Reformasi Birokrasi yang Setengah Hati

[15.02.2010] Pada hari (Senin, 18/05/09), harian Tribun Timur memuat sebuah tulisan yang berjudul “PNS Berkinerja Tinggi Sekedar Utopia?”. Tulisan tersebut dibuat oleh Nur Ana Sejati, seorang anggota Tim Pengembangan Budaya Kerja Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam tulisannya tersebut, Nur Ana mengulas tentang fenomena kinerja birokrasi di Indonesia yang masih jauh dari harapan.


Bahkan Nur Ana melontarkan tanya yang mengandung kesangsian tentang kemungkinan terwujudnya PNS yang berkinerja tinggi dalam waktu dekat. Hal ini karena bangunan birokrasi di Indonesia masih jauh dari model bangunan birokrasi yang efektif-efisien dan responsif-proaktif.

Untuk mewujudkan birokrasi yang ideal, maka dalam pengelolaannya dibutuhkan keberanian untuk mengadopsi karakter marketization, organisasi yang fokus pada hasil, dan fokus pada klien. Ini bisa terwujud bila birokrasi mampu mengadopsi penggunaan prinsip-prinsip bisnis atau organisasi sektor swasta dalam mengelola instansi pemerintah atau yang lebih dikenal dengan istilah new public management.

Dengan bercermin kepada negara-negara yang tergabung dalam organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Nur Ana menyarankan agar birokrasi di Indonesia melakukan reformasi. Reformasi birokrasi ini diwujudkan dengan fokus pada economic efficiency. Ini akan berwujud pada upaya downsizing atau pemangkasan PNS serta membangun akuntabilitas kinerja individu yang lebih tinggi dan beretika.

Sebenarnya, apa yang diusulkan oleh Nur Ana sudah menjadi cita-cita suci dari pelaksanaan otonomi daerah. Era ini diharapkan akan melahirkan birokrasi pemerintah yang bisa mewujudkan prinsip “ramping dalam struktur dan kaya dalam fungsi”. Model birokrasi seperti ini dibutuhkan untuk lebih menjamin manajemen pemerintah.

Meskipun kalau dilihat di permukaan, struktur organisasi pemerintah daerah otonom sekarang (terutama pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007) telah mengalami downsizing berupa penggabungan/merger dan berbagai eks instansi daerah dan vertikal. Tapi kalau diamati secara jeli, akan terlihat bahwa ternyata downsizing yang terjadi sangat semu sebab hal ini diikuti dengan penaikan eselonering jabatan, ini berarti bahwa yang terjadi malah upsizing.

Memang kalau dilihat dari perspektif pemerintah pusat, birokrasi pada era otonomi daerah telah mengalami downsizing birokrasi, tetapi kenyataannya di daerah otonom sungguh bertolak belakang. Yang terjadi malah proses upsizing hanya bertujuan untuk mengakomodasi transfer beban birokrasi yang tidak rasional dari pemerintah pusat ke perintah daerah (baik secara kelembagaan maupun secara personil).

Untuk mewujudkan PNS yang berkinerja tinggi, maka program reformasi birokrasi harus dijalankan secara konsisten dan kontinu. Menurut I Wayan Monoyasa, setidaknya ada empat sistem dan prosedur yang tidak menciptakan iklim bagi terciptanya aparat yang profesional. Keempat hal yang disebutkan oleh I Wayan Monoyasa ini merupakan “penyakit akut” yang diidap oleh birokrasi secara nasional.

Pertama, Sistem kepangkatan PNS menciptakan kondisi bottleneck yaitu sebagian besar PNS yang tidak memiliki jabatan akan mencapai pangkat tertinggi pada puncak usia produktif. Kondisi ini cenderung bersifat kontraproduktif terhadap kinerja birokrasi. Tentu bila bila pangkat tertinggi dicapai saat usia produktif juga pada puncaknya maka yang tersisa hanyalah tinggal menunggu mereka pensiun. Ini berarti bahwa tingkat produktivitas sebagian besar PNS (yang tidak memiliki jabatan) sangat rendah.

Kondisi ini bisa diantisipasi dengan melakukan reformasi dalam sistem kepangkatan PNS. Alangkah elegan dan produktifnya bila sistem kepangkatan PNS disesuaikan dengan kapasitas, kompetensi dan kinerja seorang PNS dan bukannya berdasarkan sistem kepangkatan yang kaku dan sangat terkungkung pada sifat senioritas kepangkatan.

Kedua, Sistem jabatan yang tidak mengenal promosi-degradasi sesuai kualitas kinerja sehingga jabatan cenderung diperlakukan sebagai hak waris. Ada pameo di kalangan PNS bahwa jangan harap untuk menduduki jabatan apabila tidak memiliki hubungan kekerabatan dan koneksi dengan pejabat sebelumnya. Dengan mudah dapat ditemukan di birokrasi Indonesia bagaimana posisi dan strategi penting dalam sebuah wilayah pemerintahan dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari rumpun keluarga.

Ketiga, Sistem penghargaan PNS bersifat feodalistik yaitu memberikan fasilitas supernormal kepada pemangku jabatan jika dibandingkan dengan PNS non pejabat. Pejabat senantiasa memperoleh prioritas pertama atas fasilitas rumah dinas dan kendaraan dinas, sementara pegawai rendahan yang gajinya kecil kebingungan memikirkan kontrak rumah.

Dengan pemberian fasilitas supernormal kepada pemangku jabatan dan tidak memberikan fasilitas apa-apa kepada pegawai rendahan, hal ini sangat berpengaruh terhadap motivasi pegawai rendahan untuk menunjukkan kinerja yang baik. Mereka akan merasa tidak adanya penebodoh..gakan prinsip keadilan dalam pemberian fasilitas dinas. Implikasinya, pegawai rendahan akan lebih memilih bekerja dengan sikap masa bodoh.

Keempat, tidak jelasnya ukuran pemberian penghargaan dan hukuman dikaitkan dengan proses pelaksanaan dan hasil kinerja. Dalam birokrasi Indonesia hari ini, sistem punish and reward tidak pernah jelas. Manajemen kepegawaian yang diterapkan belumlah berbasis pada kapasitas, kompetensi dan kinerja melainkan berbasis kekerabatan dan koneksi.

Sehingga seringkali ada prestasi yang dihasilkan oleh pegawai yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan koneksitas dengan pemangku kebijakan tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Demikianpun, seringkali ada pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pegawai namun karena memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan koneksitas dengan atasan sehingga tidak mendapatkan hukuman dan sanksi yang setimpal.

Reformasi birokrasi yang dilakukan pasca pelaksanaan otonomi daerah dan pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tidak berhasil menyentuh keempat persoalan mendasar dalam sistem dan prosedur yang dipermasalahkan oleh I Wayan Monoyasa tersebut diatas. Bahkan ada kesan, reformasi birokrasi yang berjalan masih bersifat setengah hati serta prosedural belaka dan tidak menyentuh substansi.

Belum lagi dengan makin kencangnya arus politisasi pemerintahan yang mengiringi pelaksanaan pemilihan kepala daerah oronomi secara langsung. Politisasi pemerintahan ini nampak dengan keterlibatan secara aktif PNS dalam proses politik praktis (bahkan terkadang melibatkan jabatan struktural yang melekat pada seorang PNS) dan hal ini tidak mendapatkan sanksi apapun, bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah, padahal tindakan ini jelas-jelas di”haram”kan bagi PNS.

Di akhir tulisannya, Nur Ana menyorot mengenai kebijakan pemberian renumerasi yang salah kaprah. Bagi Nur Ana, renumerasi seharusnya diberikan dengan berbasis pada kapasitas, kompetensi dan terutama kinerja seorang PNS dan bukannya diberikan secara merata bagi semua pegawai tanpa memperhatikan prestasi mereka seperti yang dilakukan selama ini.

Namun bila memang mau melihat reformasi birokrasi ini berhasil dengan baik, maka reformasi seharusnya dilakukan sejak awal mulai dari tahap rekrutmen calon PNS. Kalau dari tahap rekruitmen sudah dalam rel yang benar, maka selanjutnya reformasi birokrasi akan lebih mudah dilakukan pada tahap selanjutnya. Tapi kenyataannya sekarang, justru persoalan bobroknya kinerja PNS bermulai dari tahap rekruitmen yang terkesan asal-asalan.

Saat ini, tidak ada analisa kebutuhan pegawai yang dilakukan mendahului proses rekruitmen calon PNS. Proses rekruitmen yang dilakukan lebih dilandasi oleh sebuah pemikiran bahwa kebutuhan akan pegawai baru tetap tinggi karena pemerintahan masih berparadigma menjadi motor utama kegiatan pembangunan nasional. selain itu, Sistem rekruitmen juga masih dipenuhi dengan KKN sehingga terkadang, pegawai yang direkrut tidak memiliki kompetensi atau memiliki kompetensi yang berbeda dengan kebutuhan sebenarnya.

Nampaknya sampai saat ini, persoalan reformasi birokrasi masih menjadi persoalan yang pelik untuk diselesaikan secara cepat, diperlukan lebih dari sekedar langkah administratif prosedural melalui otonomi daerah dan restrukturisasi organisasi perangkat daerah untuk mengatasi masalah ini. perlu pemikiran bersama dari berbagai stake holders untuk mengatasi masalah ini agar tujuan desentralisasi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat bisa diwujudkan melalui PNS yang berkinerja tinggi. Semoga!


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama