Sampah, Selokan dan Kemerdekaan

[04.09.2015] Waktu menunjukkan pukul 05.44 pagi, saatnya memanaskan mesin motor. Sambil menunggu mesin motor memanas, aku memilih mengganti pot bunga yang sudah mulai kekecilan dengan ember bekas cat yang memang sudah aku beri lubang-lubang kecil di bagian dasarnya.

Ditemani Fatimah yang sudah sedari tadi mengekor, aku menjadi tukang kebun kecil-kecilan di pinggir jalan depan rumah. Dengan peralatan sederhana, ember bekas cat itu menjelma menjadi pot yang pas untuk bungaku.

Selepas itu, aku memunguti gelas plastik minuman kemasan yang tergeletak begitu saja di antara pot, mungkin bekas minuman pejalan kaki yang melintas semalam. Jalanan depan rumah memang jalanan favorit bagi mereka yang ingin memotong jarak jalan Mallengkeri dan jalan Alauddin.

Disamping membuat lingkungan menjadi lebih bersih, dengan memungut gelas plastik tersebut, aku merasa sudah menjadi warga yang baik dengan menjalankan program pemerintah kota Makassar, Lihat Sampah Ambil (LiSA). Meskipun baru sebatas di depan rumah sendiri.

Oh ya, mengenai gelas plastik dan depan rumah sendiri, beberapa pekan yang lalu, aku sempat menegur seorang karyawan toko bahan bangunan.

Siang itu, sebuah mobil pick up terparkir di depan rumah, aku sementara berbual-bual di teras tetangga. Mobil itu memuat pasir dan batu bata di bak belakang, sepertinya mereka lagi memastikan alamat pemesan barang yang mereka bawa.

Tak lama, pintu depan sebelah kiri terbuka, menyembul kepala seorang lelaki muda yang mengenakan topi pet secara terbalik, lidahnya menjulur ke belakang. Orangnya sih biasa saja, tapi tindakannya yang luar biasa. Dia membuang gelas plastik minuman kemasan yang baru ditandaskannya, di pinggir jalan.

Melihat itu, segera aku pamit pada tetangga dan mendatangi lelaki muda itu dari arah belakang dan langsung menegur, “Pak sampahnya jangan di buang di situ ya, itu bukan tempat sampah!” dengan tegas.

Setelah menoleh sejenak ke arahku, dengan senyum kecut dan muka masam, dia menjawab sopan, “Oh, iyye’, Pak.” sambil membungkuk memungut gelas plastik tersebut lalu menyimpannya di lantai mobilnya.

Tak sengaja, mataku melongok ke arah selokan yang terbuka, pas sejurusan dengan pagar antara rumahku dengan tetangga sebelah kiri. Memang ada bukaan sekira 30-an centimeter sebagai celah untuk membersihkan bagian selokan di bawah jembatan masuk ke rumah.

Bagi yang belum tahu apa itu selokan, aku kutipkan penjelasan Mbak Wiki. Menurutnya, selokan adalah saluran untuk menyalurkan air pembuangan dan/atau air hujan untuk dibawa ke suatu tempat agar tidak menjadi masalah bagi lingkungan dan kesehatan. 

Aku tercengang, sebab bukaan kecil yang diperuntukkan untuk membersihkan selokan itu, bukannya menjadi solusi bagi mengalirnya air dengan lancar, malah sebaliknya,  bukaan itu menjelma menjadi tempat sampah.

Maka akibatnya, saluran air yang menurut Om Kabbi dinamai dengan kata benda dan dieja dengan cara memenggalnya menjadi tiga suku kata ‘se·lok·an’, serta disamakan dengan ‘bendar (di sawah dsb); serokan; parit’ menjadi penuh dengan sampah. 

Wah, ada tambahan tugas baru nih, membersihkan bukaan selokan yang sesak dengan beragam benda buangan. Dengan masygul, kutatap bukaan itu sambil berusaha memantapkan hati untuk mencelupkan tangan, menjangkau-jangkau benda yang menghambat air mengalir.

Sebenarnya, yang membuat aku berpikir berkali-kali soal membersihkan bukaan di selokan itu bukan soal joroknya, sebab untuk urusan ini, aku sudah tak mempan. Aku mempunyai pengalaman buruk ketika membersikan bukaan tersebut beberapa waktu lalu, dan ini menjadi semacam trauma kecil.

Ceritanya begini: Pagi itu, ketika melihat bukaan selokan tersumbat karena sampah, aku segera bertindak membersihkannya. Sampah yang ada kupunguti satu persatu dan kusimpan di pinggir jalan.

Sampahnya tak kumasukkan ke dalam wadah, aku berpikir untuk menunggunya sampai kering, agar lebih praktis ketika mengangkutnya ke tempat penampungan sampah. Lagian sampah yang ada itu, sesungguhnya termasuk sampah kering.

Coba perhatikan: Botol plastik bekas air mineral, gelas lastik minuman kemasan, potongan sapu ijuk, serpihan mobil-mobilan dari plastik, pembungkus kerupuk dari berbagai merek, dan pembungkus permen.

Bukankah semuanya termasuk sampah yang tidak seharusnya berada di selokan? Bahkan ada kantong kresek kecil yang tersimpul rapi dan berisi beberapa gelas plastik minuman kemasan. Ini berarti bertumpuknya sampah itu di selokan, merupakan sesuatu yang sistemik adanya.

Bahwa para pembuangnya memang memandang bukaan di selokan tersebut merupakan tempat sampah yang bisa digunakan kapan saja, tanpa peduli bahwa itu akan menghambat aliran air.

Sore hari, sepulang dari kampus, dari jauh aku melihat tumpukan sampah itu sudah hilang dari posisi semula di mana aku menumpuknya. Berbagai pikiran muncul, apakah diambil oleh tukang sampah? Atau oleh pemulung?

Tapi begitu sampai di depan rumah, jawaban yang sebenarnya pun kutemukan: sampah itu kembali ke tempatnya semua, selokan!

Dengan sedikit gondok, aku menyidang kedua anakku: Qonitah dan Mehdi. Kepadanya kuajukan pertanyaan yang sama, “Siapa yang membuang sampah itu kembali ke selokan?” Jawaban mereka pun kompak, “Nanda!” menyebut nama anak tetangga depan rumah.

Maka mengalirlah cerita dari Qonitah bahwa dirinya sudah memperingatkan Nanda untuk tidak memasukkan kembali sampah tersebut ke dalam selokan, namun si Nanda tetap ngeyel, bahkan menantang dan kemudian mendorong semua sampah itu kembali ke selokan.

Mendengar itu, aku melirik ke rumahnya, si Nanda ada bermain di teras, kedua orang tuanya juga ada di situ. Sengaja aku berbicara agak besar mengatakan bahwa sampah tak boleh dimasukkan di selokan. Mendengar itu, kedua orang tua si Nanda, menggendong anaknya masuk dan menutup pintu.

Aku belum puas, maka besoknya, kutunggui si Nanda mendekat ke rumah. Begitu dia datang ke depan pintu pagar, berterika-teriak memanggil Qonitah untuk diajaknya bermain, aku yang menemuinya terlebih dahulu.

“Siapa yang membuang sampah itu kembali ke dalam selokan?” Tanyaku langsung ke arah Nanda.
“Bukan saya, itu si Attar,” elak si Nanda sambil menunjuk sepupunya yang berdiri tepat di sampingnya.
“Betul?” Pandangan kualihkan ke Attar.
“Tidak Om, bukan saya, itu perbuatan Nanda?” Jelas Attar.
“Om peringatkan ya, selokan itu bukan tempat sampah. Om sudah capek-capek membersihannya, kalian memasukkannya kembali. Ayo mengaku siapa yang melakukannya?”
“Nanda, Om. Kemarin saya sakit jadi tidak bermain.” Imbuh Attar. Kulihat Nanda tertunduk.
“Siapapun yang melakukannya, jangan mengulanginya lagi. Apa kalian mau kalau Om meminta kalian memungut sampah itu kembali?” Kataku tegas.
“Jangan coba-coba bermain dengan Qonitah bila kelakuan kalian tak bisa diatur."
Mendengar itu, Nanda langsung lari pulang ke rumahnya, dan sampai sekarang tak lagi pernah datang bermain dengan Qonitah.

Kembali ke selokan yang penuh sampah pagi ini, dengan mengucap bismillah, aku mengambil sepotong kayu untuk mengorek berbagai benda yang menghambat aliran air. Kuputuskan untuk mengumpulkannya dahulu di salah satu sisi selokan yang agak tinggi.

Ketika mengorek-ngorek sampah di selokan itu, aku kembali kaget. Di antara sekian sampah yang menumpuk, sebagian merupakan bekas hiasan khas peringatan kemerdekaan: seutas tali yang ditempeli duplikan bendera merah putih mungil dari kertas minyak.

Ya, demikianlah adanya. Sebagian kita memaknai kemerdekaan tak lebih dari sebentuk seremoni dangkal, sepanjang jalan penuh riasan bernuansa merah putih, dan sepekan selepas itu, semua artefak itu menjadi sampah yang dibuang bukan pada tempatnya.

Jadi apa arti merdeka, ketika membuang sampah pada tempatnya masih menjadi tindakan yang langka? Makna kemerdekaan apa yang bisa anda imajikan, bila tradisi hidup bersih masih jauh dari harapan?

Sambil mengorek-ngorek sampah, aku menggumam, “Nampaknya, di usia kemerdekaan yang sudah tujuh puluh tahun ini, si LiSA masih harus kesepian.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama