Keikhlasan Barang Bekas

[27.10.2009] Baru beberapa hari ini La Capila tiba dari Padang Sumatera Barat. Dia menjadi relawan sekaligus menjadi utusan penduduk kaki Gunung Bawakaraeng menyampaikan sumbangan langsung kepada korban gempa. Sumbangan yang La Capia bawa berupa uang dan pakaian bekas yang masih layak pakai.

Setelah istirahat dan membersihkan diri, La Capila menghadap gurunya I Mapesona untuk menyampaikan laporan perjalanannya selama sepekan lebih.
“Bagaimana kabar guru selama kepergian muridmu ini? Baik-baik saja kan?” Tanya La Capila kepada muridnya.
“Alhamdulillah baik, gurumu ini tidak kurang suatu apa? Bagaimana pula dengan dirimu duhai muridku yang tersayang?” I Mapesona balik bertanya.

“Ceritakanlah sedikit kisah perjalananmu kepada gurumu yang sudah renta ini, mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisahmu itu”, harap I Mapesona.
“Iya guru, muridmu ini juga sudah tidak sabaran hendak bertutur tentang apa yang dialami oleh saudara kita di Sumbar sana.” Timpal La Capila.

Setelah memperbaiki posisi duduknya, La Capila mulai bertutur
“Mereka menyambut kedatangan kami dengan penuh suka cita guruku, bahkan mereka sampai menitiskan air mata karena rasa haru melihat saudaranya yang jah dari Sulawesi dating menyambangi mereka di Andalas sana”.

I Mapesona tak berkata apa-apa, dia hanya mendesah perlahan, La Capila melanjutkan,
“Kami semua merasa puas dengan sambutan mereka guru.”
“Begitu?” I Mapesona menimpali.
“Apalagi saat proses penyerahan sumbangan, mereka menunjukkan rasa terima kasih yang begitu mendalam.”

“hmmmmmmm…..” La Capila mendesah lirih.
“Puas benar rasa hati ini guru, indahnya rasa persaudaraan dalam situasi seperti ini.” Lanjutnya.
“Apalagi waktu kita mau pulang, mereka mengiringi perjalanan kami dengan senyum yang sumringah.”

Mendengar penuturan muridnya, I Mapesona hanya tertunduk, bahkan terdengar tergugu, pundaknya terguncang-guncang perlahan.
“Demikianlah cerita perjalanan kami guru, menyenangkan bukan?” La Capila mengakhiri ceritanya.

Ketika perlahan La Capila mendengar isak tangis gurunya, La Capila tersentak kaget,
“Guru, ada apa? Apakah muridmu ini telah menyinggungmu? Kalau demikian adanya, maka maafkanlah muridmu ini.” La Capila terdengar cemas.

Di sela isak tangisnya, I Mapesona berujar lirih,
“Tidak muridmu, kau tidak bersalah, kau murid yang baik, sangat baik malah”.
“Lalu kenapa guru menangis?” La Capila masih di belasah kecemasan.

Terdiam sejenak, I Mapesona melanjutkan,
“Guru hanya mmerasa betapa luhur rasa haru dan sukacita mereka menerima apa yang engkau hantarkan.”
“Memang demikianlah adanya guru,” sela La Capila.

Tanpa peduli dengan ujaran muridnya, I Mapesona melanjutkan,
“Coba kau renungkan dalam-dalam, bagaimana gurumu ini tidak terharu dan menangis, dengan hanya berbekal sumbangan setumpuk pakaian bekas yang kau berikan, mereka demikian bersuka cita. Lalu bagaimana seandainya yang kau bawa adalah pakaian baru?”

‘Begitulah kita, keikhlasan kita masih hanya sebatas barang bekas. Itulah yang membuat gurumu ini bersedih muridku.” Pungkas I Mapesona.
Mendengar penuturan gurunya, balik La Capila yang menangis.
“Benar guru, keikhlasan kita ternyata baru sebatas barang bekas!”

Tulisan ini diinspirasi oleh buku “Sate Rohani Dari Madura” D. Zawawi Imron.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama