[13.11.2012] Sekira pukul 16.40 wita
kupacu sepeda motorku meninggalkan kantor bergerak menuju rumah. Begitu sampai
di pertigaan jalan A. P. Pettarani dengan jalan Hertasning, lampu lalu lintas
dalam keadaan merah, tandanya untuk berhenti.
Perlahan aku berhenti
pas di samping kiri sebuah mobil yang dikendarai oleh sepasang suami istri yang
sudah lumayan tua. Kaca mobil di bagian depan diturunkan sehingga aku bisa
melihat dengan jelas wajah bapak yang mengemudikan mobil tersebut.
Tak berapa lama kami
berhenti, seorang lelaki dengan badan lumayan atletis, rambut ikal sampai
tengkuk, bercelana jeans, memakai baju –semacam
seragam resmi karena dilengkapi sulaman nama kampus di punggung dan logo kampus
di salah satu lengan baju-- sebuah kampus di bilangan jalan Rappocini
mendekat ke arah bapak tua sambil menenteng sebuah dos mi instan.
Pada salah satu sisi dos,
tertempel selembar kertas putih yang di atasnya terlihat tulisan ‘Sumbangan untuk bencana banjir Sulbar’
yang ditulis seadanya dengan spidol. Rupanya pemuda tadi seorang mahasiswa yang
melakukan pengumpulan sumbangan di jalan.
Begitu didekati, si
bapak tua refleks membuka laci dashboard mobilnya, ditemukannya sebuah koin
lima ratus rupiah dan langsung dimasukkan ke dalam dos si mahasiswa yang
meminta derma.
Yang membuatku
tercengang dengan kejadian tersebut, bukan jumlah uang yang dimasukkan si bapak
tua ke dalam dos, melainkan respon si mahasiswa penerima sumbangan itu yang
membuat kaget.
Begitu koin masuk ke
dalam dos, bukannya mengucapkan terima kasih, si mahasiswa justru memasang muka
jutek, rokok terselip di sela bibir, matanya melirik sinis ke arah si bapak
tua. Tak lama, pemuda itu memungut koin dari dos dan dengan jumawa menyerahkan
ke loper koran yang berdiri tak jauh darinya.
Aku merasa ada yang
salah dengan kejadian ini, begitu lampu berwarna hijau menyala, kupacu sepeda
motorku dengan memikirkan dalam-dalam kejadian barusan. Aku mereka-reka suasana
psikologis yang tercipta.
Mahasiswa yang memiliki
kesetiakawanan sosial tinggi, dengan rela berpanas-panas sepanjang siang
menengadahkan dos meminta derma untuk saudaranya yang kesusahan adalah sebuah
sikap yang patut diapresiasi positif.
Sumbangan dari pengguna
jalan juga menunjukkan jalinan kesetiakawanan sosial yang terbangun dari
masyarakat kita. Kesetiakawanan yang lahir dari hati yang tulus dan ikhlas,
tanpa harus tahu, kenal dan karib dengan penerima dermanya nanti.
Di sana juga ada
kesalingpercayaan antar sesama, kepercayaan pengguna jalan kepada para
mahasiswa yang berperan sebagai katalisator tersalurnya sumbangan tidak akan
melakukan penyelewengan.
Namun peristiwa sore
ini, peristiwa yang melibatkan seorang bapak tua, seorang mahasiswa berbadan
atletis berambut ikal, seorang loper koran, dan sebuah koin lima ratus rupiah, membuat
saya bertanya, apakah kesetiakawanan sosial yang selama ini aku percayai ada,
tak lebih dari sekedar topeng.
Topeng untuk menutupi
kebejatan kita masing-masing yang sudah semakin individualis dan intoleran
terhadap perbedaan. Topeng untuk menutupi bopeng di muka kemanusiaan kita yang
kian carut-marut dan tanpa perasaan.
Tentu saja, aku tak
berhak menghakimi jumlah derma yang disodorkan si bapak tua –sebesar lima ratus rupiah, karena
mungkin sampai di situ titik keihklasannya memberi toleransi. Atau mungkin ada
alasan lain? Entahlah.
Yang kusesalkan adalah
sikap si mahasiswa, apa hak yang dimilikinya untuk mengalihkan sumbangan si
bapak tua yang diniatkan untuk korban bencana banjir di Sulbar ke seorang loper
koran? Apa hak dia menghakimi si bapak hanya karena jumlah sumbangannya kecil?
Tapi sudahlah, aku juga
toh tak memiliki hak untuk melakukan audit terhadap sumbangan yang masuk dan
tersampaikan. Meskipun aku juga tetap bertanya-tanya, bagaimana cara mengukur
akuntabilitas proses berderma dengan cara seperti itu?
Jadi mari kita memasang
topeng masing-masing; mahasiswa menjalankan peran sebagai pihak yang paling
cepat tanggap dalam merespon bencana dengan berbagai tindak kepedulian,
pengguna jalan menjadi pihak yang dengan setia berderma melalui dos-dos yang
disodorkan mahasiswa di jalan-jalan.