[17.05.2013]
Tak ada yang istimewa yang aku lakukan hari ini, padahal hari ini 17 Mei 2013 adalah Hari Buku Nasional. Ini mungkin karena Hari Buku Nasional tidak
sepopuler Hari Kesadaran Nasional yang juga jatuh pada tanggal 17 setiap
bulannya. Tanggal 17 setiap bulan, diperingati oleh pegawai negeri sipil dengan
mengadakan upacara pengibaran bendera.
Bahkan
Hari Buku Nasional masih kalah populer dari HarPitNas atau Hari Kejepit
Nasional. HarPitNas bukanlah hari nasional resmi, tapi di kalangan pegawai
negeri sipil, HarPitNas lebih penting dari perayaan manapun. HarPitNas adalah
hari kerja yang terletak di antara dua tanggal merah, sehingga otomatis
dijadikan hari libur.
Kembali
ke Hari Buku Nasional hari ini, selepas jumat kumanfaatkan waktu untuk
berlama-lama berdiri di depan rak buku yang tak seberapa. Kuamati satu persatu
judul buku yang nampak, kutunjuk judul buku yang belum sempat aku baca, meski
sudah lama menjadi penghuni rak. Aku tersenyum sendiri, ternyata masih banyak
perbendaharaan bacaan yang bisa aku lahap di saat situasi dompet tidak
memungkinkan adanya penambahan koleksi.
Kuamati
lagi jejeran bukuku, terbayang kebiasaanku menggendong si Mehdi, anak keduaku,
bila dia agak rewel. Begitu dia dihadapkan pada buku, dia akan sumringah, dan
tangan-tangan mungilnya akan menjangkau-jangkau ke arah buku. Entah kebetulan
atau apa, Mehdi paling suka bila aku gendong dia di depan buku-buku biografi,
dia paling suka menarik-narik biografi Bung Hatta, dan Gandhi.
Kalau si
sulung, Cinta, lain lagi, dia paling suka terlibat bila aku sedang bebersih
buku, meluruskan susunan buku di rak, atau bila aku sedang menyampul buku baru.
Dia paling suka bertanya, “Buku baru ini,
Tetta?” atau “Apa bacanya ini, Tetta?”
sambil membuka-buka buku yang akan menjadi penghuni baru rak bukuku.
Rak
buku sederhana yang sering aku klaim sebagai perpustakaan mini ini telah
menemaniku selama dua tahun lebih, sekarang sudah mulai terlihat sesak. Di lantai
paling bawah –dari lima lantai yang ada,
tumpukan buku bercampur dengan bundel majalah, makalah, ataupun berlembar-lembar
coretan tanganku yang belum sempat aku ketik.
Pada saat
rak buku itu baru memasuki kehidupanku, mertuaku sempat berkomentar, “Segituji pale’ bukunya, raknya terlalu besar,”
namun setelah berbilang tahun, mertuaku kembali berkomentar, “Ternyata bisa tonji penuh di’, aku kira
tidak.” Aku cuma tersenyum menanggapi komentarnya di waktu yang berbeda dan
dengan nada serupa, seolah tak percaya kalau aku begitu menyukai buku. Untuk saja
aku tidak dituduhnya lebih mencintai buku dibanding anaknya, hehehehe...
Memelototi
jejeran buku-bukuku, aku teringat dengan Perpustakaan Kelurahan Sombala’bella[1] yang
terletak tak jauh dari rumah, gedungnya bersambung dengan Kantor Lurah. Aku
sempat melongok sekilas ketika pulang dari sholat jumat, tadi. Sayang, aku tak
membawa kamera, jadi tak ada fhoto yang bisa kusajikan.
Kondisi
perpustakaan kelurahan tersebut begitu memprihatinkan. Lantai semennya
berlumpur karena limpahan air hujan dan sudah berbilang bulan, atau mungkin
tahun, tak terjamah. Pintunya terbuka abadi, di dalam hanya kelihatan sebuah
rak lapuk tanpa buku, bahkan tanpa kertas secuilpun. Beberapa ruas bambu --sepertinya tiang umbul-umbul, berserak
tak beraturan.
Entah
apa yang ada di benak pihak kelurahan dan masyarakat dengan diterlantarkannya perpustakaan
tersebut, yang pasti, aku tercekat melihat realitas ini. Kondisi perpustakaan kelurahan
seperti ini semoga saja tidak dialami oleh perpustakaan kelurahan dan desa
lain.
Realitas
perpustakaan kelurahan yang memiriskan dan tidak adanya reaksi sama sekali dari
masyarakat seperti membenarkan data statistik United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2011, yang
mengatakan bahwa minat baca rakyat Indonesia berada pada angka 0,001 yang
berarti bahwa dari seribu penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca
tinggi.
Nah, Hari
Buku Nasional sejatinya menjadi titik balik untuk memberi perhatian lebih pada buku
--dan terutama perpustakaan, sebab
penetapan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional sejak 2010, mengambil momentum
peresmian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 17
Mei 1980 silam.
Sambil
sesekali mengelus beberapa buku tua yang terselip di antara koleksiku, aku
membangun kecurigaan buruk pada pemerintah terkait tidak begitu diperhatikannya
perpustakaan. Jangan-jangan pemerintah memang sengaja tidak memperhatikan
perpustakaan dengan cara pengecilkan bahkan menghilangkan pendanaan, atau dengan
sengaja menempatkan pegawai yang tidak kompeten.
Alasan sederhana
bagi pemerintah untuk melakukan pengkerdilan perpustakaan mungkin saja: pertama,
pemerintah merasa tidak akan mendapatkan insentif politik apapun bagi
kekuasaannya dari perpustakaan; bahkan, kedua, pemerintah takut masyarakat
rajin membaca, lalu menjadi cerdas dan kritis.
Padahal
UU No, 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan telah mengatur kewajiban pemerintah
daerah agar menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah –bukan cuma perpustakaan daerah, serta menjamin
ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di wilayah masing-masing.
Tapi
apa lacur? Perpustakaan Kelurahan Sombala’bella yang terletak di pusat kota
Takalar, dan berjarak tak sampai dua kilometer dari Kantor Bupati serta Rumah
Jabatan Bupati Takalar, tak ubahnya seperti kandang kambing! Tak usah
jauh-jauh, Perpustakaan Daerah Kabupaten Takalar yang berada di lantai dua
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten
Takalar juga masih jauh dari harapan, sebagaimana pernah aku tulis
sebelumnya di sini.
Tags:
Pendidikan