[27.08.2015]
Adzan ashar sudah berkumandang sekira lima menit yang lalu. Aku beranjak
meninggalkan notebook yang masih
sibuk menyedot file dengan ekstensi .pdf
dari beberapa situs berdomain .go.id.
Sore
itu, sepulang dari kampus, aku memilih mangkal di tempat usaha pengetikan
seorang kawan, Bang Samju –demikian aku
menyapanya, Al Fiqroh Computer, yang terletak dalam kompleks Pusat Dakwah
Muhammadiyah Sulsel.
Aku menyentuh
kaki Bang Samju yang lagi leyeh-leyehan di atas kursi, “Saya sholat dulu, notebook dan handphone saya titip ya.” Ujarku ketika dia membuka mata.
“Sudah
qomat ya?” Tanyanya sambil mengucek mata.
“Belum,
sepertinya sebentar lagi.” Jawabku sekenanya.
“Duluanlah,
saya juga akan ke masjid, barangnya aman kok di sini.” Bang Samju beranjak ke
dalam untuk berganti baju, semetar aku berangkat duluan.
Berhubung
masjidnya lagi dipugar, maka tempat sholat dipindah ke lantai dua gedung,
sementara tempat wudhu berada di pojok barat lantai satu. Ke sanalah aku menuju
untuk bersuci.
Begitu selesai,
mengingat kasipnya waktu, aku buru-buru beranjak ke lantai dua. Baru sampai di
pertengahan tangga, tempat di mana rak penitipan alas kaki berada, sebuah iqomat
yang demikian lantang, terdengar. “Aku terlambat,” gumamku.
Tapi apa
lacur, begitu sampai di ruang sholat, tak ada sesiapa di sana, hanya ruang
kosong, karpet biru tua dan sepasang mikrophone
yang bertengger di atas mimbar. Kipas angin juga seperti tertidur, tak ada yang
berputar.
Aku berpikir,
jangan-jangan ruang sholat di pindah ke ruangan lain. Coba kulihat ke ruang ujung
lantai dua, tak ada. Kuintip ke lantai tiga --tempat yang sebelumnya dipakai sebagai ruang sholat, juga tak ada.
Apa malah di lantai satu?
Kuputuskan
untuk turun. Belum sampai ke anak tangga terbawah, seseorang yang berjalan
tergesa menuju tangga, menegurku. “Mau kemana?” Suara itu begitu akrab, rupanya
Bang Sulhan, owner Toko Buku Papirus yang juga terletak dalam kompleks.
“Ini
kak, ruangan sholat kosong,” jelasku sambil membalik arah kembali ke ruang
sholat. “Jadi bagaimana ini?” Tanyaku.
“Ayo
kita sholat, tapi adzan dulu, atau langsung qomat saja?” Bang Sulhan melempar
soalan.
“Qomat
saja, Kak. Masjid lain sudah pada sholat.” Jawabku.
Kami berjalan
beriringan masuk ruangan.
“Tuh mikrophone-nya ada, antum adzan ya, saya
nyalakan amplifier-nya.” Sambil mengarah ke amplifier yang terletak di samping
tempat sholat imam. Aku langsung mengecek mikrophone
mana yang berfungsi diantara keduanya.
“Pakai
yang besar,” informasi dari Bang Sulhan langsung kutindaklanjuti dengan mengumandangkan
adzan dengan gaya khas ‘adzan Makkah’ –padahal
dengan logat Bone yang mendayu, hehehehe.
Begitu
adzan selesai dan doa pengiring kupanjatkan, kumenoleh sejenak ke seluruh
ruangan sebelum mendirikan sholat sunnah, rupanya banyak jamaah yang
berdatangan. Alhamdulillah, rupanya memang belum adzan dari tadi.
Singkat
cerita, iqomat aku lantunkan, sholat berjamaah didirikan, dan jamaah bubar
menuju aktivitasnya masing-masing. Begitupun aku, Bang Samju dan Bang Sulhan.
Sengaja
aku berjalan mengiringi langkah Bang Sulhan untuk mengkonfirmasi kejadian yang
baru saja kami alami bersama. Tapi belum sempat aku melontar kegelisahan, Bang
Sulhan sudah menjelaskan duluan.
“Memang
terkadang begitu, sebenarnya banyak orang, tapi mereka tetap berada di ruangan
masing-masing, menunggu ada orang yang adzan, kemarin-kemarin saya mengalami
kasus serupa.” Jelasnya.
Dengan
menarik nafas berat, mendesah, Bang Sulhan melanjutkan, “Kalau dalam kondisi
begini, barulah kita menyadari betapa berartinya kehadiran orang tua yang
selama ini selalu mau kita kudeta kalau dia sedang adzan.”
“Betul
juga, Kak. Rupanya kehadirannya sangat kita butuhkan, hehehehe...” Aku tak
banyak komentar, sebab jauh hari, soal orang tua yang selalu adzan itu, pernah
aku sindir melalui tulisan di blog ini juga, dengan judul Muadzin Bersuara Jelek.
Mengingat
itu, aku kemudian berpikir, rupanya Tuhan menegurku dengan cara yang luar
biasa. Aku yang selama ini buta akan urgensi bapak itu, kemudian tersadarkan
dengan hanya sebuah kejadian kecil.
Sejelek
apapun suara muadzin, itu masih jauh lebih baik daripada tidak ada yang adzan
sama sekali...