[09.05.2012] Sabtu, 5 Mei 2012 di pelataran Plaza Iptek
Universitas Hasanuddin menjadi ajang ‘pengadilan’ atas sebuah buku kumpulan
cerpenku yang berjudul “Mata Itu Aku Kenal”. Buku yang aku terbitkan melalui
jalur ‘self publishing’ di LeutikaPrio Jogjakarta, terbit pada bulan Januari
2012. Atas desakan beberapa kawan, aku tuliskanlah setandan apologia yang
mendasari penerbitan buku ini.
"Apakah
setiap tindakan harus dilandasi oleh sebuah alasan?"
Tentu saja, sebab bila tanpa alasan, maka tindakan anda tidak rasional, dan
bila tidak rasional, maka itu sebentuk kegilaan. Inilah alur logika umum yang
terbangun dalam masyarakat modern yang beradab. Segala hal harus beralasan
rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional pula.
Ini adalah sebuah jebakan, sebentuk perangkap
mematikan dari anomali rasionalitas modern. Sebab kegilaan akan rasionalisasi
terkadang malah memukul balik, dan memaksa kita untuk mencari-cari alasan agar
bisa terkategori rasional, meskipun alasan tersebut terkadang jauh dari
rasional. Bangunan rasionalisasi yang berujung pada sesuatu yang irasional.
Demikianlah alasan yang melandasi tulisan ini
dibuat, sebagai upaya menghadirkan sebentuk pertanggungjawaban rasional atas
lahirnya segepok tulisan berwujud cerita pendek dalam Mata Itu Aku Kenal. Tulisan ini adalah rajutan rasionalisasi atas
proses kreatif yang berlangsung selama bertahun-tahun, proses yang sebelumnya
bersifat acak, chaos, disorder.
Tulisan ini memiuh proses panjang itu dalam
sebuah peta yang ketat, sebuah keteraturan jalan, sebuah order; bahwa apa yang
tersajikan dalam kumpulan cerita pendek Mata
Itu Aku Kenal adalah buah dari sebuah proses rasional, sistematis dan
terencana. Tulisan ini adalah sebentuk apologia, agar terbitnya Mata Itu Aku Kenal mendapatkan
pengakuan dari masyarakat beradab, bahwa dia adalah hasil kerja rasionalitas
manusia.
Tapi benarkah demikian? Tentu tulisan ini
tidak bermaksud membongkar boroknya sendiri; mengukuhkan anomali rasionalitas;
atau menunjukkan kegilaan akan rasionalisasi secara telanjang. Minimal, tulisan
ini memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh rasio mereka yang membacanya, bahwa
mereka ternyata sedang membaca sesuatu yang rasional; yang agung; yang luhur.
Tanpa berpanjang kata dan berlebar kalimat
lagi, segera saja tulisan ini mendedahkan alasan pokok kenapa Mata Itu Aku Kenal ini hadir.
[pertama]
Pada mulanya adalah sebentuk narsisme. Kehendak untuk menemukan telaga tempat
mematut-matut diri menikmati kegagahan wajah sendiri ala Narcissus. Kumpulan
Cerpen Mata Itu Aku Kenal lahir
sebagai manifestasi cinta diri; cinta akan kemampuan diri menulis cerita.
Sebagaimana Narcissus yang kemudian ditemukan
mati tenggelam dalam telaga, begitupun dengan Mata Itu Aku Kenal, dia telah menyedot eksistensi penulisnya:
meleleh dan larut dalam teks yang terangkai dalam cerita-cerita dengan beragam
tema, alur, model, gaya dan judul. Penulis menikmati dirinya, sepuas-puasnya,
tanpa sesiapa yang berhak menginterupsi eksepresi cinta diri itu, manifestasi
cinta Narcissus tersebut.
[kedua]
Selain sebagai anak perselingkuhan dengan diri sendiri, Mata Itu Aku Kenal hadir sebagai upaya melegalkan kebohongan.
Menulis cerita adalah menuturkan kisah yang tidak benar-benar terjadi, hanya
bayang-bayang kejadian. Lalu apa nama paling tepat atas itu selain kebohongan? Parahnya
lagi, kebohongan ini diakui, diterima dengan sah sebagai sesuatu yang legal dan
rasional, oleh karena itu dia sakral.
Kebohongan jenis ini, oleh masyarakat beradab
adalah kebohongan yang kreatif, dusta yang ekslusif dan terhormat. Kebohongan
yang disanjung-sanjung, dianjur-anjurkan untuk dilakukan sebagai ajang
menunjukkan kreatifitas. Makin rasional sebuah kebohongan disusun, maka dia
semakin estetik, dia semakin indah dan cantik. Mata Itu Aku Kenal adalah sebentuk kebohongan legal.
[ketiga]
Hampir terlupa, Mata Itu Aku Kenal adalah
manifestasi dari kehendak untuk menjalani kehidupan orang lain. Sebuah hasrat
yang aneh memang! Dengan menulis cerita yang di dalamnya ada setting, tokoh,
plot, serta dialog dan adegan, maka saat itu anda sedang merecoki hidup
seseorang.
Anda mengatur-atur hidup sang tokoh --orang lain itu, dengan memaksakan apa
yang harus dia lakukan dalam sebuah adegan, dan apa yang mesti dia ucapkan
dalam sebuah dialog. Belum lagi, anda mengatur bagaimana gaya dan jalan
hidupnya, serta konflik macam mana yang dia alami. Dan yang paling kejam, anda
terkadang menentukan kapan dan dengan cara apa dia meninggal!
[keempat]
Pada akhirnya, ini adalah upaya pemenuhan hasrat purba manusia: menjadi
sempurna. Penulis, meniru-niru Tuhan menjadi pencipta, bahkan pada akhirnya
menjadi Tuhan bagi ceritanya! Mata Itu
Aku Kenal adalah sebuah semesta,
sebuah universum yang diciptakan oleh penulis dengan hukum-hukum yang
ditentukannya sendiri tanpa campur tangan siapapun. Bukankah itu kerja-kerja
ketuhanan?
Demikianlah apologia ini disusun dengan
serasional mungkin, dengan harapan agar Mata
Itu Aku Kenal mendapatkan pijakan yang kukuh di tengah masyarakat yang
selalu percaya bahwa tak ada sesuatupun yang terlahir karena ketidaksengajaan
dan tanpa alasan.
Dinda Acho Noor, Ustadz Zaid Arsyi El Muataliyah, Bang Sulhan Yusuf, dan Bung Asran Salam
Ustadzah Hanah El Abidah dan Bunda Muchniart Azzahrah
saya jadi penasaran karena tidak tahu mata itu aku kenal
BalasHapuscieeet yang punya rumah baru....
BalasHapusmau kenalan dengan Mata Itu Aku Kenal? jemput sendiri di Takalar. hehehehe...