[25.04.2013] Entah
siapa yang menggerakkan kepalaku untuk tengadah.
Entah apa
yang membetot leherku menatap jauh ke seberang meja di depan sana. Tak bisa
tidak, aku mengangkat kepala, memandang ke seberang meja, tepat pada posisi kau
duduk, juga menatap ke arahku.
Rupanya
di balik meja sana, sepasang matamu yang sebening embun, juga sedang menatap
tajam ke arahku.
Kau
tahu? Aku kaget ketika mata kita saling mematuk, ujung paruhnya sampai ke hati.
Mataku menjelajah
ke bening matanya, tatapnya menelusup jauh ke dalam keruh danau hatiku yang
bergolak.
Apa
gerangan yang dilihatnya di sana? Tak sedikitpun ia bergeming.
Maka matakupun
lekat tak goyah. Kerudung hijau daun yang bertengger longgar di permuakaan rambutnya,
mengingatkanku pada hijau daun maple di awal musim semi.
Sempurna
musim semi hadir di seberang meja, danau bening di matanya, dan rimbun maple di
kerudungnya.
Hidungnya
seperti bebukit yang masih menyisakan bongkah-bongkah salju terakhir di
penghujung musim dingin.
Aih,
sepasang bibirnya selengkung cakrawala pagi musim semi, bermandi semburat cahya
mentari yang hangat.
Dia masih
menatapku, matanya berkirim pesan: lepaskan jaket tebalmu, saatnya bermandi
kehangatan musim semi.
Gadis itu
kemudian berlalu: tak usah kau mengenal namaku, ingat saja aku si gadis musim
semi.