Teologi Perbedaan

[28.02.2010] Beberapa waktu terakhir ini, suasana keberagamaan di negara ini mengalami ketegangan. Hal ini diakibatkan dengan menguatnya permintaan dari sebagian kelompok umat Islam agar pemerintah mengeluarkan surat larangan bagi Jama’ah Ahmadiyah di Indonesia. Tuntutan ini tidak hanya itu, permintaan ini juga bahkan disertai ancama akan adanya tindakan tegas bila permintaan ini tidak dipenuhi.

Kondisi ini tentu sangat memiriskan hati, bagaimana mungkin Islam yang secara substansial bermakna kedamaian dan keselamatan, dihadirkan oleh umatnya sendiri dalam wajah yang beringas dan sangar. Dengan keyakinan akan kesesatan kelompok lain, beberapa komponen umat kemudian berinisiatif untuk memberantas penyimpangan yang dimaksud, termasuk dengan cara-cara yang tidak santun.

Dorongan untuk pelarangan, pembubaran yang disertai ancaman kekerasan terhadap Jama’ah Ahmadiyah di Indonesia telah menjauhkan Islam dari hakekatnya sebagai agama yang menganjurkan “ruhama baynahum” (saling cinta kasih antara sesamanya). Yang lebih parah lagi adalah ketika sikap diskriminatif ini menuntut adanya legitimasi formal dari kekuasaan negara.

Realitas ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar pada hubungan antara manusia dan agama. Apakah agama lebih penting sehingga kita harus rela mengorbankan manusia demi keagungan agama? Ataukah sebaliknya, manusia lebih penting dibanding agama, sehingga kehadiran agama tak lain dan tak bukan untuk mengagungkan kemanusiaan?

Tentu kita bersepakat bahwa manusialah yang lebih primer, dan kehadiran agama adalah untuk menuntun manusia menanjaki evolusi kemanusiaannya agar menjadi lebih baik. Bila demikian adanya, lalu kenapa kita harus saling merampas hak demi mempertahankan keyakinan keagamaan versi “kita” dan menghukumi keyakinan yang berbeda sebagai salah dan penganutnya patut diadili, diusir bahkan dibunuh? Nampaknya dibutuhkan sebuah bangunan teologi yang mengajarkan kita untuk menghargai kemanusiaan dibalik perbedaan, sebuah Teologi Perbedaan.

Ketunggalan dan Keragaman
Dalam konteks adanya perbedaan-perbedaan dalam keyakinan, memang ini patut mendapat perhatian khusus. Namun yang lebih penting adalah bagaimana membangun semangat ketunggalan keyakinan dengan tetap menghargai perbedaan-perbedaan pendapat serta tidak dengan cara-cara anarkis yang menunjukkan adanya fanatisme berlebih serta sektarianisme. Selayaknya, ketunggalan ummat dibangun dengan cara-cara yang santun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi adanya perbedaan dalam umat seringkali tidak dapat difahami dengan baik oleh sebagian kita. Hal ini karena dengan tegas Allah mengatakan bahwa ketunggalan umat merupakan salah satu hakekat kehidupan manusia. Dalam Al Qur’an, Allah berfirman “Dan ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku (QS. al-Mu'minun :51-52).”

Dalam menafsirkan ayat ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa ayat ini harus difahami sebagai dasar pandangan tentang Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-Islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).

Lalu seperti apakah Islam memandang perbedaan secara teologis? Ternyata Allah tidak hanya menekankan ketunggalan umat, tapi juga mengakui adanya potensi perbedaan. Firmannya, “Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih mengenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama mereka (QS. al-Baqarah : 213).”

Dari ayat diatas bahkan terlihat bahwa kecenderungan untuk berpecah-belah diantara sesama umat manusia justru muncul setelah datangnnya para utusan yang membawa ajaran Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, perbedan ini muncul karena adanya perbedaan dalam memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, disamping itu juga karena adanya variasi cara pendekatan kepada ajaran itu yang selanjutnya membuahkan variasi dalam interpretasi.

Teologi Perbedaan
Adanya perbedaan belum menjadi masalah seandainya tidak digabung dengan adanya nafsu benar sendiri (truth claim dan salvation claim) serta sektarianisme. Kondisi inilah yang acapkali mendorong kelompok-kelomppok umat yang berbeda-beda kepada kecendrungan untuk berpecah dan bertentangan.

Padahal Allah tidak dengan begitu saja membiarkan perbedaan diantar ketunggalan umat itu tercipta. Bahkan perbedaan yang ada merupakan bagian dari Kehendak Ilahi dengan sebuah tujuan suci agar manusia yang berbeda-beda tersebut berlomba-lomba untuk beranjak ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in virtue and piety).

Al Qur’an menegaskan, “Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu semua untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan (QS. al-Ma'idah : 51).”

Keterangan Kitab Suci ini menegaskan bahwa adanya perbedaan-perbedaan atau varian dalam menginterpretasi serta mengaplikasikan ajaran Tuhan dalam kehidupan keseharian merupakan sebuah skenario Tuhan untuk mengajari manusia tentang bagaimana menyikapi dan mengolola perbedaan agar kehidupan kemanusiaannya menjadi lebih baik.

Pernyataan Al Qur’an ini juga bermakna bahwa kahidupan dunia bukanlah tempat untuk mendapatkan pembenaran final atas apa yang umat manusia perselisihkan karena sesungguhnya penjelasan atas berbagai perbedaan tersebut telah dijanjikan akan diberikan oleh Allah kelak ketika semua umat manusia telah kembali kepada-Nya.

Bahkan bila ada satu kelompok yang merasa benar sendiri dan berinisiatif untuk memberikan hukuman kepada kelompok lain yang berbeda dengannya, maka hal ini sangat dibenci oleh Allah, bahkan digelari sebagai kaum musyrik. "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka (yakni, antara lain, mengaku benar sendiri) (QS. al-Rum : 32).”

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa Islam dengan indah telah melukiskan sebuah bangunan Teologi Perbedaan. Sebuah kerangka teologis yang memberikan tuntunan kepada umat untuk menghadapi perbedaan secara produktif dengan menjadikan perbedaan yang ada sebagai sarana bagi manusia untuk menggapai kehidupan keseharian yang lebih bermartabat dan manusiawi. Teologi Perbedaan adalah agama yang hadir untuk manusia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama