Menimbang Pribumisasi Islam ala Gus Dur

[06.01.2010] Tidak ada yang meragukan bahwa Gus Dur memang telah meninggal dunia, termasuk para pengikut fanatiknya yang seringkali menganggap Gus Dur sebagai wali. Tapi adalah hal yang juga tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Gus Dur masih hidup dan berkeliaran di tengah-tengah kita, baik melalui tulisan, maupun melalui pemikiran murid-muridnya.

Gagasan-gagasan besar Gus Dur seperti pluralisme, HAM, dan demokrasi bahkan telah diinstitusionalisasi atau dilembagakan, terutama di kalangan arus muda NU. Dalam kelompok ini bisa disebutkan seperti LKiS (Yogyakarta), LAPAR (Makasar), LK3 (Banjarmasin), YPKM (NTB), eLSA (Semarang), JIL (Jakarta), the Wahid Institute (Jakarta), dan banyak lagi yang lain.

Namun ada satu pokok pikiran Gus Dur yang sebenarnya agak unik dan menjadi gagasan penting Gus Dur di era tahun 80-an, yaitu gagasan tentang pribumisasi Islam. Gagasan ini sebenarnya tidak kalah kontroversialnya dibandingkan gagasan Gus Dur yang lain. Hal ini karena gagasan Pribumisasi Islam sepertinya berhadap-hadapan langsung dengan semangat puritanisasi Islam yang juga mengemuka di awal 80-an.

Akar Pribumisasi
Ketika pertama kali melemparkan gagasan pribumisasi Islam di tahun 80an, sebenarnya Gus Dur menggunakan istilah ini untuk mengganti istilah indigenization yang telah lebih dulu digunakan oleh intelektual muslim di Indonesia. Tapi perlu digaris bawahi bahwa Gus Dur tidak benar-benar hanya mengganti istilah, dalam pribumisasi Islamnya, Gus Dur punya tujuan sendiri, “mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. (2001:117-136)

Sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Baso (2002:8-9), Gus Dur kurang sepakat dengan orentasi pembaruan islam dengan budaya atau upaya formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan budaya karena semua itu berupaya menjadikan Islam sebagai tolak ukur ideal untuk menilai manifestasi budaya pada umumnya, yang menampilkan budaya ideal, yang terlepas dari akar-akar budaya lokal.

Secara sederhana, Gus Dur merasa gerah dengan proses Arabisasi budaya yang terjadi dengan mendompleng pada gerakan purifikasi islam. Maka Gus Dur sempat melemparkan usulan untuk mengganti “assalamu alaikum” dengan “selamat pagi” untuk mengungkapkan ketidak sepakatannya atas penggatian “saudara-saudari” dengan “akhi-ukhti” dan lain sebagainya.

Sebagai gantinya, Gus Dur menawarkan pilihan lain, yaitu keterbukaan antar budaya sebagai bagian pribumisasi Islam, “antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal dan melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing (2001:117-136)”.

Menjadi Islam tanpa Menjadi Arab
Secara sederhana, wacana pribumisasi Islam ala Gus Dur dapat dipahami sebagai upaya untuk melindungi proses asimilasi dan akulturalisasi nilai-nilai Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia yang berlangsung secara alamiah. Upaya ini dlakukan dengan mengemas proses yang alamiah ke dalam tataran "konsep" agar tradisi-tradisi yang terbentuk dari proses asimilasi dan akulturasi ini tetap dapat diakui sebagai budaya Islami.

Pribumisasi Islam menjadi penting dalam konteks lokal ini untuk dilakukan, karena membuak ruang apresiasi yang luas bagi kaum Muslim di Indonesia agar pada saat yang sama tetap mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas dan sekaligus mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupan sehari-harinya. Jadi umat Islam Indonesia tetap dapat menjadi islami tanpa harus kehilangan keIndonesiaannya.
Bagi seorang Gus Dur, untuk menjadi seorang Muslim Indonesia yang baik, maka orang tersebut tidak harus menjadi orang Arab. Jadi pribumisasi Islam akan memunculkan wajah Islam yang khas Nusantara tanpa harus dipengaruhi oleh model Islam Timur Tengah, Islam Afrika Utara, Islam Persia dan berbagai corak Islam lainnnya.

Atau dengan meminjam penjelasan Nurcholish Madjid (1997: 93-94) dapat dikatakan bahwa pribumisasi Islam akan menampilkan Islam dengan format dan cita yang sedikit berbeda dengan penampilan Islam di kawasan lingkungan peradaban besar Arab (Arabo-Islamic Civilization) yang terbentang dari Bahrain sampai Maroko maupun dengan Islam di kawasan lingkungan peradaban besar Persia (Persian-Islamic Civilization) yang meliputi kawasan Islam Asia Daratan mulai Bangladesh sampai Turki, hingga Eropa Timur, seperti Bosnia, Macedonia, Chechnya, dan Albania.

Islam Indonesia akan berkarakter khas yang dalam bahasa Nurcholish Madjid, Archipelagic Islam (Islam Kepulauan) yang ditunjukkan dengan model keberislaman yang begitu kaya dengan berbagai macam citarasa peradaban yang pernah muncul di dunia, kaya dengan khasanah kebudayaan, serta tingkat toleransi antar umat beragama yang sangat tinggi.

Gus Dur (dalam Islam Pribumi, 2003) juga dengan tegas mengatakan bahwa arabisasi atau proses pengidentifikasian diri dengan budaya timur tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Ini berarti bahwa proses pribumisasi memang mencoba memberi ruang bagi tafsir Islam yang pas dengan kebudayaan dan tradisi lokal.

Menimbang Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam merupakan gagasan yang genit bagi para pemikir Islam kultural, transformati dan liberal, menjadi menarik karena memicu semangat untuk senantiasa mengisi ruang kebudayaan dengan beragam eksperimentasi asimilasi dan akulturasi Islam dengan kebudayaan lokal. Ini akan membuat proses Islamisasi sebagai sebuah proses yang tidak pernah final dan masih selalu dalam situasi negosiasi.

Namun gagasan ini juga menjadi pemikiran yang dianggap ‘musuh besar’ oleh para penganut Islam puritan, fundamentalis dan para penganjur penegakan syariat Islam secara formal. Karena tentu, pribumisasi Islam akan lebih akomodatif terhadap beragam kebiasaan lokal yang berbau bid’ah dan ditenggarai akan menggiring umat dalam kondisi mencampur-aduk segala yang haq dan yang bathil.

Padahal kalau diperhatikan dengan seksama, konsepsi Pribumisasi Islam versi Gus Dur akan menyelamatkan umat dari keterpecahan. Pribumisasi menjadi ruang dialog agama dan budaya dalam posisi setara, serta berusaha mengawinkan dengan menjembatani jurang pemisah yang selama ini membuat agama dan budaya terpisah jauh. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan budaya, bahkan saling memperkaya.

Oleh karena itu tidak bisa serta merta dikatakan bahwa pribumisasi Islam akan menghasilkan Islam yang tidak otentik, karena otentisitas keberagamaan merupakan prerogatif hak Tuhan. Islam Indonesia juga berhak mengklaim otentik sebagaimana otentiknya Islam Arab atau Timur Tengah. Bahkan Islam Indonesia mungkin saja bisa lebih kaya karena sarat dengan nilai-nilai luhur budaya lokal yang penuh kearifan, santun dan toleran.

Memang gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur menarik untuk dibincang, tapi jangan berlebihan. Sebagai peringatan bagi para penganjur pribumisasi Islam, agar jangan menerapkan pribumisasi secara timpang. Karena terkadang sikap anti arabisasi dari para penyokong pribumisasi justru pada saat yang sama menjadi penganut trend budaya yang berasal dari luar Indonesia. Orang yang memanjangkan jenggot atau jilbab panjang sering disindir, "taena arab inne daeng, mangkasara’ji." Padahal mereka juga berpakaian ala bule, seharusnya mereka juga sadar "taena amerika inne daeng, mangkasara’ ji."
Nah loh.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama