[28.11.2013]
Pernahkah anda berbelanja di suatu tempat, dan uang kembalian anda diganti
dengan barang tertentu? Dengan alasan yang klise, uang receh yang menjadi hak
anda, telah menjelma menjadi sebungkus permen.
Ini
mungkin ‘lagu’ lama yang aku nyanyikan kembali, tapi tak apalah, mungkin ini
berguna untuk mengingat kembali sebuah kenangan yang sudah perlahan memudar dan
kian terasa hambar.
Kenapa
aku merasa perlu menuliskan masalah ini, karena aku mengalami kejadian serupa
namun dengan dua alasan yang membuatnya terasa istimewa.
Alasan
pertama, kejadiannya tidak terjadi di pusat perbelanjaan yang sudah jelas-jelas
bercorak kapitalistik dan bekerja dalam logika akumulasi modal. Kejadiannya
terjadi di kantin sebuah kampus, tak tanggung-tanggung, kampus pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Alasan
kedua, karena nilai nominal uang konsumen yang seharusnya dikembalikan namun
diganti dengan barang, cukup material. Bila biasanya, uang kembalian yang
diganti barang, nilainya sebesar Rp25,- sampai Rp500,-, maka kali ini nilainya
Rp1.000,--.
Siang
itu, sekira pukul dua siang, dosen yang dinanti belum juga nongol, maka aku
beranjak ke kantin untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan. Begitu tiba
di kantin yang mulai sepi, stok dan jenis lauk sudah menipis, maka kuputuskan
memesan sup ubi.
Begitu
pesanan tiba, aku beranjak ke meja kasir untuk melunasinya, sekalian membeli
sebotol air mineral dan sepotong bakwan. Belanjaan yang senilai Rp17.000,-,
kubayar dengan uang pecahan Rp20.000,-, tak lama, muncul kembaliannya di
hadapanku, selembar uang Rp2.000,- dan sepotong wafer cokelat yang tak pernah
aku pesan.
Melihat
itu, aku sedikit kagok menerimanya, apa kasirnya tak salah mengembalikan? Uang
kembalianku kan seharusnya Rp3.000,-, kok yang disodorkan cuma sebegini, apa
dia salah hitung? Kupegang uang itu dan kuperhatikan dengan seksama.
Mungkin
karena melihat keherananku, dengan muka datar, si kasir menjelaskan, “Uang
seribunya diganti dengan wafer, kami tak punya uang kecil.” Mendengar
penjelasan si kasir, dengan muka kecut kusambar uang dan wafernya baru beranjak
menuju mejaku.
Aku
masygul mendengar penjelasan si kasir, uangku diganti secara sepihak olehnya.
Itu artinya, secara tidak langsung aku dipaksa untuk membeli sesuatu yang tidak
hendak aku beli. Aku merasa ditodong untuk berbelanja lebih.
Hal
lain yang membuatku kaget adalah penilaiannya bahwa uang Rp1.000,- itu adalah
uang kecil, padahal betapa banyak deretan nilai nominal uang yang lebih kecil,
Rp25,-, Rp50,-, Rp100,-, Rp200,-, serta pecahan Rp500,- yang sampai detik ini
belum dicabut dari peredaran.
Ada
apa ini? Apa pengelola kantin di kampus ini tak tahu dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia? Bukankah aturan ini tidak mengakui
adanya alat pembayaran resmi di Indonesia selain uang? Bukankah mengganti uang
dengan wafer cokelat melanggat undang-undang ini? Dan ada ancaman pidananya?
Apakah
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, tidak berlaku di kantin
kampus ini? Di tengah orang-orang, intelektual, dan akademis? Atau pengelola
kantin tak mau peduli dengan ancaman jeratan sanksi maksimal dua tahun penjara
dan denda maksimal Rp5 miliar?
Memang,
penindakan baru akan dilakukan bila ada konsumen yang mengadukan keberatannya
atas kejadian, tapi seharusnya petugas kantin memahami bahwa mendapatkan uang
kembalian yang sesuai adalah hak konsumen yang dilindungi undang-undang.
Kemungkinan
adanya konsumen yang mengadu karena uang recehnya diganti dengan barang, tentu
saja kecil, karena biaya proses hukumnya akan lebih besar, tapi kejadian ini
tentu saja merugikan, dan aku yakin, petugas kantin akan menolak bila ada
konsumen yang berbelanja dengan wafer cokelat.
Tags:
Ekonomi