http://ronaldorozalino.wordpress.com |
[25/11/2013] Syahdan, pada tahun 1945, ketika Jepang
hancur lebur oleh bom atom yang dijatuhkan sekutu di Hirosyima dan Nagasaki, Kaisar
Jepang saat itu, Hirohito mengemukakan sebuah pertanyaan yang lebih mengguncang
dari ledakan bom atom.
Saat itu, Kaisar Hirohito bertanya
singkat kepada para pembantu dan menterinya yang menghadap untuk melaporkan
tentang banyaknya rakyat Jepang yang mati dan sekarat karena terkena radiasi
bom atom, pertanyaan yang diajukan Hirohito adalah, “Berapa guru yang hidup?”
Pembantu kaisar dan menteripun
terkejut bukan kepalang, seorang Jenderal mengajukan tanya, “Mengapa paduka
menanyakan jumlah guru yang hidup?” Mendengar tanya itu, Kaisar Hirohito
terdiam dan belum bereaksi.
Sang Jenderal melanjutkan protesnya,
“Yang Mulia, saya sebagai tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa
justru guru yang Yang Mulia tanyakan, dan bukan tentara? Banyak sekali tentara
kita yang meninggal di Laut Cina Selatan, di Borneo, Celebes, Papua, Burma, dan
lain-lain. Mereka mati untuk membela Tanah Air dan Kaisar.”
Dengan bijaksana, Kaisar Hirohito
menanggapi, “Tuan-tuan, apabila profesi-profesi yang lain tidak saya tanyakan,
harap Tuan-tuan tidak tersinggung. Saya tahu banyak tentara kita yang gugur,
dan kita semua bersedih karena hal tersebut.”
Hirohito terdiam sejenak lalu
melanjutkan, “Tapi mengapa saya justru menanyakan berapa guru yang masih hidup
di Jepang, Hal ini ini karena melalui para guru, Jepang akan cepat bangkit
kembali.”
“Seperti kita saksikan bersama,
hampir semua pabrik kita hancur, banyak pakar kita yang mati, dan sekarang
negeri ini hancur dan lumpuh. Kita harus kembali mulai membangun negeri ini
dari nol, dan hanya melalui gurulah kita dapat membangun kembali negeri ini.”
Lanjut Hirohito.
“Mari kita benahi pendidikan kita melalui guru-guru yang kita
punyai dan masih hidup. Melalui kerja keras kita, terutama guru-guru, saya
yakin Jepang akan bangkit kembali, bahkan akan lebih hebat dari kemampuan kita
sebelum perang terjadi.”
“Selama masih banyak guru yang
hidup, saya yakin masih ada kesempatan bagi bangsa kita untuk bangkit dari kekalahan dan mengejar
ketertinggalan!” Ujar Hirohito dengan penuh keyakinan.
Cerita ini patut menjadi renungan
kita bersama --terutama para guru,
apakah guru-guru yang dimiliki bangsa ini merupakan guru-guru yang pantas
dibanggakan sebagaimana guru-guru Jepang yang dibanggakan Kaisar Hirohito pada
tahun 1945 silam?
Renungan ini penting di tengah
carut-marutnya citra guru kita akhir-akhir ini. Mereka yang seharusnya menjadi
teladan, sumber motivasi dan inspirasi bagi peserta didik, justru memamerkan
hal-hal di luar akal sehat.
Ada guru yang melakukan pelecehan
seksual terhadap anak didiknya, ada guru yang bertindak keras di luar batas
kewajaran pada siswanya, bahkan ada guru yang dengan sengaja membuat video
porno tentang hubungan seks-nya dengan seseorang yang bukan pasangan sahnya.
Semua citra negatif ini memperkeruh
kepercayaan publik terhadap kapasitas dan kompetensi para guru. Lalu teladan
apa yang mereka tampilkan, dan inspirasi apa yang bisa mereka ilhamkan, bila
kelakuannya sudah di luar batas kewajaran manusia yang beradab.
Atau mungkin ini karena profesi guru
sudah bukan lagi dipandang sebagai pekerjaan mulia dan tidak lagi dipahami
sebagai pengabdian. Mungkin profesi ini juga sudah terinkorporasi dan ilmu yang
mereka ajarkan sudah terkomodifikasi menjadi sekedar sarana akumulasi modal
bagi para pemburu materi.