[01.12.2015]
Bagaimana kalau dunia komunikasi modern, hiper komunikasi, telah menceburkan
kita, bukan ke dalam chaos tetapi ke dalam kejenuhan makna yang maha hebat yang
seluruhnya termakan oleh kesuksesannya sendiri –tanpa permainan, tanpa rahasia atau jarak? Jika seluruh publisitas
merupakan apologi, bukan ditujukan untuk sebuah produk tapi semata-mata
publisitas? Jika informasi tidak lagi dipergunakan untuk mengangkat sebuah
peristiwa tetapi mengangkat dirinya sendiri sebagai sebuah peristiwa?
Setumpuk
tanya itu, dikemukakan oleh Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis pada bab
kesimpulan dalam bukunya yang berjudul Ekstasi
Komunikasi (2006 : 94). Bagi Baudrillard, pertanyaan-pertanyaan tersebut
merupakan gambaran situasi masyarakat dalam hubungannya dengan informasi di era
posmodern. Ini adalah cara yang digunakan oleh Baudrillard untuk mengingatkan
kita tentang situasi dunia yang kita huni dan diami.
Situasi
ini, menurut Baudrillard, bisa disebut sebagai ekstasi komunikasi, candu
komunikasi. Menurutnya, di era kapitalisme lanjut (the late capitalism), telah terjadi pergeseran dari ekonomi positif
yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi melalui produksi, menjadi ekonomi
adiktif. Ekonomi adiktif bagi Baudrillard adalah formasi ekonomi di mana orang
lebih suka dan cenderung mencandu dalam mengonsumsi daripada menjadi pihak yang
memroduksi.
Perkembangan
teknologi informasi yang tidak diikuti oleh kesiapan manusia sebagai pengguna,
membuat situasi ini menjadi anomali akut. Teknologi mengkonstruksi kenyataan
menjadi era informasi, sementara alam berpikir masyarakat masih terikat pada
tradisi masyarakat agraris. Alih-alih mempermudah hidup manusia dengan
ketersediaan perangkat diseminasi ide yang cepat dan tepat, teknologi informasi
malah memukul balik dan menjadikan manusia kehilangan sarana ide-ide dan
kreativitas.
Inovasi
dalam dunia teknologi informasi yang demikian pesat, telah memaksa masyarakat
kita menceburkan diri dalam lautan teknologis, padahal sesungguhnya, mereka
belum menemukan pentingnya sarana itu untuk dirinya. Bagaimana seorang remaja
tanggung yang tak lulus sekolah dasar sekalipun menjadi merasa butuh untuk
memiliki smartphone, padahal menulis
namanyapun masih sulit. Inilah sesungguhnya cikal bakal dari ekstasi teknologi
informasi.
Bagi
anda para pengguna smartphone, dan penikmat aplikasi sosial media semacam blackberry messenger, tentu terbiasa
mendapatkan kiriman informasi dalam bentuk broadcast
messanger. Sekilas tak ada masalah dengan pesan berantai seperti ini, tapi
bila dicermati, beberapa persoalan serius akan muncul. Informasi ini mengalami
problem dalam perkara representasi dan otoritas. Apakah pesan ini
merepresentasikan kebenaran? Otoritas mana yang menjamin kebenarannya?
Sementara, sebagian besar pesan berantai sedemikian bersifat anonim, jadi tak
ada ruang verifikasi atas nilai kebenarannya.
Bahkan
pernah saya mendapatkan broadcast messanger dengan jumlah pengirim yang lumayan
banyak, pesannya mengingatkan bahwa besok adalah nisfu sya'ban disertai amalan-amalan yang layak dilakukan pada
waktu tersebut. Pada awalnya saya tertawa saja membaca pesannya, sebab saya
tahu betul, saat itu bulan rajab, bukan sya'ban. Namun karena pengirimnya
sebagian besar kaum terpelajar, maka saya mencoba mengingatkan. Seorang
pengirim yang berstatus mahasiswa sebuah universitas islam negeri di daerah ini
hanya bisa berkilah bahwa dia hanya meneruskan pesan tanpa mengetahui isinya.
Sungguh
sebuah ironi, kaum terpelajar kita, menggunakan telepon pintar (smartphone), bukannya semakin pintar,
malah jadi idiot. Inilah gagap teknologi (gaptek)
yang sebenar-benarnya. Gaptek itu, bukan tidak bisa mengoperasikan sebuah
teknologi, tapi sebuah kondisi di mana pemakai teknologi kaget dalam menerima
teknologi. Maka jadilah mereka para pecandu informasi, penikmat ekstasi
komunikasi. Mereka mabuk, memuaskan hasrat, dan mengalami pleasure ketika menjadi yang pertama menyampaikan informasi, tanpa
peduli pada sumber dan nilai kebenarannya.
Candu
informasi telah membuat semua orang tergila-gila mencari dan lalu menyebarkan
informasi, meskipun informasi itu belum tentu berguna bagi dirinya dan bagi
penerima pesannya. Semua menjadi serba telanjang, menjadi tembus pandang, dapat
dilihat, diekspos dalam informasi dan komunikasi yang mentah dan tidak dapat
dielakkan. Maka ekstase komunikasi pun dimulai ketika tak ada lagi obyek hasrat
dan gairah yang terselubung. Mereka yang ekstase komunikasi, menurut
Baudrillard (2006 : 18) akan bermetamorfosis menjadi layar murni, murni sebagai
permukaan jaringan yang terus menerus menjebak dan menyerap segala sesuatu. itu
saja!
Baudrillard
(2006 : 17) mengategorikan situasi ini sebagai sebentuk patologi dan dia
menamainya sebagai schizophrenia
baru. Baginya, jika histeria adalah
patologi yang membuat keadaan subyek menjadi lebih buruk, dan jika paranoia adalah patologi organisasi,
maka ekstase komunikasi adalah schizophrenia
baru. Schizophrenia baru adalah
persetubuhan abadi dan kesalingterhubungan terus-menerus antara seluruh
jaringan komunikasi dan informasi. Seseorang bisa saja menjadi alim dan bejad
sekaligus, sebab beberapa menit sebelumnya mengirim broadcast messanger berisi link video porno, namun beberapa saat
berikutnya, menyebar pesan-pesan keagamaan.
Ekstase
komunikasi dan mabuk informasi, membuat masyarakat menjadi kehilangan akal
sehat. Menjadi lebih percaya pada desas-desus, dan bujuk rayu daripada
pemaparan fakta dan data ril. Mencari dan mengejar informasi dilakukan bukan
untuk menambah pengetahuan dan memerifikasi nilai kebenarannya, tapi sekedar untuk memenuhi hasrat menjadi yang
tercepat menyerap informasi. Di titik inilah, informasi menjadi candu, menjelma
ekstasi yang memicu ekstase.
Ekstasi
komunikasi menginkuisisi ruang publik kita dengan informasi yang carut-marut,
penuh dengan permainan citra dan kepalsuan. Lalu seiring dengan lenyapnya ruang
publik, ruang privat juga mengalami senjakala, tak ada lagi rahasia. Setiap
kita seakan berlomba menelanjangi diri sendiri. Mereka yang kesehariannya
mengenakan jilbab, misalnya, tiba-tiba dengan bangga dan tanpa malu, memasang profile picture yang begitu seksi dan
sensual di akun media sosialnya. Inilah gejala akut schizophrenia baru dari para pecandu informasi yang mengalami
ekstase komunikasi.
Tak
salah bila Baudrillard (2006 : 95) kembali melontar tanya. Bagaimana jika
seluruh informasi bukan lahir dari rekayasa subjek dan opini, seperti yang
diyakini sebagian orang, tetapi dari logika tanpa subjek, logika yang di
dalamnya opini terjatuh ke dalam daya tarik yang sangat kuat? Jika kebenaran
tidak lagi melawan ilusi, tapi merasa ilusi lebih benar dari kebenaran itu
sendiri? Dan bagaimana jika semua ini tidak lagi menarik sekaligus tidak
membuat kita jengkel? Tidakkah semua itu fatal?
Untuk
menghadapi situasi seperti ini, Baudrillard mengusulkan (dalam J. Fiske, 1989 :
180) agar kita yang dibombardir dengan citra-citra yang kaya-informasi dalam
setiap momen kehidupan kita, mengambil alih kendali atas hidup kita dengan
memahami bahwa citra-citra itu sekedar sebagai penanda yang menolak petandanya,
hanya sebagai penampakan yang menolak makna. Sadari bahwa dunia saat ini, tak
lebih dari luberan citra yang miskin makna.
Islam
mengingatkan umatnya untuk menjauhi segala hal yang memabukkan, dan menyebutnya
sebagai barang haram. Citra-citra baru dalam seliweran informasi, tak ubahnya
sebagai sekumpulan fitnah. Dan bila menghadapi informasi yang sedemikian, Islam
menuntunkan agar kita melakukan tabayyun,
verifikasi. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan penyesalan atas perbuatanmu itu." (Q.S. 49 :
6).
H.O.S.
Tjokroaminoto (1931 : 6) juga mengingatkan agar kita haruslah mengetahui sifat
dan keadaan-keadaan pergaulan hidup manusia, dan dengan sejelas-jelasnya kita
harus mengetahui kecelaan-kecelaan dan kebusukan-kebusukannya. Itu semua bisa
dilakukan bila kita tidak terjebak pada kecanduan informasi yang tak jelas
juntrungannya. Maka saatnya selamatkan akal sehat, lakukan tabayyun, dan jadilah cerdas, jangan mau kalah cerdas dari smartphone-mu.
Dimuat
secara bersambung di Harian Amanah, 30 Nopember – 01 Desember 2015