Berselancar Mencari Yang Nyata


[05.06.2012] Bagaimana kabarmu duhai rumahku di dunia maya? Lama aku tak menyambangimu, sejak “Setandan Apologia atas Kelahiran Mata Itu Aku Kenal” aku titipkan pada sebuah rabu siang, 09 Mei 2012. Semoga laba-laba usil tak menghiasi sudut-sudutmu dengan jejaringnya. Memangnya di dunia maya juga ada laba-laba, mahluk pencinta jaring itu? Ah, apa peduliku?

Surat ini aku kirimkan dari dunia nyata, menyeberangi labirin yang membatasi kedua sisi kehidupan yang sebenarnya saling berangkulan. Kesibukanku di dunia nyata membangun kepenatan yang sangat atas tubuhku sehingga tak pernah punya langkah untuk sampai mengetuk pintumu dan sekedar bertamu.

Ah, beragam aktivitas membekapku dalam rutinitas fisik yang melelahkan dan meletihkan. Mambuatku tak berminat untuk berselancar di permukanmu: monitor. Belajar menyayangi binatang peliharaan, aktivitas yang tak terlalu aku sukai sebenarnya. Memandikan ayam ayam ‘ketawa’, sejenis ayam suara kokoknya lebih mirip orang terkekeh.

Aku melakukannya demi cinta pada si buah hatiku yang menggemaskan, Mehdi. Dia begitu menyukai ayam ‘ketawa’ itu. Saban hari, begitu aku selesai sholat subuh, dia akan mengajakku untuk menyaksikan ayam ‘ketawa’nya terkekeh sambil mengepakkan sayap dengan gagah. Karena kegemarannya pada ayam itulah, maka dia dihadiahi seekor ayam ‘ketawa’ oleh kakeknya dari Bone.

Maaf, aku kembali menikmati dunia nyataku, dunia yang sebelumnya sempat begitu sering kutinggalkan untuk sekedar melepas penat di rumah mayaku, dirimu. Dunia yang memudahkan segala macam informasi berlalu lalang dan membangun silang sengkarut. Dunia yang meluluhlantakkan keperkasaan ‘kuasa’ pengetahuan yang sebelumnya elitis.

Kau, rumah mayaku, rumah tempat di mana kebenaran mengalami krisis berbahaya. Kebenaran yang kian diselubungi oleh kekaburan yang membingungkan, kebenaran yang tak lagi berarti apa-apa. Bagaimana kabarmu setelah sekian hari saya tak menjengukmu? Semoga simulakra Om Jean Baudrillard tidak kian membenamkanmu dalam pastis, sebuah ‘parodi kosong’, sebuah ‘copy kosong’ yang tidak memiliki arti apa-apa.

Memasukimu, rumah mayaku, seperti memasuki sebuah wilayah yang tanpa kejelasan asal-usul, sebuah wilayah hyperrealitas yang di produksi melalui proses simulasi. Kadang aku memang takut memasukimu, sebab seperti kata om Baudrillard, simulasi adalah proses proliferasi dalam bentuk penciptaan obyek (model-model realitas) secara simulatif, yaitu obyek yang di dasari oleh referensi yang tidak nyata atau tidak jelas asal-usulnya. Itu berarti, memasukimu sama dengan memasuki dunia antah berantah, lebih belukar dari dunia belantara Amazon sekalipun.

Inilah ruang kontestasi, ruang budaya (culture field) di mana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan bertamu. Ruang di mana semua macam paradigma, pendekatan, sudut pandang, perspektif dan kesimpulan-kesimpulan dijajakan dan ditawarkan untuk menjadi menu menarik bagi riuh ramainya pertarungan kepentingan dan kuasa yang melingkupi. 

Tapi kali ini, aku halau rasa takut itu, aku menghadapinya dengan rindu. Sebab aku percaya, rumah mayaku adalah mahkamah mediasi, sebuah panggung budaya (culture field) tempat segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan menjajakan diri sebagai kontestan yang memiliki hak dan kewajiban serta kemungkinan-kemungkinan kultural yang sama.

Memang ketika mengunjungimu, aku bisa menjadi subyek yang pecah berkeping-keping dan mungkin tak bisa berwujud secara utuh. Tapi bukankah memang demikianlah hakekat ‘aku’ bahkan di dunia nyata sekalipun? Om Jacques Lacan menilik itu secara lebih jernih bahwa keterpecahan menjadi hakekat manusia sejak dia terpaksa meninggalkan Yang Real dan terjebak pada bayang Yang Simbolik dan Yang Imajiner.

Apalagi, kehadiran Om Slavoj Zizek menyadarkanku bahwa selalu ada sesuatu yang tak tersentuh pada upaya terus-menerus melakukan strukturasi pada tahap Yang Imajiner dan Yang Simbolik untuk mengkonstruksi Yang Real. Sesuatu yang tak tersentuh itulah cogito, subyek yang “gagal” diidentifikasi oleh Lacan.

Tapi, cogito yang ditemukan Zizek memiliki wujud yang berbeda dengan cogito Rene Descartes. Zizek meyakini bahwa cogito itu kosong, senantiasa membuka diri bagi yang lain untuk bisa mengidentifikasi diri. Sementara cogito Descartes adalah cogito tertutup, cogito yang penuh, yang utuh dan otonom.

Oh ya, sepertinya aku sudah terlalu jauh ngelantur ya, padahal kepentinganku menulis surat ini tak lain dan tak bukan hanya untuk mengetahui kabarbu beberapa hati terakhir selama aku tak menyambangimu. Semoga kau tak bingung mencium aroma tubuhku yang kental dengan bau keringat karena aktivitas fisik di dunia nyata. Selamat datang kembalil rumah mayaku.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama