Ustadz, Jangan Selewengkan Potensi Umat!

Beberapa waktu yang lalu, seorang khatib sholat jumat yang saya ikuti menyampaikan ‘kebencian’nya terhadap Barat pada umumnya dan Amerika pada khususnya. Dengan berapi-api, sang khatib menumpahkan kekesalan dan melemparkan segala pokok persoalan masyarakat Islam kepada Barat dan Amerika sebagai pihak yang paling bertanggungjawab.


Mulai dari persoalan tawuran antar pelajar dan mahasiswa, meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan pemuda, pergaulan bebas di tengah-tengah masyarakat, melonjaknya harga kebutuhan pokok, sampai pada persoalan politik negeri ini yang tak kunjung ketemu ujung pangkalnya, semua dilemparkan pada Barat dan Amerika.

Mendengar khutbah pada jumat tersebut, alih-alih menumbuhkan rasa keimanan dan meningkatkan ketakwaan (yang memang sudah rawan) dalam hati, saya malah merasa lucu dan hampir tertawa terbahak. Seandainya tak menyadari bahwa saya harus menjaga psikologi jamaah jumat siang itu, sudah saya interupsi khatib yang menurut saya terlalu simplifikatif dalam menjelaskan persoalan umat.

Bahkan pada salah satu bagian khotnah, si khatib mencoba memperjelas pembahasannya dengan berteriak lantang mencaci para remaja putri yang suka memakai t-shirt ketat dipadu dengan celana top tank, lagi-lagi Barat dan Amerika menjadi penyebabnya. Semua itu –menurut si khatib, adalah akibat menyebarluasnya tontonan-tontonan tidak senonoh dari sana.

Ngapain si khatib hanya mempersoalkan serbuan tontonan yang menurutnya tidak bermoral itu? Kenapa si khatib tidak mempersoalkan ketidakmampuannya sebagai khatib untuk memberi penjelasan kepada umat tentang tontonan dan cara berpakaian yang baik? Saya sampai berfikir negatif, jangan-jangan kobaran permusuhan terhadap Barat dan Amerika dilakukan hanya untuk menutupi ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri dari si khatib untuk menjalankan fungsinya sebagai jangkar moralitas umat?

Dalam hati saya bertanya-tanya, ‘begitu hebatnyakah Amerika?’, ‘betulkah Barat begitu digjaya?’, ‘apa benar Amerika dan Barat sungguh super power?’, dan beragam pertanyaan serupa itu yang terus mengusik kesadaran saya saat itu. Namun ini mungkin hanya menjadi pemikiran saya saja, sebab di saat yang sama, saya melihat bahwa jamaah sholat jumat banyak juga yang manggut-manggut mendengar pemaparan sang khatib.

Di akhir khutbah, saya merasa aura kemarahan yang membara dan aroma kebencian yang bengis saat takbiratul ihram sholat jumat dikumandangkan. Jamaah tenggelam dalam kesadaran palsu menempatkan Amerika dan Barat sebagai common enemy melalui hegemoni khatib. Energi umat terfokus untuk melawan Amerika dan Barat dengan model perlawanan yang abstrak dan over-ideologis.

Padahal kalau mau jujur, betapa banyak persoalan internal umat Islam yang bisa diselesaikan daripada hanya menghabiskan energi untuk mencaci Amerika dan Barat. Musuh utama umat saat ini bukanlah mereka, melainkan yang paling mendasar adalah rasa inferior umat dihadapan Amerika dan Barat.

Alangkah efektif dan produktifnya bila energi yang dimiliki umat dialokasikan secara fokus untuk menyelesaikan persoalan kebersihan, kemananan lingkungan, pemberantasan korupsi, mendorong reformasi birokrasi, perbaikan akhlak dan moralitas, peningkatan kualitas pendidikan generasi muda, dan lain sebagainya.

Coba bayangkan kalau seandainya khatib ini tidak sendiri, tapi ada begitu bayak khatib dengan cara berfikir yang sama, maka celakalah umat ini. Umat hanya diajak berorani dan merasa puas dengan kenikmatan palsu menghancurkan Barat dan Amerika dengan caci-maki dan cercaan. Pada saat yang sama, umat tetap terpenjara dan berputar-putar pada lingkaran setan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Atau jangan-jangan si khatib lebih percaya pada proses peninabookan umat dari pada memandu mereka untuk membebaskan diri dari masalah rilnya. Kondisi kesadaran yang ditawarkan oleh si khatib dalam khutbanya telah membuat umat menjadi canggung dalam proses perubahan sosial, tak pernah diajari untuk beragama secara kritis dan fungsional.

Mereka hanya dijejali dengan konsepsi iman yang over-ideologis, namun mandul untuk menjadi fondasi lahirnya generasi umat yang progresif revolusioner. Kondisi ini membuat saya teringat dengan pesan yang didengungkan oleh Vladimir Illich Ulyanof, “tanpa teori revolusi, tidak akan pernah ada gerakan revolusi”.

Ya, bila saban jumat umat hanya dijejali dengan kesadaran yang simplifikatif dan perlawanan terhadap pseudo-enemy --dalam hal ini Barat dan Amerika, bila saban waktu umat dijauhkan dari persoalan ril kehidupannya --dalam hal ini kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, maka energi umat hanya akan habis untuk melawan musuh yang demikian abstrak.

Saya juga bukan pembela setia dari Barat dan Amerika, dan menganggap mereka tak memiliki salah dan cacat, tapi menjadikan mereka sebagai sebab dari segala sebab bagi semua persoalan umat adalah sebuah kesesatan berfikir yang akut. Kita seharusnya belajar untuk menerima kenyataan bahwa masih banyak persoalan umat yang menanti kebersamaan dan solusi cerdas dari semua umat.


Saatnya energi umat dikelola dengan baik dan diarahkan pada sasaran yang tepat. Dibutuhkan khatib yang berkesadaran progresif dan revolusioner untuk senantiasa memandu umat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalahnya. Khatib yang bukan hanya fasih berkhutbah tentang bobroknya Amerika dan Barat, namun juga mampu menjadi inspirator gerakan pembersihan dan pengamanan lingkungan, pemberantasan korupsi, mendorong reformasi birokrasi dengan solusi yang aplikatif dan tidak apologetik!

2 Komentar

  1. Itu gejala umum Anakku yang telah menular ke Ustadz yg menimpakan kesalahan kepada golongan lain pada hal kesalahan itu adalah kesalahan bersama. Walau Ayah bukan Ustadz tetapi setuju dengan pandangan tersirat dan garis besar pikiran Ananda, mengoreksi diri sendiri lebih dahulu....

    BalasHapus
  2. Terima kasih komentar dari Ayahanda :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama