[04.11.2012] “Sudah dapat?” Saban
pagi, tanya itu menghampiri gendang telingaku. Tanya yang dilontarkan oleh
seorang kawan, kawan yang setia memperhatikan aktivitas pagiku: ngupil. Dengan
tetap memutar-mutar ujung jari telunjukku di lubang hidung, aku menjawab
sekenanya, “Belum nih, berminat membantuku mencarinya?”. Setelah itu, kami
berdua tertawa berderai.
Bagi sebagian orang,
aktivitas ngupil atau mencari upil yang nangkring di lubang hidung adalah
tindakan jorok, bahkan hina dan nista. Tapi bagi para ngupilers, ngupil adalah
aktivitas yang nikmat, bahkan disejajarkan dengan ML. Dengan ngupil, seorang
ngupilers akan melambung dalam kenikmatan yang luar biasa sumringah.
Bahkan, aku mengenal seorang
pejabat yang berprinsip: tiada hari tanpa ngupil. Ketika pejabat tersebut lagi
sibuk menyiapkan konsep kebijakan, maka saat dia duduk di depan laptop dan
menuliskan pikirannya, yakinlah bahwa dia akan memulainya dengan mengupil.
Terkadang ketika
memimpin rapat dengan bawahannya, dia mengulik-ulik lubang hidungnya dengan
serius tanpa peduli dengan kehadiran stafnya yang Cuma bisa saling pandang dan
tersenyum kecut. Ngupil itu begitu berharga bagi sang pejabat. Belum lagi
ketika upil sudah menempel di ujung jarinya, dia akan memilin-milin upil itu
menjadi bulat, lalu dijentikkannya ke sembarang arah.
Tapi disitulah
kekuatan ngupil, membuat sang pejabat lebih lancar berpikir dan lebih mudah
menjelaskan pikiran-pikirannya. Ngupil menjadi sumber inspirasinya dalam
merumuskan kebijakan. Ngupil menjadi aktivitas yang berguna dan berkontribusi positif
bagi pekerjaannya.
Kalau dipikir-pikir, mungkin tak ada orang yang
tidak pernah ngupil, sebab kehadiran upil di dalam lubang hidung tentu akan
mengganggu. Cuma mungkin cara dan lokasinya saja yang berbeda, ada yang ngupil
di sembarang waktu dan tempat, ada juga yang ngupil dengan sopan di waktu dan
tempat tersembunyi.
Mengupil itu lumrah adanya, cuma terkadang kita
malu mengakui ahwa kita juga pernah ngupil. Setiap kita pasti punya upil, kotoran
yang bersumber dari lendir yang mengering. Lendir itu dihasilkan oleh membran
mukosa yang berada di rongga hidung kita.
Kehadiran lendir itu dibutuhkan untuk menghalau
debu dan benda-benda asing lain yang masuk ke lubang hidung dengan menddompleng
pada oksigen ketika kita bernafas. Ketika kemudian lendir itu memerangkap
sekumpulan debu lalu mengering di dinding lubang hidung, dia menjadi upil yang
kadang menyebabkan rasa geli.
Rasa geli di lubang hidung itulah yang menjadi
pemicu seseorang mengupil, dan melekatlah predikat ngupilers. Upil yang
menumpuk di lubang hidung tentu akan mengganggu aktivitas karena menimbulkan
rasa tak nyaman ketika bernafas, terasa ada yang mengganjal.
Tapi, selain bermanfaat, ngupil ternyata juga
berbahaya. Sebab di dalam rongga hidung kita terdapat tulang
yang memisahkan hidung dengan otak, yaitu tulang ethmoid. Saat kita mengupil,
bisa saja secara tak sengaja tulang itu tertusuk dan luka. Bila sudah demikian,
maka cairan di otak bisa bocor. Bocornya cairan dari otak akan berakibat meningitis
(radang selaput pelindung sistem saraf
pusat – otak).
Namun ini bukan berarti bahwa ngupil itu pantas tidak lagi
dilakukan, aktivitas ini tetap boleh dilakukan, tentu dengan cara-cara yang
lebih aman dan sehat. Misalnya: gunakan jari kelingking agar lubang hidung
tidak terpaksa menerima tangan yang lebih besar, dan lebih penting, cucilah
tangan sebelum ngupil.
Sampai sekarang, termasuk ketika membuat tulisan ini, aku
masih tetap menyempatkan diri untuk ngupil di sela-sela kesempatan menekan tuts.
Ini sebenarnya tidak terlalu sehat, karena tanganku berpindah silih berganti
dari tuts ke lubang hidung. Tapi mau bagaimana lagi, ngupil itu enak sih.
Oh ya, sebagai orang Islam ada dua pertanyaan besar yang
menggelitik rasa ingin tahuku terkait ngupil ini: (1) Apakah Nabi Muhammad juga
pernah ngupil? (2) Kalau beliau juga pernah ngupil, bagaimana adabnya? Apakah
ada sunnah ngupil? Mungkin teman-teman yang punya pemahaman lebih dalam agama
bisa membantu mencarikan dalil terkait aktivitas ini?