi aktif umat beragama di dalamnya.

Kemungkinan adanya ruang partisipasi itu sebenarnya sudah jauh-jauh hari dibuka oleh para pemikir-ulama melalui proses pribumisasi Islam atau melakukan sintesa kreatif antara Islam dan budaya lokal yang menghasilkan Islam lokalitas. Inilah yang kemudian dilabeli sebagai pemikir-pemikir post-tradisonalisme Islam. Namun cara berfikir seperti inilah yang rentan dicap sebagai gerakan takhyul, bid’ah dan khurafat.   

Padahal ruang apresiasi yang lebih luas dan memungkinkan adanya tawar menawar antara umat dengan pilihan religiusitasnya menjadi lebih terbuka. Ruang yang memposisikan spiritualitas sebagai sebuah wilayah yang begitu privat, sehingga kebenaran-kebenaran spiritualitas ini menjadi sebuah wilayah little narrative dan bersifat kesadaran non-diskursif foucauldian.

Secercah Harapan
Dalam ranah keragaman cara pandang dan cara tilik terhadap Islam sebagai teks yang membutuhkan interpretasi agar dia mampu berdialektika dengan zaman dimana dia akan dipraksiskan maka akan ditemukan setitik cahaya yang bisa menjanjikan harapan besar bagi masa depan Islam. Dibutuhkan keberanian untuk membaca Islam sebagai teks dan keberanian untuk mendedahkanya ditengah umat.

Secercah harapan itu adalah semangat untuk tanpa henti secara terus-menerus melakukan elaborasi mendalam atas doktrin Islam dan kemudian dituliskan dan disebarluaskan ditengah-tengah umat. Harapan itu adalah keberanian untuk menulis, menulis dan menulis. Meskipun bagi Fahruddin Nasrullah AM[5], “menulis tak lain hanya setitik upaya untuk menghancurkan setiap suara, segala asal usul. Menulis adalah pengebirian; ikhtiar untuk memiuh hal-ihwal

Namun memang seperti itulah adanya, kita tidak perlu mengerti kenapa kita menulis, yang kita butuhkan hanya tahu dan tahu bahwa kita sedang menulis. Seperti diungkapkan oleh Gao Xingjian[6] pada kenyataannya aku sama sekali tidak mengerti; sama sekali tidak. Begitulah”. Akhirnya aku teringat oleh sebuah nyanyian yang selalu didendangkan oleh nenekku tercinta ketika aku sulit tidur;
Iyya teppaja kusappa
Paccolli’ lolo engngi
Aju marakko’E

Semangat itu adalah gairah yang mampu membuat bertunasnya kembali ranting yang kering. Carilah semangat itu dengan menulis dan menulis.



[1]      Novriantoni, Berinteraksi dengan Teks: Visi Progresif Islam, www.islamlib.com 
[2]       dalam Fundamentalis Literal versus Fundamentalis Liberal, Koran Tempo, Novermber 2002
[3]       Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dînî; 1995 : 126
[4]       Kasman. Muhammad, Islam Warna-warni; Mozaik Syariat Islam Ditengah Multikulturalisme, dalam jurnal texere volume I Ramadhan 1424 H/November 2003 M, Makassar, Lingkar Studi Net Tamalanrea dan HMI MPO Komisariat Pelangi Tamalanrea, hal. 69 
[5]       de Cervantes. Miguel. Petualangan Don Quixote, Yogyakarta, Sadasiva, Agustus 2003, Cet. I. hal vi.
[6]       Xingjian. Gao, Gunung Jiwa, Yogyakarta, Jalasutra, Januari 2003, Cet I, hal 713

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama